Kamis, 31 Mei 2012

Siklus Korupsi di Daerah


Siklus Korupsi di Daerah
Israr Iskandar ; Pengajar Sejarah Politik Universitas Andalas Padang
SUMBER :  REPUBLIKA, 31 Mei 2012


Pesta demokrasi di aras lokal dewasa ini ternyata berbanding terbalik dengan indeks korupsi di daerah. Data Kementerian Dalam Negeri menunjukkan, sebanyak 173 kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota) terjerat kasus hukum sejak 2004 hingga awal 2012 karena kasus korupsi.

Intensifnya korupsi kepala daerah belakangan ini seakan menggantikan kecenderungan maraknya korupsi legislatif lokal pada masa awal penerapan otonomi daerah (1999-2004). Kewenangan besar tanpa adanya kekuatan pengontrol yang memadai selama ini telah memicu maraknya korupsi pejabat publik di daerah yang sebarannya membentang dari Sabang sampai Merauke.

Korupsi kepala daerah dewasa ini hampir selalu dihubungkan dengan pemilihan kepala daerah (pemilukada/pilkada) langsung sejak diberlakukannya UU 32 Tahun 2004. Krusialnya, dalam sistem pilkada langsung, kebutuhan dana yang besar seakan menjadi keniscayaan bagi calon-calon kepala daerah, baik untuk “sewa perahu“ (partai) maupun biaya sosialisasi dan kampanye.

Dalam konteks itu, logika politik yang kemudian berkembang bahwa peluang seorang kandidat untuk terpilih sebagai kepala daerah kian besar jika ia memiliki kocek lebih tebal. Kekuatan dana bisa “membeli“ partai dan bahkan dapat “memblokade“ pesaing mendapatkan kendaraan untuk maju, seperti terjadi pada Pemilukada Jakarta 2007. Selain itu, kandidat juga butuh dana besar untuk sosialisasi kampanye.

Modal dari sponsor inilah yang menjadi awal malapetaka. Kepala daerah terpilih seolah (bahkan, agaknya sudah menjadi pengetahuan umum) wajib mengembalikan dana dari investor politik.

Jika sponsornya kalangan pengusaha, tindakan balas budi kepala daerah umumnya dalam bentuk kompensasi bisnis, seperti proyek-proyek APBD dan izin pengolahan hasil kekayaan alam, seperti pertambangan dan kehutanan.
Jika sponsornya kumpulan birokrat korup dan haus kekuasaan, kompensasinya adalah pemberian jabatan-jabatan birokrasi, sekalipun tidak sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas.

Realitas inilah antara lain yang memicu pelbagai kerusakan dan pelambatan pembangunan di daerah, termasuk daerah-daerah hasil pemekaran. APBD jadi sasaran utama perampokan uang negara oleh pejabat daerah dan kroninya. Padahal di sisi lain, sebagian besar APBD sudah pula habis untuk belanja rutin pemda, seperti gaji pegawai dan perjalanan dinas pejabat daerah.

Salah Kaprah

Namun demikian, menjadikan sistem pemilukada langsung sebagai satu-satunya akar penyebab maraknya korupsi kepala daerah tentu juga menyederhanakan masalah. Sejarah politik lokal di era reformasi menunjukkan, apa pun sistem pemilukada (langsung ataupun tidak langsung), potensi korupsi tetap terbuka, jika mekanisme check and balances yang dimainkan aktor-aktor demokrasi di daerah tak berjalan baik dan pola pikir politikus tak berubah.

Pemilukada di DPRD sekalipun, sebagaimana kini diusulkan pemerintah dan beberapa kalangan konservatif, khususnya untuk pemilihan gubernur, tidak akan menjamin keadaan menjadi lebih baik. Jika tak ada sistem kontrol yang ketat dan berkelanjutan, korupsi kepala daerah dan jajarannya tetap terbuka lebar. Pelaksanaan pilkada di DPRD bahkan tidak hanya menjadi ajang politik uang antara kandidat dan anggota dewan, tapi juga bisa menandai proses kolusi eksekutif-legislatif lokal.

Tentu saja di luar masalah sistem, maraknya korupsi di daerah pada era reformasi dan otonomi daerah, sebenarnya juga terkait mind-set (pola pikir) para politikus kita yang harus diluruskan. Sebagian politikus kita melihat politik sebagai lahan pekerjaan. Sebagian lainnya malah menjadikan politik sebagai arena menumpuk kekayaan. Partai politik pun diperlakukan seperti korporasi yang tujuannya memupuk dan memburu keuntungan.

Seorang anggota DPRD provinsi, misalnya, bisa menghabiskan dana kampanye Rp 1 miliar, tapi akumulasi keuntungan lima tahun menjabat wakil rakyat bisa mendapatkan puluhan miliar lewat permainan proyek-proyek APBD.

Seorang calon wali kota menghabiskan dana kampanye Rp 10 miliar, tapi akumulasi keuntungan selama menjabat, jauh lebih besar untuk modal maju ke periode kedua, merebut jabatan lebih tinggi atau jabatan sama di daerah lain.

Padahal, politik semestinya menjadi arena pengabdian bagi kepentingan rakyat dan negara. Politikus sejatinya menjadi pekerjaan mulia, dedikatif, dan aktualitatif tanggung jawab karena mereka sebagai pemegang otoritas dapat mengagregasi kepentingan rakyat.

Jika politikus lebih banyak menjadikan politik sebagai arena menumpuk keuntungan pragmatis, oportunistik, dan jangka pendek, seperti terjadi belakangan ini maka yang rusak bukan hanya citra politikus, tapi juga kans demokrasi itu sendiri sebagai cara terbaik untuk mewujudkan cita-cita rakyat (demos) dan negara.

Oleh karena itu, seraya memperbaiki sistem pilkada ke arah lebih demokratis, pembenahan sektor “hulu“ ini juga mesti segera dilakukan. Partai harus benarbenar dapat merekrut kader atau tokoh yang tidak hanya populer, tapi juga punya kapabilitas, integritas, dan dedikasi yang tinggi kepada rakyat.

Hanya dengan karakter kepemimpinan politik seperti itulah potensi siklus korupsi pejabat publik, termasuk di daerah, bisa dikurangi secara signifikan, kalau bukan dihilangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar