Selasa, 29 Mei 2012

Ketahanan Pangan


Ketahanan Pangan
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI),
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
SUMBER :  REPUBLIKA, 29 Mei 2012


Kinerja produksi pangan strategis Indonesia belum stabil. Dalam beberapa tahun terakhir, ada kecenderungan produksi terus menurun. Pada 2011, semua produksi pangan strategis (beras, jagung, kedelai, dan gula) menurun.

Produksinya belum bisa memenuhi pertambahan permintaan pangan dalam negeri. Laju produksi beras turun 1,6 persen, jagung turun enam persen, kedelai turun empat persen, dan gula turun 1,8 persen. Target surplus beras 10 juta ton serta target swasembada gula dan kedelai pada 2014 akan amat sulit dicapai.

Hal ini terjadi bukan saja karena degradasi kualitas lahan dan lahan kian kelelahan (soil fatique), yang keduanya membuat produktivitas pangan melandai. Akan tetapi, juga karena konversi lahan pertanian ke non-pertanian berlangsung kian massif.

Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110 ribu hektare dan periode 2002-2006 melonjak menjadi 145 ribu hektare per tahun. Ironinya, semakin tahun laju konversi lahan kian besar.

Rentang 2007-2010, di Jawa saja laju konversi rata-rata 200 ribu hektare per tahun. Lahan (sawah beririgasi teknis, nonteknis, dan lahan kering) di Jawa pada 2007 masih 4,1 juta hektare, tapi kini hanya tinggal 3,5 juta hektare.

Salah satu persoalan besar bangsa ini di masa depan adalah bagaimana menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warga. Jika KB berhasil, pada 2030 penduduk Indonesia mencapai 425 juta jiwa.

Agar semua perut kenyang, dibutuhkan 59 juta ton beras. Karena, luas tanam padi sekarang 12 juta hektare, pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru 11,8 juta hektare. Itu baru kebutuhan beras. Belum termasuk jagung, gula, kedelai, umbi-umbian dan sayuran.

Berbagai terobosan telah dilakukan pemerintah. Misalnya, pengembangan lahan pangan skala (food estate) besar di Merauke, Merauke Integrated Food Estate. Program ini mandek. Sampai sekarang antara pemerintah dan pengusaha belum menemukan titik temu: siapa mengerjakan apa dan siapa dapat apa?

Demikian pula program produksi pangan dengan melibatkan BUMN. Semua terobosan itu belum menunjukkan hasil berarti. Mungkin karena itu, Menteri BUMN berencana membentuk BUMN Pangan. Masih jadi pertanyaan besar apakah rencana Menteri Dahlan Iskan bisa menjadi jawaban.

Tentu berbagai terobosan itu mesti diapresiasi. Masalahnya, tanpa penambahan lahan pangan dan mempertahankan lahan pangan yang ada sekarang, mustahil berbagai terobosan itu bisa menyelesaikan masalah permintaan pangan di negeri ini yang terus meningkat.

Laju permintaan pangan di Indonesia sekitar 4,87 persen per tahun. Ini hasil perkawinan laju pertumbuhan penduduk 1,49 persen, pertumbuhan pendapatan 6,5 persen, dan elastisitas pendapatan terhadap pangan 0,52 (Arifin, 2012).

Artinya, laju suplai pangan harus di atas lima persen agar bisa mengimbangi laju permintaan. Padahal, sejarah membuktikan sangat tidak mudah mendongkrak produksi pangan dengan laju sekitar lima persen per tahun.

Kemampuan pemerintah mencetak sawah baru yang dibiayai oleh APBN amat terbatas: hanya 40.000 hektare per tahun. Selain perlu meningkatkan kinerja pencetakan lahan pangan baru, yang tak kalah penting adalah pengendalian konversi lahan pangan. Tanpa usaha serius mengerem konversi, lahan pertanian, terutama di Jawa, terancam punah.

Meskipun terus mengalami tekanan, selama ini sekitar 56-60 persen produksi padi masih bertumpu pada sawah-sawah subur di Jawa. Dengan dukungan irigasi teknis, sawah di Jawa memiliki produktivitas yang tinggi (51,87 kuintal/hektare) ketimbang sawah di luar Jawa (39,43 kuintal/hektare ), sehingga Jawa menghasilkan surplus beras.

Jika konversi lahan tak terkendali, surplus pangan, terutama beras, tidak akan terjadi. Rawan pangan meruyak. Tenaga kerja di sektor pertanian kehilangan pekerjaan, jumlah penganggur meningkat. Ini akan menimbulkan kerawanan sosial. Arus urbanisasi tidak terbendung lagi. Ini akan membiakkan masalah baru di kota.

Secara politik, rawan pangan juga bisa membuat politik terguncang. Diakui atau tidak, jatuhnya Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto dari singgasana kekuasaan dipercepat karena masalah pangan. Harga-harga pangan yang melambung dan tidak terbeli oleh kantong memicu penjarahan di mana-mana. Saat perut lapar, orang tidak takut, dengan mesiu sekalipun.

Sebetulnya, kita sudah memiliki payung hukum yang kuat untuk mencegah konversi lahan pertanian, yaitu UU No 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Agar operasional, UU ini juga sudah dilengkapi dengan sejumlah Peraturan Pemerintah. Kenyataannya, konversi lahan pertanian masih terus terjadi. Sulit membantah bahwa UU No 41/2009 mandul.

Seperti yang sudah-sudah, pendekatan legalistik semacam ini tidak bisa menyelesaikan masalah karena tidak menyentuh jantung persoalan. Sebagian besar petani yang mengonversi lahan karena terdesak kepentingan ekonomi.
 
Ini terjadi karena lahan sempit tak cukup memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Dari sisi petani, agar bisa keluar dari kemiskinan, tanah, modal, pengetahuan dan teknologi, serta akses pasar menjadi kebutuhan primer. Tidak cukup dengan redistribusi tanah (landreform).

Sejarah mengajarkan, karena tidak didukung infrastruktur penunjang, redistribusi tanah ternyata menyebabkan produksi menurun beberapa tahun. Makanya, perlu program penunjang, program plus, yakni perkreditan, penyuluhan, pendidikan, latihan, teknologi, pemasaran, manajemen, dan infrastruktur.

Inilah landreform plus atau reforma agraria. Tanpa usaha mengentaskan petani dari kemiskinan, bisa dipastikan berbagai usaha untuk mencegah konversi lahan akan menemui jalan buntu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar