Senin, 30 Juli 2012

Indepensi Kehakiman

Indepensi Kehakiman
Benjamin Mangkoedilaga ; Mantan Hakim Agung
KOMPAS, 30 Juli 2012


Adanya gagasan untuk memasukkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Mahkamah Agung yang memungkinkan hakim ”diadili” karena putusannya ternyata menimbulkan reaksi para hakim dan kalangan luas. Namun, sebagai silent corps, para hakim tentunya merasa tak berdaya untuk bereaksi.

Sudah terpatri sejak dulu bahwa para hakim dalam mengeluarkan pendapat adalah melalui putusan dan penetapan yang dikeluarkannya (Een rechter spreekt met zijn vonnissen en beschikkingen). Tidak melalui statement atau pernyataan, apalagi statement atau pernyataan yang bersifat politis. Jadi, adalah satu hal yang menggembirakan apabila dalam kesempatan ini kami sebagai mantan hakim diberi kesempatan mengungkapkan pendapat dan unek-unek yang—boleh dikatakan—mewakili para hakim yang masih aktif.

Pengawasan atau kontrol terhadap para hakim terkait ”putusan” dan ”penetapan- penetapan” yang diambil seharusnya bukan dengan cara seperti yang diusulkan untuk dimasukkan ke dalam undang-undang tersebut. Gagasan memasukkan pasal-pasal pemidanaan atau sanksi administratif terhadap ”putusan” atau ”penetapan” yang dianggap salah/keliru, yang dinilai bertentangan dengan rasa keadilan, tidak pada tempatnya.

Doktrin kekuasaan kehakiman yang independen tentu sudah diketahui oleh para ahli hukum, sejak di SMA dan tahun-tahun pertama di fakultas hukum. Ini bersumber dari doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) yang terdiri dari cabang kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Meskipun secara teoretis dan doktrinat konsep yang diperkenalkan oleh Montesquieu tersebut diakui secara universal oleh negara-negara yang menganut prinsip negara hukum tertentu, dalam implementasinya tidaklah seragam. Doktrin ini disesuaikan dengan konteks dan praktik hukum di negara masing-masing, tidak terkecuali di Indonesia.

Adanya konsep independensi kekuasaan kehakiman sesungguhnya sudah dikenal luas, baik dalam konteks internasional maupun regional. Sebutlah seperti tercantum dalam United Nations Declaration of Human Rights (1948), Syracuse Principles on the Independence of the Judiciary (1981), New Delhi Standards (1982), Tokyo Principles on the Independence of the Judiciary in the LAWASIA Region (1982), Montreal Universal Declaration on the Independence of Justice (1985), UN Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985), Beijing Statement (1995), Universal Charter of the Judge (1999), dan The Bangalore Principles of Judicial Conduct (2002).

Jika independensi kekuasaan kehakiman ini tercederai, yakni dengan adanya ketentuan-ketentuan baru yang memasukkan pasal-pasal dalam RUU Mahkamah Agung sehingga memungkinkan hakim dihukum karena ”putusan” atau ”penetapan” yang diambilnya, tentu akan menjadi perhatian internasional.

Lembaga Eksaminasi

Kami (baca: hakim dan mantan hakim) berpendapat bahwa pengawasan/kontrol ataupun sanksi terhadap putusan dan penetapan-penetapan hakim yang keliru bukanlah dengan sanksi administratif ataupun pemidanaan. Mekanisme yang seyogianya ditempuh adalah melalui pengawasan yang disebut eksaminasi terhadap putusan-putusan atau penetapan-penetapan hakim yang pernah dikeluarkannya, seperti masih terasa pada tahun 1960-an.

Proses eksaminasi dilakukan oleh setiap ketua/atasan hakim, seperti ketua pengadilan negeri, hakim tinggi, ketua pengadilan tinggi, atau anggota Mahkamah Agung itu sendiri. Sebagai hakim, kami pernah mengalami proses eksaminasi, yakni pada saat kami menjatuhkan hukuman mati. Terhadap putusan tersebut, kami dipanggil oleh hakim pengadilan tinggi. Putusan kami diperbaiki dengan alasan bahwa setiap putusan hakim yang maksimal (hukuman mati) tidak boleh mencantumkan hal-hal yang meringankan dalam diktum pertimbangan.

Efek dari sistem eksaminasi tersebut terasa amat efektif dalam rangka pembinaan kepada para hakim dalam rangka melaksanakan tugas. Sistem eksaminasi ini sekarang hanya tinggal kenangan setelah pimpinan pengadilan diikutsertakan dalam lembaga musyawarah pimpinan daerah (muspida) di tahun 1970-an. Sebab, sejak itu tugas-tugas yudisial pimpinan pengadilan untuk proses eksaminasi kemudian disita waktunya untuk kegiatan kemuspidaan. Mulai dari mengikuti rapat-rapat (sebagai penasihat muspida), penjemputan tamu-tamu ke daerah, ataupun keikutsertaannya dalam rangka pembukaan/peresmian proyek-proyek pembangunan.

Dalam konsepsi Indonesia sebagai negara hukum, terdapat tiga ciri khusus sebagaimana digariskan oleh ilmu hukum dan diterima oleh pemerintah dan masyarakat luas. Pertama, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi, yang mengandung perlakuan yang sama di bidang-bidang politik, hukum, sosial-ekonomi, budaya dan pendidikan.

Kedua, aspek legalitas, dalam arti hukum dalam segala bentuknya. Artinya, segala tindakan dari yang berwajib, pemerintah dan penguasa, harus jelas dan tegas ada dasar hukumnya; ada pasal atau peraturan yang sah yang dijadikan dasar hukum bagi tindakan yang bersangkutan.

Ketiga, pengadilan yang bebas, tidak bersifat memihak, serta bebas dari segala pengaruh kekuasaan lain.

Dengan demikian, Indonesia baru bisa dikatakan sebagai negara hukum apabila penguasa dalam menjalankan wewenangnya mengemban ketiga ciri khusus sebagaimana disebutkan di atas. Termasuk di dalamnya memberikan kebebasan kepada lembaga peradilan untuk memutus perkara yang mereka tangani, sebagai bentuk dari perwujudan pada keterikatan oleh dan pada hukum dalam suatu negara hukum.

Independensi suatu kekuasaan kehakiman dan hakim yang bebas jelas merupakan suatu ciri sekaligus syarat negara yang demokratis yang berdasarkan atas hukum. Suatu doktrin pemisahan kekuasaan ataupun prinsip negara hukum merupakan sarana yang membatasi kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) untuk mencegah kesewenang-wenangan.

Mengenai independensi kekuasaan kehakiman, ada putusan Mahkamah Konstitusi—tanggal 23 Agustus 2006, Nomor 005/PUV/W/2006—yang dalam pertimbangan putusannya menyatakan bahwa independensi peradilan dan independensi hakim merupakan suatu prinsip esensial dari konsep negara hukum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD ’45. Bahkan dapat dikatakan bahwa independensi peradilan itu merupakan benteng (safeguard) dari aturan hukum.

Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugas. Demikian pula apabila lembaga peradilan bergantung pada organ lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri, juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugas.

Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional mengandung larangan bagi cabang kekuasaan lain untuk melakukan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas yustisialnya. Akan tetapi, kemerdekaan tersebut tidak pernah diartikan mengandung sifat yang mutlak karena dibatasi oleh hukum dan keadilan. 

Kemerdekaan dimaksud juga diartikan bahwa hakim bebas memutus sesuai dengan nilai yang diyakininya melalui penafsiran hukum. Sekalipun putusan yang didasarkan pada penafsiran dan keyakinan demikian mungkin saja berlawanan dengan mereka yang mempunyai kekuasaan politik dan administrasi. Jika putusannya tidak sesuai dengan keinginan pihak yang berkuasa, hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap hakim, baik secara pribadi maupun terhadap kewenangan lembaga peradilan.

Mematikan Kreativitas

Terhadap pihak yang berpendapat bahwa dengan memasukkan pasal-pasal yang memungkinkan hakim dihukum karena putusan dan penetapannya dalam RUU Mahkamah Agung sebagai hal yang wajar, agar hakim lebih profesional, kami berpendapat bahwa pandangan semacam itu merupakan pendapat yang dangkal. Bahkan melecehkan pendapat hakim dan akan mematikan kreativitas hakim.

Dalam upaya melahirkan hakim-hakim yang profesional dan menghindarkan para hakim dari sanksi administrasi dan pidana, terkait putusan-putusan dan penetapan- penetapannya dalam suatu perkara, sekali lagi—menurut kami—hal ini haruslah diatasi dengan menghidupkan kembali lembaga eksaminasi oleh atasan hakim bersangkutan secara berjenjang. Jika perlu, sampai ke tingkat para hakim agung dengan pimpinan Mahkamah Agung, sebagaimana pernah terjadi pada masa lalu dilakukan oleh para hakim agung Adi Andojo, Indroharto, Yahya Harahap, Asikin, Purwoto, dan sebagainya.

Sebagai konsekuensi dari apa yang dipaparkan di atas, menjadi suatu tantangan bagi Komisi Yudisial dan DPR untuk melahirkan hakim-hakim agung setaraf senior-senior mereka seperti beberapa nama yang disebutkan di atas. Masih banyak hakim baik yang layak diajukan, tetapi nasib keberuntungan belum berpihak kepada mereka.

Kalau pada 7 Februari 2012 seorang Adi Andojo berucap bahwa di belahan dunia mana pun tidak ada jabatan hakim agung yang merupakan jabatan yang bisa dilamar, melalui tulisan ini kami pun ingin mengingatkan: jangan sampai di belahan dunia ini hanya para hakim di Indonesia yang kemungkinan mendapatkan sanksi pidana terhadap penetapan dan putusan yang dikeluarkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar