Sabtu, 28 Juli 2012

Heboh Bantuan Asing untuk LSM


Heboh Bantuan Asing untuk LSM
Kartono Mohamad ; Mantan Ketua PB IDI
KOMPAS, 28 Juli 2012

Beberapa media massa, termasuk media online, meributkan adanya bantuan asing kepada sejumlah lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Khususnya dari Bloomberg Institute for Health yang membantu gerakan antirokok di Tanah Air.

Bahkan, beberapa media mengungkapkan besaran dana yang diperoleh setiap lembaga swadaya masyarakat (LSM) Indonesia. Terlihat hebat karena dapat membuka berapa dollar AS perolehan setiap LSM dari Bloomberg, padahal sebenarnya itu biasa saja karena situs Bloomberg Institute memang memuat data itu secara rinci.

Mungkin maksud pengelola situs web Bloomberg hanyalah soal keterbukaan. Namun, data itu kemudian dijadikan dalih bahwa Bloomberg—apalagi Wali Kota New York yang kebetulan orang Yahudi—berniat mencampuri urusan dalam negeri Indonesia untuk mematikan industri rokok.

Propaganda dengan menggunakan data yang benar, tetapi diberi tafsir untuk memanasi sentimen rakyat bukan hal yang baru. Dulu Partai Komunis Indonesia (PKI) juga gemar menggunakan taktik propaganda seperti itu untuk membuat rakyat marah kepada tuan tanah dan birokrat di pemerintahan.

Kembali pada soal dana asing untuk LSM Indonesia yang dituduh mempunyai maksud politik tertentu, dalam sejarah Indonesia, bantuan donor asing untuk berbagai program di Indonesia bukanlah hal baru.

Tahun 1957, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) menerima bantuan dana dari organisasi keluarga berencana internasional (IPPF) untuk mengadvokasi Pemerintah Indonesia agar menjalankan program pengendalian pertumbuhan penduduk (program KB).

Pada zaman itu Bung Karno berkuasa dan ia tidak sepakat ada program KB dengan alasan ”negara Indonesia masih luas, subur, dan kaya sehingga akan dapat memberikan makan 200 juta orang”. Akan tetapi, Bung Karno tidak menuduh IPPF mempunyai kepentingan politik jahat di balik pemberian bantuan itu. Dia biarkan PKBI menerima bantuan dan mengembangkan organisasinya ke seluruh Indonesia.

Baru pada 1970, pada masa pemerintahan Soeharto, pemerintah secara resmi melaksanakan program KB untuk pengendalian populasi penduduk. Bahkan, sesudah itu bantuan dari berbagai donor untuk program KB semakin gencar mengalir ke Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan berkontribusi terhadap keberhasilan program KB Indonesia.

Pada zaman Bung Karno, beberapa universitas negeri mendapat bantuan dari universitas dan lembaga donor luar negeri untuk memperbaiki sarana pendidikan tinggi. Banyak dosen dikirim ke sejumlah negara maju.

Politik dan Cacing Perut

Pada masa reformasi, bantuan berbagai donor kepada berbagai lembaga dan LSM Indonesia tidak mereda, termasuk untuk kegiatan yang bernuansa politik. Salah satu di antaranya adalah LSM Kemitraan untuk Reformasi Pemerintahan. Dari awal, LSM ini berdiri sebagai proyek Program Pembangunan PBB (UNDP) sehingga mendapat bantuan dari, antara lain, Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara Eropa, serta Australia, Jepang dan Korea.

Parlemen pun pernah mendapat bantuan pelatihan dari UNDP dan Badan Keluarga Berencana PBB (UNFPA).
Bantuan asing kepada Indonesia, baik melalui LSM maupun pemerintah untuk kegiatan bidang kesejahteraan rakyat, lebih banyak lagi jenisnya. Selain untuk program KB pada zaman Soeharto, sampai kini ada bantuan untuk mengatasi HIV/AIDS, TBC, dan malaria dari lembaga Global Fund Against AIDS, TB, and Malaria (GFATM).

Untuk menanggulangi TBC, Bloomberg dan beberapa lembaga donor lain menyalurkan bantuan kepada LSM yang bergerak khusus menanggulangi TBC. Pada 1980-an bahkan ada lembaga donor Jepang yang memberikan bantuan untuk memberantas cacing perut pada anak-anak sekolah. Ada Helen Keller Foundation yang membantu menanggulangi kekurangan vitamin A pada anak balita.

Yayasan Helen Keller juga pernah menyelenggarakan pelatihan untuk para wartawan kesehatan. Untuk masalah lingkungan juga banyak bantuan asing ke Indonesia, termasuk untuk mengatasi kesulitan air bersih di NTB dan NTT. Kalau disebutkan semua, pasti akan lebih banyak lagi.

Mungkin ketika itu informasi di media maya belum banyak diketahui dan tuntutan transparansi belum sekeras sekarang sehingga berbagai bantuan itu tidak pernah dipersoalkan.

Oleh karena itu, sebelum bersikap sok super nasionalis dan menuduh setiap bantuan asing (apalagi ke LSM) dilatarbelakangi niat buruk, mari kita tengok diri sendiri. Apakah kita tidak ikut menikmati bantuan asing? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar