Rabu, 25 Juli 2012

Belajar dari Korea Selatan


Belajar dari Korea Selatan
Dinna Wisnu ; Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina 
 SINDO, 25 Juli 2012


Tidak ada negara yang bisa hidup sendiri meskipun ia kaya. Dalam membangun diperlukan keserasian antara prinsip-prinsip pertumbuhan ekonomi dengan orientasi sosial politik dalam pergaulan global. 

Dialog ini harus dibuka demi pencarian jati diri sebagai bangsa yang tidak pernah berhenti. Contoh yang dapat kita lirik adalah Korea Selatan (Korsel). Siapa di antara kita yang belum kenal dengan produk dan jaringan usaha dari Korsel? Ada Lotte (perusahaan permen karet yang sekarang merupakan salah satu perusahaan terbesar bidang makanan dan pusat perbelanjaan), Samsung, Hyundai- KIA, LG Electronics, SK, dan lain-lain.

Dari 500 perusahaan multinasional terkaya di dunia versi majalah Fortune (23/7/12), 13 di antaranya adalah milik Korsel dengan total nilai pendapatan lebih dari USD703 miliar. Jumlah ini melebihi jumlah perusahaan multinasional kaya dari Australia, Brasil, Kanada, India, Rusia, dan sejumlah negara lain di Eropa,Asia dan Timur Tengah. Kita tahu juga kehadiran jaringan konglomerat Korsel makin menggurita di Indonesia.

Dalam media The Hankyoreh (2/7/12) dibahas total aset 100 perusahaan konglomerat di Korsel pada akhir tahun 2011 hampir sama nilainya dengan seluruh aset yang dimiliki pemerintah Korsel, yakni mencapai USD1,27 triliun. Aset terbesar dipegang oleh empat grup: Samsung, Hyundai Motors, SK, dan LG. Lotte ada di posisi kelima.

Dengan posisi ekonominya yang baik dan kuat, mereka terus bertanya siapakah Korsel di mata dunia? Apakah Korsel dipandang dengan hormat oleh negara-negara yang dianggapnya penting? Apakah segala perusahaan besar yang membawa bendera Korsel ke berbagai penjuru dunia punya kesesuaian tujuan dengan nasionalisme Korsel?

Apakah kekayaan bangsa Korsel menghadirkan rasa aman dalam pergaulan internasional? Ketika beberapa hari lalu pengamat bidang ilmu politik dan diplomasi dari sejumlah negara seperti Indonesia, India, Australia, Rusia, Amerika Serikat, dan China (termasuk saya satu-satunya mewakili Indonesia) hadir di Seoul, jawaban dari rentetan pertanyaan tersebut belum dirasa mantap.

Sebagai suatu bangsa yang termasuk sangat homogen dari latar belakang suku, agama maupun bahasa, Korsel merasa masih ada hal yang membuat diri mereka belum lengkap sebagai sebuah bangsa. Mereka merasa China tumbuh arogan dan tidak sungguh memperhitungkan Korsel sebagai negara berdaulat. Apalagi karena selama ini China dianggap relatif masih ”merawat” Korea Utara (Korut) yang dirasa sebagai musuh dalam selimut bagi masyarakat Korsel.

China memang terangterangan mengecam tindakan Korsel yang menekan para pelarian dari Korut dan berjanji akan membuka pintu lebarlebar bagi pelarian dari Korut dan tak berminat menghukum Korut secara politik ataupun ekonomi karena alasan tidak manusiawi.Walhasil ada ilmuwan yang menyimpulkan China semata ingin melakukan aneksasi terhadap Korsel; secara perlahan melakukan ekspansi ekonomi sambil mendiskreditkan pilihan politik Korsel.

Di sisi lain, sejumlah ilmuwan melihat Korsel di mata AS hanya sebagai bumper menghadapi ekspansi China di wilayah Asia Timur.Ada yang kecewa kepada AS karena di belakang Korsel, AS ternyata mengirimkan utusan ke Korut untuk menjanjikan uang tunai pada rezim Kim Jong-un bila tidak melakukan uji coba nuklir atau gerakan lain yang akan mendiskreditkan Presiden Barack Obama di masa pemilu ini. Mereka berpendapat kejadian itu adalah momentum bagi Korsel untuk berani bersikap beda terhadap AS.

Meski demikian, pandangan tersebut goyah ketika terkuak bahwa Jepang sepenuhnya loyal dan mendukung kebijakan AS. Dalam berdiplomasi, Korsel melihat juga sikap negara tetangga di Asia Timur bila ingin bersikap tegas ke AS. Sikap Jepang yang mendukung AS bulat-bulat baik dalam kebijakan ekonomi, politik (termasuk untuk soal Korut) maupun militer (termasuk soal penanganan senjata nuklir) membuat Korsel kehilangan percaya diri.

Jepang bahkan mengungkapkan kesiapannya dalam waktu kurang dari dua bulan dapat mempersenjatai dirinya dengan nuklir yang tidak hanya dapat membuat Korut bungkam, tetapi juga Korsel. Walhasil, tak hanya merasa tidak dianggap, Korsel pun merasa tidak aman dalam lingkar tetangganya di Asia Timur.

Diplomasi dalam Pembangunan 

Observasi tadi meyakinkan saya bahwa pembangunan suatu negara membutuhkan kekuatan diplomasi yang andal, yakni agar kemajuan ekonomi yang diraih dapat diterjemahkan sebagai peningkatan rasa hormat dari negaranegara yang kita anggap penting. Dalam pergaulan internasional, Korsel dan bahkan Indonesia dapat dikategorikan sebagai middle power, yakni negara-negara yang kekuatan politik, ekonomi, dan militernya berada di tengah-tengah; tidak sebesar negara besar (major/great powers) dan tidak sekecil negara kecil (smaller powers).

Menurut Jeffrey Robertson dari Department of Parliamentary Service di Australia, negara berstatus middle power mengalami pergulatan kompleks karena statusnya dalam hubungan internasional. Di satu sisi mereka menikmati pujian karena pertumbuhan ekonominya, bahkan kerap diundang dalam berbagai forum global yang hanya mengikutsertakan segelintir elite dari negara-negara terpilih (misalnya G-20), tetapi di sisi lain mereka galau karena punya tambahan tanggung jawab.

Ada peran sebagai good international citizen (warga dunia internasional yang baik) yang dituntut dari middle power. Di sini, negara dituntut untuk punya lingkar komitmen dan pengaruh sosial politik yang dapat dirasakan negara-negara lain. Korsel berupaya menjadi anggota Komite Bantuan Pembangunan dari OECD (organisasi kerja sama ekonomi dan pembangunan dari negara-negara ekonomi maju), menjadi tuan rumah forum petinggi Aid Effectiveness 2011, dan meningkatkan komitmen dalam pemenuhan standar hak asasi manusia.

Tapi Korsel belum punya lingkar pengaruh yang sifatnya lebih luas daripada sekadar jaringan bisnis. Tidak ada negara lain di Asia ataupun dunia yang bisa diklaim sebagai negara yang mendapatkan pengaruh dan inspirasi kebijakan dari Korsel. Secara politik, Korsel juga telanjur dicap sebagai sekutu loyal AS dan kenyataannya masih ada saja orang Korsel yang menganggap status tersebut sebagai keniscayaan yang tak terbantahkan. Walhasil, diplomasi yang dikembangkan Korsel selalu dikaitkan dengan muara kepentingan AS saja.

Berbeda dengan Korsel, Indonesia justru punya lingkar pengaruh di ASEAN. Indonesia juga ditunggu karena dulu dikenal berani bersikap beda dari negara-negara besar. Dari analisis kawasan, Indonesia dianggap mampu mengelola hubungan antarnegara di Asia Tenggara. Meski demikian, saat ini Indonesia dianggap belum cukup punya kekuatan riil untuk berhadapan dengan negara besar.

Kekuatan pasar, pertumbuhan ekonomi Indonesia dan kawasan, jumlah penduduk yang besar perlu dilengkapi dengan terus-menerus menguatkan identitas baik sebagai negara maupun perwakilan kawasan Asia Tenggara yang berdaulat. Korsel memberi pelajaran, sambil memperbesar kapasitas ekonomi, kita perlu juga menggali ideologi menghadapi situasi yang terus berubah. Indonesia perlu lebih serius mengarahkan semua sektor usaha untuk menuju penguatan diri yang meningkatkan respek dari bangsa lain.

Segala usaha, mikro sekalipun, harus difasilitasi agar dapat memanfaatkan jejaring pengaruh diplomasi yang selama ini dibangun di ASEAN. Dunia usaha Indonesia harus punya visi mendorong jati diri bangsa dan bukannya sekadar mengekor cara berbisnis di negara lain atau bangga jika warga Indonesia sekadar dapat pekerjaan.

Kita perlu membulatkan langkah untuk menata sektor usaha agar punya karakter dan memanfaatkan jejaring politik yang dibangun melalui diplomasi di ASEAN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar