Kamis, 31 Mei 2012

Pengintegrasian UN dan Seleksi Masuk PTN

Pengintegrasian UN dan Seleksi Masuk PTN
Darmaningtyas ; Penulis Buku Manipulasi Kebijakan Pendidikan
SUMBER :  KORAN TEMPO, 30 Mei 2012


Hasil ujian nasional (UN) untuk sekolah menengah tingkat atas (sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan) telah diumumkan dengan hasil yang variatif dan tingkat kelulusan di atas 90 persen. Nusa Tenggara Timur merupakan daerah yang memiliki tingkat kelulusan terendah, yaitu 94,5 persen, disusul Provinsi Gorontalo (95,76 persen), sedangkan Jawa Timur memiliki tingkat kelulusan tertinggi (99,93 persen) dan disusul Sulawesi Utara (99,91 persen). Wilayah DKI Jakarta justru menduduki posisi ke13 dengan tingkat kelulusan 99,62 persen dan DI Yogyakarta, yang dikenal sebagai Kota Pelajar, justru menduduki posisi ke22 dengan tingkat kelulusan 99,29 persen.

Keragaman tingkat kelulusan tersebut mencerminkan kompleksitasnya persoalan UN. Mengapa NTT meraih nilai UN terburuk dibanding Maluku atau Papua dan Papua Barat? Secara geografis, NTT mengalami masalah yang sama dengan daerah-daerah Indonesia timur lainnya: keterbatasan infrastruktur transportasi dan komunikasi yang dapat menunjang kelancaran belajar-mengajar. Tapi, dari sumber daya alam, NTT termasuk daerah yang miskin sumber daya alam, sehingga NTT termasuk daerah termiskin di Indonesia. Mayoritas wilayah NTT adalah daerah kering dan panas sehingga kurang nyaman untuk belajar. Kondisi alam yang panas, miskin sumber daya alam, serta ditopang dengan infrastruktur transportasi dan komunikasi yang buruk membuat orang malas belajar karena tidak memiliki harapan dengan bersekolah. Wajar bila kemudian hasil UN mereka jelek. Bahkan tingkat kelulusan di atas 90 persen itu pun, menurut penulis, sudah terlalu bagus.

Adapun menyangkut kelulusan di wilayah DKI Jakarta, yang kalah dibanding daerah-daerah lain, menurut dugaan penulis, sumbangan tingkat ketidaklulusan yang tinggi berasal dari sekolah-sekolah swasta pinggiran yang menampung anak-anak kaum miskin, seperti anak sopir, buruh informal, pedagang kecil, dan penganggur. Sekolah tersebut tidak memperoleh dukungan sama sekali dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, karena fokus perhatian pemerintah DKI Jakarta pada sekolah-sekolah negeri saja. Anakanak miskin itu terpaksa membiayai pendidikannya sendiri. Dan karena mengeluarkan biaya sendiri, sedangkan kemampuannya terbatas, secara otomatis proses belajar-mengajarnya terhambat. Anak-anak tersebut juga tidak bisa mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah seperti anak orang kaya pada umumnya. Wajar bila kemudian pada saat UN, di antara mereka banyak yang tidak lulus, termasuk ketidaklulusan 100 persen yang pernah terjadi pada UN sebelumnya, yang juga berasal dari sekolah pinggiran.

Dilihat dari jenis mata pelajaran yang dianggap sulit, seperti tahun-tahun sebelumnya, pelajaran matematika dan bahasa Indonesia dianggap paling sulit, sehingga berkontribusi besar pada kegagalan UN 2012 dan sebelumnya. Tentu saja, sulitnya pelajaran matematika dapat dipahami, karena mayoritas pelajar Indonesia lemah dalam matematika. Tapi kesulitan pada pelajaran bahasa Indonesia sungguh mengherankan, mengingat bahasa Indonesia merupakan bahasa sehari-hari dan sekaligus bahasa nasional. Pelajar Indonesia sekarang sejak kecil sudah berbahasa Indonesia melalui televisi, sehari-hari berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, dan diajar dalam bahasa Indonesia. Tapi, begitu dilakukan tes untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, ternyata hasilnya tidak otomatis lebih bagus dibanding pelajaran bahasa Inggris. Wajar bila jebloknya mata pelajaran bahasa Indonesia ini menjadi keprihatinan kita bersama.

Ada dua kemungkinan jebloknya nilai bahasa Indonesia dalam UN. Pertama, pelajaran bahasa Indonesia disepelekan, karena murid lebih bangga akan bahasa Inggrisnya, sehingga tidak total belajar bahasa Indonesia. Kedua, tidak nyambung-nya antara kisi-kisi materi pelajaran dan kisi-kisi soal (evaluasi). Sebab, kalau kisi-kisi pelajaran dengan evaluasinya nyambung, hasilnya tidak seburuk sekarang. Faktor guru dapat dipersalahkan kalau kejadiannya kasuistik, hanya terjadi di beberapa sekolah. Tapi, kalau terjadi secara nasional, penyebabnya tentu bukan guru. Masak guru se-Indonesia buruk semua? Seburuk-buruknya guru mengajar, kalau materinya nyambung, murid pintar tetap akan dapat mengerjakan soal. Tapi, bila anak-anak pintar pun mengeluhkan sulitnya soal bahasa Indonesia, berarti akar masalahnya adalah materi pelajaran.

Tiket ke PTN

Secara umum, hasil UN sekarang ini tidak jauh berbeda dengan hasil pada tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada yang mengejutkan dalam pengumuman hasil UN 2012. Nilai tertinggi tidak pernah diraih oleh pelajar di Jakarta, tapi justru pelajar di daerah dan dari anak golongan tidak mampu. Tapi yang menarik adalah keinginan pemerintah mengintegrasikan hasil UN dengan seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri (PTN). Gagasan pengintegrasian ini merupakan respons atas kritik terhadap UN selama ini yang dinilai mubazir, karena tidak bermakna apa-apa kecuali sebagai penentu kelulusan saja.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memandang bahwa pengintegrasian UN dengan seleksi masuk ke PTN akan dapat mengakhiri kontroversi UN, karena UN menjadi lebih fungsional. Gagasan tersebut bagus, tapi tidak mudah diwujudkan, mengingat banyak pemimpin PTN masih ragu akan kredibilitas UN itu sendiri. Keraguan tersebut muncul dengan banyaknya kasus kebocoran soal UN dan fakta adanya pembentukan tim sukses UN di daerah-daerah. Sementara itu, tes tertulis secara bersama masuk PTN, yang sekarang disebut seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN), sudah berlangsung hampir 40 tahun dan relatif tidak ada persoalan.

Tarik-menarik antara kepentingan pemerintah dan para pemimpin PTN tersebut merupakan masalah baru dalam UN untuk SMTA. Adanya resistansi dari para pemimpin PTN untuk pengintegrasian nilai UN sebagai tiket masuk PTN menunjukkan kredibilitas UN belum sepenuhnya dapat diterima oleh publik. Ini artinya, UN masih menyisakan persoalan serius. Pemerintah perlu kerja ekstra untuk dapat meyakinkan publik bahwa UN betul-betul kredibel, sehingga hasil UN dapat dipakai sebagai standar baru untuk melihat kualitas pendidikan. Selama ini UN belum dapat dijadikan pedoman untuk melihat kualitas pendidikan nasional. Sebagai contoh, pada 2010 DIY memiliki tingkat kelulusan yang rendah. Tapi hasil SNMPTN pada tahun yang sama, lulusan terbaik berasal dari DIY.

Pepatah lama menyatakan bahwa “pengalaman adalah guru terbaik“. Bila kita percaya pada pepatah tersebut, pengalaman hampir 40 tahun penyelenggaraan seleksi bersama masuk PTN tanpa gugatan semestinya menjadi acuan untuk diteruskan. Bukan sebaliknya, UN yang baru berlangsung sepuluh tahun dan mendapat tentangan terus justru akan dijadikan acuan masuk PTN. Sebelum diimplementasikan, perlu dikaji lebih cermat lagi soal pengintegrasian UN dengan SNMPTN. Menurut penulis, bukan seleksi bersamanya yang diubah, melainkan keberadaan UN itu sendiri yang perlu dikaji ulang, tepat atau tidak. Hanya, mengingat pelaksanaan UN itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, langkah untuk mengkaji UN adalah dengan mengubah PP tersebut.

Langkah pertama untuk dapat merevisi PP Nomor 19 Tahun 2005 adalah merevisi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) terlebih dulu. Undang-undang ini perlu direvisi mengingat beberapa pasal sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah UU Sisdiknas direvisi, konsekuensi logisnya, PP Nomor 19 Tahun 2005 pun perlu direvisi, dan dalam revisi PP Nomor 19 Tahun 2005, posisi UN perlu ditinjau ulang agar kontroversi yang ada selama ini dapat diakhiri. Agak sulit meminta pemerintah menghentikan UN bila PP yang mengatur keberadaan UN belum direvisi. Dan merevisi PP tersebut hanya mungkin dilakukan bila didahului dengan merevisi UU Sisdiknas. Jadi sekarang, kunci perubahan itu ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat, karena merekalah yang berhak merevisi UU Sisdiknas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar