Senin, 30 Juli 2012

Keterasingan Pendidikan Nasional

Keterasingan Pendidikan Nasional
Benni Setiawan ; Pemerhati Pendidikan
MEDIA INDONESIA, 30 Juli 2012


TAWURAN antarsekolah, kekerasan di sekolah, serta aksi-aksi premanisme mengoyak ketenteraman dan kedamaian kita selama bulan puasa ini. Kasus kekerasan di SMA Don Bosco dalam masa orientasi siswa baru seperti mengingatkan kita kembali terhadap kejadian serupa di banyak sekolah di Tanah Air. Belum lagi praktik premanisme seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, ketika sekitar 50 orang bersenjata parang menyerang 10 orang yang melayat Bob Stanley Sahusilawane di halaman parkir Rumah Duka RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Dua orang meninggal dunia dan empat orang terluka parah.

Peristiwa serupa juga terjadi pada 4 April 2010. Kerusuhan dua kelompok pemuda terjadi di kelab malam Blowfish, Gedung City Plaza, Jakarta Selatan. Satu orang tewas, dua orang luka parah, dan kelab malam rusak akibat kerusuhan tersebut. Pada 14 April 2010, bentrokan juga terjadi antara warga dan aparat di wilayah Koja, Jakarta Utara, mengakibatkan dua orang tewas, sekitar 130 orang luka-luka, dan puluhan mobil dibakar. 

Itu juga menimbulkan kerugian ratusan miliar rupiah akibat arus lalu lintas barang ekspor-impor ke pelabuhan terhambat. Bentrokan terjadi ketika Pemerintah Kota Jakarta Utara menertibkan bangunan dan aktivitas Priok di TPU Dobo. Bentrokan dua kelompok massa pun pecah pada 29 September 2010 di depan Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya. Tiga orang tewas dan tiga Kopaja dirusak akibat bentrokan itu. Selama kerusuhan, lalu lintas dan aktivitas masyarakat lumpuh.

Sengketa lahan seluas 4.000 m2 yang melibatkan tiga pihak (pemilik sertifikat tanah, PT Mastraco, dan warga yang menempati lahan) berujung bentrok warga dengan sekelompok orang di Jalan Arjuna, Kebon Jeruk, Jakarta Barat.
 
Bentrokan tersebut mengakibatkan sebuah metromini dan tiga sepeda motor terbakar serta menimbulkan kemacetan di sekitar ruas Jalan Arjuna pada 14 Oktober 2011. Bentrok antaranggota organisasi kemasyarakatan terjadi pada 13 Februari 2012 di dekat Taman Permakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Akibat bentrokan, sebuah posko ormas rusak dan delapan orang ditahan polisi. Kemacetan sepanjang 1,5 km di Jalan RS Veteran, Tanah Kusir, terjadi sejak tengah hari hingga sore hari.

Riuhnya ruang premanisme di Ibu Kota seakan membenarkan satire Slamet Mulyanto, “Sejahat-jahatnya ibu tiri, lebih jahat Ibu Kota.“ Hampir tidak ada sejengkal tanah di Ibu Kota yang lepas dari aksi kekerasan. Mengapa kekerasan menjadi hal biasa di Republik ini? Bagaimana pendidikan berkontribusi dalam menyelesaikan persoalan tersebut?

Kesepian dan Keterasingan

Perilaku preman(isme) muncul akibat adanya rasa kesepian dalam diri seseorang. Kesepian (loneliness) tidak identik dengan kesunyian (solitude). Dalam kesunyian, manusia sesungguhnya menjadi dua, `aku' dan `diriku'.
 
Hannah Arendt menyebut keadaan itu sebagai `dua dalam satu' (two in one). Karena itu, dalam kesunyian, manusia (aku) masih mempunyai teman untuk berdialog, yaitu diriku. Dialog pada `dua dalam satu' tidak kehilangan hubungan dengan dunia sesama karena diriku merupakan perwakilan dari dunia. Kesunyian dapat menjadi kesepian jika aku ditinggalkan oleh diriku.

Dalam kesepian, manusia adalah satu, “Aku ditinggalkan oleh orang-orang lain.“ Hal paling tak tertahankan dalam kesepian ialah hilangnya jati diri (dalam kesunyian jati diri masih dapat diwujudkan) dan makin lemahnya identitas dalam kebersamaan. Hal itu muncul karena tiadanya suasana me mercayai dan dipercayai sesama. Dalam kesepian, aku kehilangan teman untuk berdialog, yaitu diriku. Manusia dalam kondisi itu akan kehilangan rasa percaya terhadap pikiran pikirannya sendiri. Akibat paling menakutkan dari kesepian ialah baik diri sendiri, dunia, maupun kemampuan untuk berpikir dan mengalami hilang secara bersamaan.

Itu sebuah kondisi yang jauh dari realitas kemanusiaan. Manusia sebagai makhluk berpikir. Dengan berpikir, manusia dapat disebut manusia. Begitulah Descartes, filsuf kesohor, mendaku dalam filsafat manusia. Sebagai makhluk berpikir, manusia memiliki kebutuhan untuk berpikir (kebutuhan nalar, meminjam istilah Immanuel Kant). Kebutuhan untuk berpikir hanya mampu dipenuhi lewat berpikir, bukan lewat pengetahuan. Dengan demikian, berpikir berkaitan dengan menarik diri dari dunia ke dalam kesunyian sehingga tercipta dialog internal antara aku dan diriku. Melalui berpikir, aku menciptakan ruang bagi diriku.

Lebih lanjut, pada saat manusia kese pian, satu-satunya EBET hal yang masih dipercaya ialah kemampuan bernalar secara logis. Padahal, pernyataan yang logis belum tentu sesuai dengan realitas.

Satu-satunya kebenaran yang masih dapat dipercaya manusia dalam kesepian ialah kaidah-kaidah logika, yang dianggap tidak dapat sesat, meski dalam ke sepian mutlak. Manusia dalam kondisi tersebut mencampuradukkan kebenaran pada tingkat ko herensi dengan kebenaran korespondensi. Kesepian menyebabkan hilangnya akal sehat. Maka kebenaran yang sesuai dengan kaidah logika menjadi sandaran hidupnya, menyebabkan manusia tercabut dari realitas.

Kebenaran seperti itu sebenarnya bersifat hampa karena tidak dapat mengungkapkan apa-apa. Proses pemikiran yang ditandai dengan keper cayaan penuh terhadap kaidah logika menye babkan manusia merasa tidak memiliki tempat untuk berlari. Efek yang ditimbulkan dari kesepian, dengan mengacu pada perkataan Luther, ialah menganggap segala sesuatu bersifat buruk. Jadi dapat kita simpulkan, orang yang mengalami kesepian sulit melihat sisi positif dari apa pun (Rieke Diah Pitaloka, 2004).

Cara pandang negatif terhadap sesuatu mengakibatkan hilangnya akal waras manusia. Akal waras tertimbun oleh nafsu untuk mengenyahkan orang lain jika mengganggu aktivitas atau mengusik kelompok tertentu. Manusia seperti itu menegaskan diri (mengakukan diri) sebagai yang terkuat dan terhebat. Padahal, apa yang mereka lakukan merupakan pengasingan terhadap diri sendiri. Keterasingan mennyebabkan manusia lupa akan entitas diri dan lingkungan.
 
Peng-aku-an yang menghilangkan ke-kita-an itu menyembul ke ruang publik dan menimbulkan kerusakan.

Kerusakan itu menghancurkan tatanan sosial masyarakat. Kerusakan yang berujung pada penghilangan nyawa orang lain pun merupakan fakta. Padahal, menghilangkan nyawa manusia merdeka merupakan perbuatan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Pendidikan

Maka dari itu, menurut hemat saya, untuk mengurangi dampak keterasingan dan kesepian manusia yang merupakan bawaan intrinsik kelemahan manusia secara psikologis, manusia perlu melatihnya melalui kemampuan berpikir kritis yang sudah selayaknya disemai di pawiyatan (pendidikan). Pendidikan merupakan salah satu sarana paling ampuh dalam mendorong seseorang berpikir logis dan kritis.

Guna membangun pendidikan seperti itu, menurut Paulo Freire, pendidikan harus berintikan pembebasan kesadaran atau dialogika, memancing peserta didik untuk berdialog, membiarkan mereka mengucapkan sendiri perkataan mereka, mendorong mereka untuk menamai dan dengan demikian mengubah dunia. Singkatnya, paradigma pendidikan menurut pedagogi Ignasian disebut dengan istilah pendidikan transformatif (J Drosj SJ, 2000), sistem pamong menurut Ki Hajar Dewantara (Jumhur, 1981), sistem pendidikan kedewasaan menurut Ki Sarino Semarang (Hadi Su peno, 1999), atau dalam istilah Indonesia kontemporer sistem pengembangan potensi. Itulah jalan pembebasan manusia yang sesungguhnya (Nuru Huda SA, 2002).

Maka dari itu, sudah selayaknya pemerintah mengagendakan dan terus berusaha mewujudkan model pendidikan seperti itu. Tanpa hal tersebut, pendidikan hanya akan menjadi menara gading, jauh dari realitas. Pendidikan akan terasing dan teralienasi dari dunianya. Jika hal yang demikian terjadi, benarlah apa yang dikatakan WS Rendra dalam sajaknya, Seonggok Jagung.

Apakah guna pendidikan
bila hanya membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalan keadaannya ...
bila pulang ke daerahnya, lalu berkata
Di sini aku asing dan sepi

Pada akhirnya, banalitas kejahatan oleh aksi premanisme yang selalu mengusik alam bawah sadar kita seakan membenarkan preposisi yang sering menyebut betapa pendidikan nasional belum mampu menyentuh (berkontribusi) dalam menyelesaikan persoalan bangsa, termasuk masalah kekerasan di sekolah. Pendidikan masih saja terlalu asyik dengan dunianya sehingga pendidikan sepertinya hanya berkontribusi terhadap dunia kerja semata.
Tugas pendidikan yang seolah hanya sebagai penyuplai tenaga kerja siap pakai dan mengikuti tren internasional di bidang industri seolah menyepakati runtuhnya nilainilai luhur yang seharusnya disumbangkan dunia pendidikan. Karena itu, tak mengherankan jika peserta didik menjadi terasing dan tidak memiliki kemandirian dalam hidup dan berpikir, bahkan seakan rela untuk terus hidup saling menyakiti di antara sesama anak bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar