Kamis, 31 Mei 2012

Keluar dari “Kecakapan Ujian”


Keluar dari “Kecakapan Ujian”
Rhenald Kasali ; Ketua Program MM UI   
SUMBER :  SINDO, 31 Mei 2012


Setiap kali memasuki masa ujian nasional (UN), bangsa ini heboh. Sebelum ujian heboh, setelah ujian juga gaduh. Dengan dalih memberi motivasi, guru-guru malah membuat anak-anak stres dan bersedih menjelang UN.

Orang tua dipanggil, anak menangis karena suasana yang dibangun para guru adalah para murid itu “banyak dosa” dan telah melakukan kesalahan kepada orang tua. Alhasil bukannya plong, malah banyak murid yang mengalami histeria yang disebut “kesurupan” atau “kerasukan”setan. Mengapa UN menjadi segala- galanya dalam hidup ini? Apakah tidak ada cara lain untuk membuka pintu masa depan anak selain ujian?

Saya ingin mengajak bangsa ini keluar dari metode pendidikan cara pabrikan yang menghasilkan “produk-produk” standar yang seakan-akan anak adalah output hasil produksi. Kita seperti sedang melewati sebuah area ”ban berjalan” dengan seorang manajer Jepang yang mengawasi ada-tidaknya produk yang cacat (defect), di luar standar.

Mereka yang berada di luar standar itu dalam pendidikan kita sebut “berbakat khusus” (special talent), tetapi di pabrik kita sebut “produk gagal”. Jelajahilah mesin pencari Google dan ketiklah kata “special talent”, Anda akan menemukan anak-anak seperti inilah yang ditawari beasiswa. Namun apa yang kita lakukan dengan anak-anak itu di sini?

Kecakapan Bakat

David McClelland pernah menyatakan, suatu bangsa harus dibangun dengan sistem kecakapan, bukan kekerabatan, apalagi didasarkan pada warna kulit atau sentimen-sentimen kesamaan lahiriah. Sistem kecakapan itu mulai diperbincangkan oleh Confucius, diterapkan oleh Dinasti Han di China pada abad kedua SM, dan dibawa ke dunia Barat, lalu disebarkan ke seluruh dunia.

Pada awal peradaban modern, manusia yang dulu percaya pada kecakapan otot beralih ke kecakapan inteligensia (IQ). Di era world 1.0, saat lapangan pekerjaan terbesar hanya bisa diberikan oleh negara, sistem kecakapan dipersandingkan antara IQ dengan ujian pengetahuan. Demikianlah generasi tua Indonesia mengikuti ujian seleksi masuk universitas negeri atau seleksi menjadi PNS melalui pemeriksaan kecakapan tertulis. Yang diuji adalah rumus-rumus, mulai dari bahasa, IPA, matematika hingga Pancasila.

Rumus-rumus itu dihafalkan, dituangkan pada kertas, sedangkan sekolah swasta dan dunia usaha memilih kecakapan inteligensia. Ujian tertulis dengan ujian pengetahuan menjadi penting karena jumlah pesertanya massal dan negara harus bertindak secara adil.Negara adalah segala-galanya. Tapi itu kan dulu.Sekarang ini pilihan masyarakat sudah begitu luas. Pekerjaan bukan hanya ada di pemerintahan dan sekolah tinggi yang bagus bukan hanya universitas negeri.

Masyarakatnya boleh memilih, mau hidup di world 0.0 atau menjadi pengusaha global, konsultan, seniman atau profesional di world 2.0 (globalisasi dini) atau world 3.0 (lihat kolom saya: “Empat Dunia yang Membingungkan”). Artinya masyarakat bangsa ini tak menggantungkan lagi kehidupannya untuk menjadi PNS. PNS bukanlah segala-galanya. Dunia ini sendiri begitu terbuka, penuh kesesakan dan pilihan, bahkan persaingan dan saling melengkapi.

Dunia yang sesungguhnya itu bukan membutuhkan kecakapan ujian, melainkan kecakapan- kecakapan impact, yaitu apa yang sebenarnya dapat dilakukan seseorang dari pendidikan yang ditempuhnya. Kalau seseorang belajar tentang pertanian, maka ia bisa buat apa dengan ilmunya itu? Kalau ia belajar membuat robot, apa impact yang bisa diperbuat? Kalau sekolah kedokteran, bisakah berkiprah di sektor kesehatan? Demikian seterusnya.

Kecakapan seperti itu disebut kecakapan bakat (talent merit) dan pernah merisaukan Mendiknas Singapura 20 tahun lalu saat negara merasa segala-galanya. Sekarang ini Singapura telah beralih ke sistem kecakapan bakat yang memungkinkan anak-anak menemukan pintu masadepannya dengan lebih damai dan lebih membahagiakan. Untuk memberikan ilustrasi, saya ceritakan kembali pengalaman saya saat mengajar mata kuliah international marketing.

Mata kuliah ini diberikan kepada mahasiswa senior di program S-1 dan sebagai prasyaratnya mereka harus sudah lulus dasar-dasar marketing. Suatu ketika saya iseng menanyakan kepada beberapa mahasiswa yang mendapat nilai A di kelas marketing yang diambil satu dua semester sebelumnya dan saya meminta mereka maju ke depan. Sungguh saya tak percaya, bagaimana anak-anak yang kurang bergaul, kurang pandai mengekspresikan pikiran, bahkan dikenal sebagai anak yang berbicara sinis dan berpenampilan tidak “marketable” dari kacamata rekan-rekannya bisa diberi nilai A.

Begitulah the power of exam merit. Mereka mendapatkan nilai A dalam transkrip nilai karena bertemu dengan pengajar-pengajar yang hanya berorientasi pada hasil ujian, bukan pendidik yang mengubah cara mereka berpikir. Di atas kertas pada saat ujian mereka benar-benar cerdas, hafalannya bagus, analisisnya oke, tetapi mengapa untuk hal sederhana saja tak mampu mengaplikasikan pengetahuannya? Saya jadi teringat kisah seorang teman yang belajar bahasa Inggris di Amerika Serikat supaya bisa kuliah S-2 di Amerika.

Belajar bahasa Inggris di masyarakat yang berbahasa Inggris kok di kamar memakai headset? Kalau demikian cara kita mendidik anak-anak ini, bisa saya bayangkan mengapa pengusaha mengeluh lulusan-lulusan kita tidak siap pakai dan mengapa terdapat gap besar antara pilihan sekolah dengan pilihan profesi. Anak-anak mengeluh sekolahnya susah karena mereka tidak bisa mengekspresikan bakat yang mereka cintai.

Guru mengeluh murid-murid tak mempersiapkan belajar di rumah dengan baik. Orang tua mengeluh anak-anaknya menjadi pemberang. Dan tentu saja di masa depan, dari sistem pendidikan seperti ini hanya akan dilahirkan sarjana-sarjana kertas atau ilmuwan-ilmuwan paper yang hanya asyik membuat makalah, bukan impact!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar