Senin, 28 Mei 2012

Kontroversi Pemberian Grasi untuk Corby


Kontroversi Pemberian Grasi untuk Corby
Jamal Wiwoho ; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Bidang Ilmu Hukum, Pembantu Rektor II UNS Surakarta
SUMBER :  MEDIA INDONESIA, 28 Mei 2012


KEBIJAKAN Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan grasi kepada Schapelle Leigh Corby, 34, warga negara Australia, membuat sebagian rakyat Indonesia terhenyak. Bagaimana tidak? Di tengah aksi gencarnya perang melawan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba), SBY sebagai pemimpin negeri ini memberikan grasi kepada terpidana narkoba.

Presiden Yudhoyono telah menandatangani pengurangan masa hukuman (grasi) sebanyak lima tahun terhadap Schapelle Leigh Corby, terpidana kasus ganja yang dihukum di Pengadilan Negeri Denpasar, Bali. Hal itu diungkapkan Mensesneg Sudi Silalahi, pada Selasa 22 Mei 2012 di kompleks Istana Negara, Jakarta.

Keputusan Presiden untuk memberikan grasi itu dirasa aneh karena Corby yang telah divonis 20 tahun oleh PN Denpasar Bali pada 27 Mei 2005 telah menyelundupkan 4,2 kg ganja ke Bali lewat Bandar Udara Ngurah Rai. Pada sisi yang lain, Presiden dan Menkum dan HAM di berbagai kesempatan mengatakan mengetatkan pemberian remisi, khususnya terhadap tindak pidana yang tergolong extra ordinary crime, yaitu korupsi, money laundering, terorisme, dan narkotika.

Menjadi keanehan karena di sisi Presiden bersama Menkum dan HAM mengadakan pengetatan terhadap kejahatan yang tergolong kejahatan luar biasa (karena amat memengaruhi hidup dan kehidupan umat manusia di dunia ini) salah satunya narkoba, tetapi di sisi lain justru Presiden memberikan grasi kepada terpidana narkoba.

Menkum dan HAM Amir Syamsuddin sebelumnya menjelaskan pengurangan hukuman bagi sang ratu mariyuana tak bisa dimungkiri merupakan bagian program diplomasi hukum antara Indonesia dan Australia. Dalam catatan penulis itulah grasi pertama yang diberikan Presiden terhadap bandar narkotika internasional yang telah dibekuk di Bandara Ngurah Rai Bali.

Pemberian grasi oleh Presiden Yudhoyono terhadap Corby tersebut patut diperbincangkan lebih dalam dari berbagai aspek, baik dari aspek hukum, sosiologis, maupun filosofis. Dari aspek hukum, grasi termasuk di dalamnya ialah amnesti dan abolisi merupakan hak prerogatif presiden terkait dengan kekuasaan bidang yudikatif sebagaimana jelas tertuang dalam Pasal 14 UUD 1945 pasca amendemen.

Selanjutnya pada Pasal 1 UU Nomor 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi yang dibentuk dengan konstitusi Republik Indonesia Serikat dikatakan bahwa atas hukuman yang dijatuhkan pengadilan baik sipil maupun militer yang tidak bisa diubah lagi, orang yang di hukum dapat mengajukan grasi kepada presiden.

Sesuai dengan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, UU No 3 Tahun 1950 tersebut kini telah di ubah dengan UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang juga telah terang men jelaskan grasi didefinisikan sebagai pengampunan beru pa pembatalan, peringanan, pengurangan, atau penghapus an enghapus pelak sanaan pidana kepada terpidana yang diberikan presiden.

Dengan menunjuk ketentuan tentang grasi baik yang ada dalam UUD 1945 maupun dua UU tersebut, tidak dapat dimungkiri secara legal formal Presiden Yudhoyono dapat dikatakan sah secara konstitusional dalam sistem peradilan di Indonesia dalam memberikan grasi kepada Corby tersebut. Hal itu disebabkan UUD telah memberikan hak prerogatif kepada presiden.

Dari kacamata sosiologis tentunya grasi tersebut bisa dan dapat diperdebatkan secara serius. Hal itu terutama berkaitan de ngan semangat negara kita untuk memberantas pengguna, pengedar, sampai bandar narkoba karena dapat berakibat pada kehancuran pemuda dan generasi bangsa yang akan datang.

Oleh karena itu, secara empiris penggunaan hukum represif bagi para pelaku narkoba amatlah bisa dipahami. Pemberian grasi terhadap Corby tersebut dirasakan amat melukai perasaan masyarakat Indonesia yang baru gencar-gencarnya melawan narkoba yang sampai saat ini di Indonesia telah mencapai 5 juta orang korban narkoba.

Dugaan munculnya grasi lima tahun terhadap corby tersebut barangkali atas desakan-desakan serta tekanan pemerintah Australia yang sejak awal menuntut adanya keringanan bahkan pembebasan kepada corby. Kemungkinan lain ialah upaya grasi tersebut merupakan barter dengan perkara lain, dalam hal ini nelayan-nelayan Indonesia yang tanpa proses pengadilan ditahan di Australia. Hal itu terbukti dengan tanggapan Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr yang berbunga-bunga menyambut grasi tersebut sehingga SBY disimbolkan sebagai teman yang hebat dan murah hati sehingga banjir pujian karena bisa mengurangi hukuman Corby.

Keganjilan yang lain tampak adanya informasi bahwa terpidana Corby tidak pernah melakukan upaya hukum apa pun, termasuk grasi. Akan tetapi, pemerintah Indonesia memberikan grasi lima tahun, waktu yang tidak pendek dengan hukum 20 tahun yang harus dijalaninya.

Atau pertimbangan lain seperti apa yang telah disampaikan Amir yang berpendapat bahwa ada kecenderungan dari beberapa negara yang tidak memberikan hukuman yang keras untuk orang yang memproduksi ganja.

Bahkan ada beberapa negara yang tidak menganggap membawa atau mengonsumsi ganja untuk diri sendiri sebagai bagian dari tindak pidana (walaupun keduanya di Indonesia tetap merupakan tindak pidana berdasarkan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Obat-obatan Terlarang).

Ke ganjilan yang lain juga tampak mengapa yang diberikan grasi itu ialah seorang warga negara Australia, bukan warga negara lain (misalnya warga negara Nepal atau Sudan, yang telah diputus pengadilan dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat).

Grasi memang merupakan hak prerogatif presiden. Namun, publik perlu tahu apa sebenarnya dasar pertimbangan yang disampaikan MA, Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Wakil Menteri Hukum dan HAM kepada presiden, yang dapat dijadikan dasar secara sosiologis atas putusan grasi tersebut.

Dalam era transparansi ini, masyarakat perlu tahu seiring dengan semangat pemberantasan narkoba sekarang ini. Secara legal, pemberian grasi tidaklah salah. Namun secara sosiologis, waktunya tidak tepat. Karena itu, secara filosofis grasi itu dapat dikatakan cacat secara moral di hadapan rakyat.

Jika pemerintah tidak hati-hati, masyarakat akan berpendapat bahwa pemberian grasi tersebut menyamarkan bahwa kebijakan presiden telah menoleransi narkoba atau telah ada arah kebijakan pemerintah yang lunak terhadap terpidana narkoba. Hal itu bisa menjadi preseden buruk dan menghambat pemberantasan narkoba ke depannya sehingga tidak menimbulkan efek jera serta cenderung akan ada peningkatan penggunaan dan penyalahgunaan narkoba.

Sebagai penutup penulis ingin menyampaikan bahwa grasi memang merupakan hak prerogatif presiden sebagaimana diatur dalam konstitusi kita. Namun, itu hendaknya digunakan dalam kondisi, situasi, dan konteks yang tepat agar tidak mencederai hati rakyat dan hati para pejuang gerakan antinarkotika yang tidak henti-hentinya menyuarakan perang terhadap bandar narkotika dan pengedar demi Indonesia yang lebih baik. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar