Rabu, 30 Mei 2012

Putusan MA dan Perintah Penahanan


Putusan MA dan Perintah Penahanan
Trimoelja D Soerjadi; Advokat
SUMBER :  KOMPAS, 30 Mei 2012


Courts can be empowered to act in the interests of fairness and may be allowed to reach a contra legem decision at the discretion of the judge.
BE Smith

Berita ”Putusan Mahkamah Agung Tak Dapat Dieksekusi” (Kompas, 18/5) dan ”Perintah Penahanan Tidak Diperlukan” (Kompas, 19/5) berkenaan dengan sinyalemen ketua Komisi III DPR tentang sejumlah putusan Mahkamah Agung yang tak dapat dieksekusi karena cacat hukum, antara lain, karena tak ada perintah untuk menahan.

Dicontohkan dalam berita itu, putusan MA terhadap Parlin Riduansyah, Dirut PT Satui Bara Tama, yang dipidana tiga tahun penjara.

Namun, dalam putusannya, MA tak mencantumkan norma yang diatur KUHAP dalam Pasal 197 (1) huruf k, antara lain, berbunyi bahwa putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.

Selanjutnya Pasal 197 (2), antara lain, berbunyi bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam Ayat 1 huruf k ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Djoko Sarwoko, Ketua Muda Pidana Khusus MA, mengatakan, sebenarnya sudah jamak putusan hakim tanpa disertai perintah penahanan, bahkan sejak KUHAP berlaku. Putusan semacam itu sah secara hukum.

Mengapa Tak Benar

Benarkah pendapat bahwa putusan pidana MA yang amarnya tak memuat perintah menahan terdakwa tak dapat dieksekusi? Ada sejumlah alasan mengapa pendapat itu tak benar.

Pertama, putusan MA merupakan putusan akhir otomatis yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan demi hukum sudah mempunyai kekuatan eksekutorial (dapat dieksekusi) sejauh putusan itu mencantumkan irah-irah ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Irah-irah itu merupakan titel eksekutorial dari putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kalaupun putusan pidana MA mencantumkan perintah penangkapan terdakwa, putusan itu tak dapat dilaksanakan jika alpa mencantumkan irah-irah itu. Benar atau salah, adil atau tak adil, putusan itu harus dilaksanakan.

Kedua, kewenangan menahan atau tidak menahan merupakan kewenangan diskresioner. Jadi, tidak ada ketentuan yang mengharuskan atau mewajibkan agar tersangka/terdakwa ditahan.

Pasal 20 (3) KUHAP menentukan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan. Selanjutnya Pasal 28 (1) KUHAP menentukan, antara lain, bahwa hakim MA guna kepentingan pemeriksaan kasasi berwenang mengeluarkan surat perintah penahanan.

Redaksi Pasal 20 (3) dan 28 (1) KUHAP jelas menunjukkan bahwa (1) kewenangan untuk menahan itu sifatnya diskresioner dan (2) hanya selama diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan.

Putusan MA merupakan putusan akhir dan tak ada upaya hukum biasa bisa membatalkannya dan, karena itu, putusan MA langsung mempunyai kekuatan hukum tetap dan harus segera dilaksanakan (Pasal 197 [3] KUHAP).

Hal itu juga bisa disimpulkan dari ketentuan tentang permohonan peninjauan kembali (PK) yang diatur dalam KUHAP. Permohonan PK yang merupakan upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak menangguhkan eksekusi putusan tersebut (Pasal 268 [1] KUHAP).

Yang harus dicermati di sini adalah bahwa menurut ketentuan Pasal 20 (3) jo Pasal 28 (1) KUHAP, perintah penahanan oleh hakim dikeluarkan sejauh hal itu menurut penilaian hakim perlu untuk kepentingan pemeriksaan di sidang. Ketika hakim MA sudah mengetokkan palu sewaktu menjatuhkan pidana, pemeriksaan sudah selesai.

Oleh karena itu, sungguh sangat tak logis atau tak nalar ke- tika pemeriksaan di sidang sudah selesai, begitu hakim MA mengetokkan palu memidana terdakwa, amar putusan harus mencantumkan perintah agar terdakwa ditahan.

Apa kepentingannya, apa urgensinya atau relevansinya hakim MA dalam putusannya memerintahkan penahanan terdakwa ketika pemeriksaan di sidang sudah selesai, padahal Pasal 20 (3) jo Pasal 28 (1) KUHAP jelas menyebutkan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan, hakim berwenang melakukan/memerintahkan penahanan terdakwa?

Ketiga, putusan hakim menciptakan hukum. Acap kali ketentuan dalam undang-undang tidak atau tidak jelas mengatur sesuatu.

Oleh karena hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan karena UU tidak atau tidak jelas mengatur sesuatu, hakim wajib karenanya memeriksa dan mengadili semua perkara yang diajukan kepadanya.

Hakim dengan putusannya dalam hal itu, melalui penafsiran, telah melengkapi kekurangan atau kevakuman dalam UU. Itu sebabnya dikatakan putusan hakim menciptakan hukum.

Hukum tak hanya sekadar terdiri atas UU atau peraturan perundang-undangan tertulis lain. Hukum adat sejauh masih merupakan hukum yang hidup dan dihayati masyarakat adat yang bersangkutan dapat diadopsi sebagai norma hukum dalam putusan pengadilan.

Bahkan, dalam praktik dan teori hukum berkembang dan diakui sebagai hukum apa yang dinamakan ius contra legem, hukum yang bertentangan dengan UU.

Beberapa kali, misalnya, MA telah mengabulkan PK yang diajukan Kejaksaan. Dikabulkannya PK yang diajukan Kejaksaan jelas-jelas bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 263 (1) KUHAP yang menentukan bahwa yang dapat mengajukan PK: terpidana atau ahli warisnya.

Ketentuan itu limitatif, artinya a contrario hal itu harus dan wajib ditafsirkan bahwa selain terpidana atau ahli warisnya, tak ada orang lain yang berhak mengajukan PK.

Penulis tak setuju dengan putusan MA yang memberi hak kepada Kejaksaan mengajukan PK, tetapi kenyataannya dalam praktik, meskipun kontroversial, MA telah menciptakan hukum yang bertentangan dengan UU dengan mengabulkan PK ajuan Kejaksaan.

Contoh lain dari hukum yang bertentangan dengan UU. Beberapa kali MA di tingkat kasasi dalam kasus korupsi menjatuhkan pidana di bawah ancaman pidana minimal yang ditetapkan dalam UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Meskipun putusan MA itu kontroversial, tak bisa dikatakan bahwa putusan MA yang bersangkutan batal demi hukum.

Penjelasan MA adalah bahwa akan dirasakan sangat tidak adil, koruptor yang terbukti melakukan korupsi Rp 10 juta ex Pasal 12 UU No 20/2001 harus dipidana empat tahun penjara: minimal ancaman pidana untuk pelanggaran pasal itu, sedangkan koruptor lain yang terbukti melakukan korupsi yang sama sebesar Rp 5 miliar, misalnya, juga diganjar empat tahun penjara.

Oleh karena itu, sudah jamak putusan pengadilan yang dalam amarnya tak mencantumkan perintah menahan terdakwa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 197 (1) KUHAP, seperti yang telah dikemukakan Ketua Muda Pidana Khusus MA di sini, harus dimaknai bahwa hakim telah menciptakan hukum yang bertentangan dengan UU.

Putusan MA yang tak mencantumkan perintah menahan terdakwa karenanya tidak batal demi hukum dan konsekuensinya: putusan itu harus segera dilaksanakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar