Rabu, 30 Mei 2012

Lonceng Kematian “Heritage”


Lonceng Kematian “Heritage”
Heri Priyatmoko ; Kolumnis Solo Tempo Doeloe,
Mahasiswa Program Pascasarjana Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM
SUMBER :  SUARA MERDEKA, 30 Mei 2012


REKONSILIASI, kata indah yang ditunggu-tunggu masyarakat terkait dengan konflik di Keraton Kasunanan Surakarta, akhirnya terwujud juga. ”Matahari Kembar”, Hangabehi dan Tedjowulan, berikrar seia sekata menjadi dwi-tunggal.
 
Namun setelah dua putra Paku Buwono XII itu berangkulan, muncul konflik baru. Keduanya berhadap-hadapan dengan Dewan Adat yang mempersoalkan rekonsiliasi gara-gara merasa dilangkahi, ora dijaluki taren. Situasi itu mengundang keprihatinan banyak pihak. Rencana mengangkat Paku Buwono XIV sekaligus menolak dwitunggal masuk pintu istana menjadi bukti masih adanya konflik.

Banyak pihak menyoroti Dewan Adat lantaran dinilai berani menjatuhkan sanksi kepada raja tanpa mempertimbangkan pakem. Baru kali ini kerabat menghukum pemimpin yang duduk di dampar kencana. Banyak pihak berpendapat tindakan itu sebagai ikhwal merebut kekuasaan dan kucuran dana hibah. Penulis yang mencari dari banyak dokumen tidak menemukan lembaga Dewan Adat.

Dokumen semasa Kabar Paprentahan yang berbahasa Jawa, hanya menyebut beberapa lembaga, yaitu Kagungan Dalem Raad Bale Agung, Raad Karaton, dan Raad Kapatihan, serta pengadilan (Pradata Gedhe dan Surambi).
Tatkala Keraton Kasunanan mencapai puncak keemasaannya di bawah Paku Buwono X (1893-1939), berbagai institusi itu pun tak berwenang mengatur raja, lebih-lebih menghukum. Priagung di Raad Bale Agung yang berjumlah 11 hanya berwenang memberi pertimbangan dan saran terhadap rancangan regulasi yang mengatur dan membina ”negara” Kasunanan.

Dewan Wali Raja

Posisi mereka tak lebih sebagai penasihat dan badan pertimbangan kerajaan. Begitu pula Raad Karaton dan Raad Kapatihan. Bagi mereka, Susuhunan adalah junjungan yang harus dihormati dan kewi-bawaannya dijaga mengingat kemuliaan raja diperlukan dalam kosmologi Jawa. Sejarawan Onghokham (2001) sedikit menceritakan lembaga penasihat itu yang disebutnya bukanlah hal baru. Institusi semacam itu ada sejak era Amangkurat. Adapun naskah Sekar Wijaya Kusuma menuliskan pengadilan yang berkantor di Sidikara menangani kasus kriminal, pernikahan, dan kasus warisan yang menyangkut kawula dalem dan sentana dalem.

Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat yang sama-sama pewaris Kerajaan Mataram Islam juga tidak memiliki Dewan Adat. Yang ada hanya Dewan Wali Raja yang dibentuk pada abad XIX sebelum meletus Perang Jawa. Dasarnya, waktu itu putra mahkota masih berusia 3 tahun, tapi diangkat menjadi sultan menggantikan Hamengku Buwono IV yang tutup usia sehingga dia butuh pendamping.

Dewan Wali Raja dijabat Ratu Ibu, Ratu Kencana (ibu Sultan), Pangeran Diponegoro, dan Pangeran Mangkubumi. Para wali itu hanya berwenang mengawasi keuangan istana, adapun pelaksanaan pemerintahan berada di tangan patih. Jadi baik dari tinjauan sejarah maupun tradisi, Dewan Adat tidak memiliki legalitas menghukum raja, tapi sebatas memberi nasihat dan menyediakan ruang dialog bagi para priagung.

Tapi raja pun tidak bisa berbuat semaunya karena Asta Brata mengatur semua tindakannya lewat ungkapan berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta (berbudi luhur, mulia, dan bersifat adil terhadap sesama). Bila raja nekat melanggar, ia bakal bersalin rupa menjadi satria wirang lan ora kajen. Saling kontrol dan keselarasan inilah yang justru membentuk warna baru dalam sinergi yang serasi di keraton.

Semestinya rekonsiliasi menjadi titik awal membenahi karut-marut keraton secara kolektif, bukan malah memperkeruh keadaan. Masyarakat kini berharap Dewan Adat bersedia memaafkan secara tulus dan meluruhkan dendam masa lalu demi warisan budaya keraton. Perseteruan yang kelewat panjang merupakan lonceng kematian heritage dan mempertebal kekusaman keraton.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar