Rabu, 27 Juni 2012

Strategi Cybercampaign


Strategi Cybercampaign
Najmuddin Mohammad Rasul ;  Dosen Universitas Andalas,
Mahasiswa Program Ph D Komunikasi Politik di National University of Malaysia
Sumber :  REPUBLIKA, 26 Juni 2012


Bagi para aktor politik, pemilih pemula (young voters) merupakan objek yang perlu mendapat perhatian khusus. Sebab, pemilih pemula termasuk kelompok undecided voters yang belum memiliki keputusan politik dalam pemilihan umum. Kelompok muda ini sangat rasional, kreatif, dan inovatif, terutama dalam mencari informasi politik.

Dalam era teknologi informasi (ICT) ini, internet telah menjadi media utama baik bagi masyarakat maupun elite politik. Kehadiran ICT telah mengubah landscape politik di negara-negara demokrasi. ICT dapat meningkatkan pemahaman dan kualitas warga serta pengelolaan pemerintahan yang lebih baik.

Para pemilih terutama generasi muda telah memanfaatkan media internet sebagai medium marketplace of ideas, debat publik, dan sumber informasi politik. Bagi para aktor politik, media internet dijadikan media komunikasi politik yang efektif untuk menyampaikan ide-ide politik, janji, dan agenda politiknya.

Kalau diperhatikan, sejarah penggunaan internet oleh elite politik adalah berawal dari penelitian yang dilakukan oleh Bimber dan Davis dalam pemilu Amerika pada 2000. Kajiannya menemukan bahwa komunikasi politik menggunakan internet memiliki keunggulan dibanding media lain. Keunggulan itu antara lain, opinion reinforcement, activism, donating, voter registration and mobilization.

Sementara itu, menurut Bakker dan Vreese (2011), media internet untuk politik telah digunakan pada pemilihan Presiden Amerika pada 2008. Smith & Rainie (2008) mengatakan bahwa Presiden Obama sangat aktif berkomunikasi dengan pemilih pemula melalui social media. Hal yang sama menurut Eurostat (2009) juga terjadi di negara-negara Eropa Barat.

Mengenai hubungan internet dan politik adalah sesuatu yang menarik dan perlu untuk dikaji. Kajian tentang internet dan politik telah dilakukan oleh banyak pakar, seperti Zafiropoulos dan Vrana (2008), Desquinabo (2008), Devereaux (2008), Gaines dan Mondak (2008). Internet adalah sebuah media alternatif yang dapat digunakan oleh warga untuk partaisipasi politik dalam era digital ini.

Dalam kajian Kissane (2008) pada pemilihan umum Federal Australia menunjukkan pemilih muda yang berumur 18-29 tahun cenderung memilih dan menyukai kandidat berusia muda. Sedangkan, menurut Lilleker dan Jackson (2008), elite politik di Inggris cenderung menggunakan internet untuk meraih suara. Namun sebaliknya, dalam kajian Oates (2008) di Rusia menunjukkan bahwa internet tak berhasil mengimbangi media tradisional yang bias.

Merujuk pada kajian Kirk and Schill (2011) terhadap pemilihan presiden Amerika pada 2008, ternyata ICT telah membantu warga untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum karena dengan internet warga dapat mengetahui lebih dekat sosok, latar belakang, dan visi-misi politik para kandidat. Internet sangat berpengaruh terhadap perilaku dan keputusan politk utamanya generasi muda.

Dalam cyberspace ini bukan hanya orang yang tertarik akan internet yang berubah, tetapi semua orang termasuk aktor politik juga berubah perilaku politiknya. Yang lebih ekstrem adalah warga muda berpikir lebih skeptis dan antipati terhadap politik (Henn, Weinstein, & Wring, 2002).

Selanjutnya, mengikuti perspektif post-modernist, internet telah menjadi alat komunikasi dan transformasi sosial. Sedangkan, dalam perspektif komunikasi politik, internet akan menjadi public sphere dan medium tempat bertukar informasi yang efektif pada abad ke-21. Bahkan, internet dapat mengonstruksi dan mendiskusikan isu-isu sosial. Sejalan dengan padangan di atas, Habermas mengatakan bahwa internet dapat menjadi sarana untuk mengatasi kompleksitas masyarakat modern.

Walaupun banyak hasil peneiltian yang menunjukkan manfaat internet sebagai media komunikasi politik yang efektif, namun banyak pula pandangan yang mengatakan bahwa internet berbahaya untuk demokrasi, namun beberapa pakar menunjukkan bahwa media massa termasuk internet telah menjalankan fungsinya sebagai pendorong keterlibatan warga dalam negara demokrasi. Bahkan, internet ternyata memiliki peranan yang signifikan dalam spektrum ini.

Young voters

Generasi muda, utamanya yang berumur 17-22 tahun, umumnya termasuk kelompok undecided voters. Jumlah mereka cukup signifikan. Oleh sebab itu, suara mereka sangat menentukan dalam pemilu. Memahami besarnya potensi generasi muda tersebut maka partai politik dan aktor politik selalu menjadikannya sebagai prioritas dalam melakukan kampanye pemilu.

Kalau diperhatikan, dalam setiap pemilihan umum telah terjadi penurunan angka partisipasi warga muda yang signifikan. Misalnya, dalam tiga pemilu legislatif terakhir, penurunannya sudah di atas 20 persen. Dari 93 persen pada Pemilu 1999 menjadi 70 persen dan 99 pada Pemilu 2009. Angka partisipasi pemilih dalam pemilihan presiden (pilpres) yang untuk pertama kalinya digelar secara langsung pada 2004 lalu, pada putaran pertama angka partisipasinya masih 79,76 persen.

Oleh sebab itu, perlu dipahami dengan baik apa faktor yang menyebabkan terjadinya kondisi demikian. Menurut saya, yang amat krusial adalah faktor kepercayaan generasi muda terhadap perilaku politik dan pola rekrutmen dan pendidikan politik oleh partai politik. Serta, sistem politik perlu diperbaiki sesuai dengan norma-norma demokrasi yang berlaku universal.

Bisakah aktor yang berperan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI kali ini memanfaatkan media internet sebagai medium komunikasi politik untuk meraih hasil maksimal dan sekaligus untuk meningkatkan partisipasi pemilih khususnya pemilih pemula? Tentu kita berharap, Pilkada DKI dapat menjadi tolok ukur pelaksanaan Pemilu 2014 nanti. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar