Kamis, 31 Mei 2012

Melindungi Hak-Hak Petani


Melindungi Hak-Hak Petani
Erpan Faryadi ; Anggota Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Tinggal di Cimahi, Jawa Barat
SUMBER :  SUARA KARYA, 31 Mei 2012


Pelajaran apa yang dapat ditarik dari konflik agraria yang terjadi pada 22 Mei 2012 di Deli Serdang, Sumatera Utara antara PT Perkebunan Nusantara (PTPN) II dengan warga, yang membuat sekitar 22 orang terluka? Bentrokan itu dipicu oleh sengketa lahan seluas 80 hektar antara PTPN II dengan warga yang mengklaim lahan itu milik mereka. Sementara PTPN II menyebutkan lahan itu menjadi hak PTPN II sejak 2003.

Demikian pula, dari Jember, Jawa Timur, pada hari yang sama dilaporkan ratusan warga berupaya menduduki lahan hak guna usaha milik PTPN XI di Desa Nogosari, Kecamatan Rambipuji. Warga menanam pohon pisang pada lahan yang disengketakan itu. Atau pun, konflik tanah di Mesuji dan Bima awal 2012 dan menewaskan sejumlah orang. Hal ini kemudian mendorong DPR mengambil inisiatif untuk membentuk panitia penyelesaian konflik agraria, yang sayangnya masih terhambat.

Dapat dikatakan, pemicu sejumlah sengketa tanah tersebut adalah ketidakadilan. Yakni, situasi di mana terjadi ketimpangan di dalam penguasaan dan pemilikan tanah dan sumber daya alam. Guna merombak ketimpangan agraria itu secara menyeluruh, perlu dilakukan upaya-upaya sistematis oleh negara bersama masyarakat untuk menjalankan apa yang dikenal sebagai program pembaruan agraria (agrarian reform). Pada gilirannya, program pembaruan agraria akan mengurangi konflik agraria, meski tidak menghapuskannya sama sekali.

Karena, program itu belum dikerjakan oleh pemerintah, tuntutan atasnya terus berkembang di mana-mana. Dalam tahun-tahun terakhir, seperti diperlihatkan kasus-kasus tanah di atas, peristiwa pendudukan tanah maupun blokade-blokade produksi adalah tuntutan nyata atas pentingnya program pembaruan agraria.

Konflik agraria yang kita saksikan di Mesuji dan Bima adalah bukti nyata atas tuntutan pengembalian hak atas tanah, yang menurut masyarakat, telah diambil akibat adanya konsesi untuk perkebunan dan kehutanan (Mesuji) dan pertambangan (Bima). Demikian pula, sengketa tanah di Deli Serdang dan Jember terkait dengan saling klaim hak atas tanah antara warga dengan konsesi hak guna usaha (HGU) perkebunan besar.

Konteks baru pengambilan tanah demi kepentingan energi nabati dan pangan, serta dampaknya bagi petani Indonesia dan relevansi dijalankannya pembaruan agraria di dalam konteks baru itu.

Dengan terjadinya krisis kapitalisme global yang semula dipicu oleh krisis keuangan di AS tahun 2008 dan sekarang berimbas ke Eropa, membuat orang berpikir keras mengenai jalan keluarnya agar krisis dapat teratasi. Salah satunya adalah kembali berinvestasi ke sektor pertanian, dengan harapan surplus pertanian yang diperoleh dapat digunakan untuk menggerakkan kembali roda ekonomi yang melambat. Komoditas yang diandalkan untuk itu adalah produk pangan dan minyak nabati (biofuel).

Penggunaan energi nabati sebagai pengganti energi minyak bumi dewasa ini telah menjadi kebijakan energi sejumlah negeri industri maju seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang. Kebijakan itu segera diikuti secara serentak oleh berbagai negeri lain, termasuk Indonesia karena terkait dengan syarat pemberian bantuan pembangunan dari lembaga-lembaga kreditor multilateral utama seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Uni Eropa sendiri mengandalkan pasokan energi nabati biodiesel dari Indonesia dan Malaysia, yang diolah dari minyak kelapa sawit (CPO). Artinya, minyak kelapa sawit yang semula hanya digunakan untuk keperluan industri makanan, kosmetik, dan kesehatan, dewasa ini juga telah menjadi komoditas penting di dalam industri minyak nabati sebagai bahan baku utama pembuatan biodiesel.

Berapa luas tanah Indonesia yang diperlukan guna memproduksi biodiesel buat negeri-negeri Eropa ini? Sebuah lembaga dari Belanda, The Dutch Environment Assessment Agency, menaksir diperlukan sekitar 2,5-3 juta hektar tanah di Indonesia dan Malaysia dibutuhkan untuk produksi biodiesel (Tim Rice, 2010: 35-37). Pada 2005, melalui Menteri Pertanian saat itu Anton Apriantono, Indonesia menyatakan komitmennya untuk menghasilkan energi nabati baik guna konsumsi domestik ataupun ekspor, dengan pembukaan proyek kebun sawit terbesar di dunia di Kalimantan seluas 1,8 juta hektar. 

Sementara itu, naiknya harga komoditas pangan dunia, yang mencerminkan adanya krisis pangan, menyebabkan ratusan juta penduduk mengalami kesulitan memperoleh pangan. Meskipun demikian, kepanikan atas krisis pangan dunia lebih disebabkan oleh faktor spekulasi dalam rangka mengambil keuntungan dari perdagangan komoditas pangan. Selain adanya faktor tekanan yang hebat dari industri minyak nabati untuk memproduksi minyak nabati dari produk-produk pangan. Contohnya adalah produk pangan seperti kedelai, kelapa sawit, jagung, dan tebu yang sebelumnya diproduksi semata-mata untuk konsumsi makanan manusia dan pakan ternak, sekarang produksinya harus juga dialokasikan untuk diolah menjadi minyak nabati.

Oleh karenanya, kepanikan terhadap adanya krisis pangan dunia, memang dengan sengaja dihembuskan oleh sebagai pintu masuk untuk menata kembali produksi pangan melalui pertanian pangan skala raksasa. Dengan menyatakan bahwa untuk meningkatkan percepatan produksi pangan, tidak ada pilihan lain bagi dunia selain meningkatkan produktivitas pertanian melalui perkembangan teknologi dan melibatkan swasta lebih banyak.

Inilah tema kampanye global untuk mengatasi krisis pangan yang diluncurkan FAO di dalam konferensinya pada 2009. Dengan sigap Indonesia melalui Wakil Presiden Boediono menanggapinya. Dalam pidatonya yang disampaikan pada Konferensi FAO di Roma itu, dia menyebutkan Indonesia siap memberikan dukungannya bagi pemenuhan pangan dunia, termasuk cita-cita besar menjadikan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia yang siap kapan saja memasok pangan seperti beras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar