Kamis, 31 Mei 2012

Moralitas Rendah Pejabat Negara


Moralitas Rendah Pejabat Negara
Mariyadi Faqih ; Peserta Program Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw
SUMBER :  SUARA KARYA, 30 Mei 2012


Gugatan publik terhadap perilaku pejabat negara yang menumpuk kekayaan, dan meningkat tajamnya kekayaan pejabat negara, atau sejenisnya, saat ini seperti angin lalu. Padahal, permintaan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) gigih menelusuri sumber aliran dana pejabat negara santer didengungkan. Kemudian, temuan PPATK terbaru yang menduga adanya transaksi ilegal bernilai miliaran rupiah di kalangan pejabat negara, misalnya, sudah terang benderang. Tetapi, penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan itu masih sulit diungkap, bahkan terkesan tidak bisa terungkap.

Pejabat negara yang dituding terlibat dalam perbuatan tidak terpuji, seperti menerima upeti atau hadiah dari kolega, rekanan, pengusaha, atau pihak-pihak yang berhasrat menjalin hubungan baik dengan dirinya, juga menjadi episode berkelanjutan. Episode demikian ini dibuktikan dengan banyaknya pejabat negara yang berurusan dengan hukum. Bahkan, ada yang sampai membuat anekdot tempat masa depan pejabat itu sebagai 'hotel prodeo' alias sel penjara.

Dalam sebuah kasus, seorang pejabat baru menjabat seumur jagung, tetapi indeks prestasi kekayaannya sudah melambung tinggi. Kekayaan yang dinilai imposible ini membuat rakyat miskin bertanya-tanya, mengapa jadi pejabat negara di "negeri pinokio" dan "negeri ketoprak" ini demikian enak? Apakah syarat hidup makmur secara mudah hanya dengan menjadi pejabat negara?

Praduga bersalah yang distigmakan oleh publik itu sangat beralasan, mengingat masih kuatnya budaya KKN mencengkeram pemerintahan. Melangitnya kekayaan seorang pejabat negara atau tidak rasionalnya pendapatan resmi dengan posisi kekayaan saat menjabat, layak dituding berani "bermain api" selama menjalankan roda kekuasaan yang diamanatkan kepadanya.

Dalam buku Kejahatan Negara, Eko Prasetio menyebutkan contoh kekayaan salah seorang selebriti politik Indonesia, yang sebelum menjadi anggota dewan tinggal di rumah kos bertarif sangat murah. Namun, dalam kurang dari dua tahun menjabat, kekayaannya sudah mencapai miliaran rupiah.

Mengapa kekayaan seorang pejabat bisa cepat melangit? Selebriti politik itu amat suka bertransaksi ilegal. Elite politik, misalnya, suka membawa atau menghadapkan rekanan ke selebriti kekuasaan di daerah. Jasa makelar ini berbuah fee atau pemberian sebagai kompensasi hadiah dan gratifikasi yang tidak sedikit. Dia bukan hanya mendapatkan hadiah atas jasa-jasanya, tetapi juga mampu menciptakan kolaborasi yang membuat rekanan merasa takut dan bergantung kepadanya, sehingga upeti terus mengalir secara rutin.

Tampaknya, pejabat negara ini tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan. Baginya berlaku prinsip aji mumpung. Begitu ada peluang strategis, mereka gampang sekali menerima tawaran hubungan baik atau jalinan emosional dengan pihak-pihak tertentu yang dinilai menguntungkanya secara ekonomi. Ironisnya, ketika kesempatan tidak terbuka, pejabat negara itu berusaha menciptakan kondisi yang memungkinkan orang lain tergiring untuk mengirimkan upeti. Pejabat negara ini membikin kondisi yang membuat objek bisa dengan mudah ter-pressure atau terdikte. Bahwa, dirinya membutuhkan uang, perlu dikirim upeti, atau perlakuan istimewa lainnya.

Mentalitas tidak baik seperti memburu, mengumpulkan, dan menimbun kekayaan saat menjabat merupakan mentalitas yang menyatu dengan dimensi struktural. Meski sebenarnya sudah ada rambu-rambu moral profetis yang mengikatnya, tetapi tidak diindahkan.

Filosof kenamaan Aristoteles pernah mengingatkan, "Semakin tinggi penghargaan manusia terhadap kekayaan, maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kesusilaan, kebenaran, kejujuran, dan keadilan." (D Taniwijaya, 2006)

Dalam diri seseorang yang larut menjadi pemuja atau pengultus kekayaan berarti dirinya rela dikerangkeng oleh kekuatan kapital, yang mengakibatkan kecerdasan batinnya lemah atau mengidap krisis profetis berbasis humanitas dan kebangsaan.

Kecerdasan batin yang melemah merupakan salah satu akar utama kriminogen terjadinya penyalahgunaan atau pengebirian moral profetis. Kecerdasan batin akan tetap hidup dan menyala sepanjang manusia bersungguh-sungguh membebaskannya dari beban kecenderungan mencintai kekayaan atau dimensi ekonomi secara berlebihan.

Apa yang diingatkan oleh Aristoteles layak dijadikan refleksi elite pejabat. Bahwa, manakala manusia sudah terjebak dalam pengkultusan kekayaan atau sumber-sumber status sosial- ekonomi, maka sosok ini telah menjatuhkan opsi pada deskralisasi atau pengimpotensian moral profetisnya. Peran-peran yang dimainkannya cenderung memanfaatkan jabatannya untuk mencari dan mengumpulkan pundi-pundi kekayaan dengan mengorbankan komitmennya terhadap loyalitas kerakyatan.

Moral profetis seperti yang disinyalir oleh Frans Magnis Suseno sebagai kekuatan utama dan pondasi normatif yang menyangga kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan, akhirnya sebatas diberlakukan jadi aksesoris, melodi merdu paduan suara struktural, dan nyanyian kultural kelompok eksklusif yang selalu dilantunkan. Pejabat negara seperti itulah yang membuat lahirnya stigma negara tanpa negarawan di negeri ini.

Bangsa ini kaya pejabat bergelar tinggi yang kelihatannya intelektual, namun gelar yang disandangnya tidak diikuti tingginya komitmen moral. Komitmen pribadi secara eksklusif berupa nafsu memperkaya diri dan keluarga jauh lebih ditinggikan dibandingkan tanggung jawab menyejahterakan rakyat.

Beban ekonomi rakyat sudah sedemikian berat. Mereka hanya disisakan ampasnya, sementara saripatinya sudah dihisap oleh pejabat penyeleweng. Negara pun dilabeli dengan "negara tanpa hukum" (state without law). Sungguh memprihatinkan!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar