Selasa, 31 Juli 2012

Mengapa Rakyat Merusak Aset BUMN Perkebunan?

r
Mengapa Rakyat Meusak Aset BUMN Perkebunan?
Bahrul Ilmi Yakup ; Advokat dan Konsultan Hukum;
Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi
KOMPAS, 31 Juli 2012


Pembakaran perumahan karyawan dan kebun tebu milik PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, kembali terjadi (Kompas, 19/7/2012). Sebagian kalangan menunjuk konflik hak atas tanah sebagai akar masalahnya. Benarkah demikian?

Secara historis, konflik BUMN di sektor perkebunan memang berasal dari konflik hak atas tanah. Sebab, latar belakang BUMN perkebunan sebagian besar memang hasil nasionalisasi perusahaan perkebunan milik Belanda, yang disebut afdeling, oleh Presiden Soekarno melalui UU No 86/1958 yang disahkan 31 Desember 1958 tetapi berlaku surut ke 3 Desember 1957.

Peta Konflik

Awalnya, Belanda memperoleh lahan afdeling tersebut dengan cara menduduki bahkan merampas tanah rakyat atau kerajaan lokal yang kalah perang, baik dengan memberi kompensasi seadanya atau tidak. Selanjutnya, Belanda mempekerjakan rakyat pribumi sebagai kuli di perkebunan tersebut dengan perlakuan diskriminatif (kurang manusiawi) dibandingkan pekerja Belanda. Tindakan Belanda tersebut menyemaikan bara dendam di kalangan rakyat lokal terhadap Belanda. Oleh karena itu, konflik perkebunan pada zaman Belanda memperhadapkan rakyat melawan Belanda.

Dendam rakyat sepertinya akan terobati dengan tindakan Presiden Soekarno menasionalisasi perusahaan perkebunan Belanda pada pengujung 1958. Namun, ternyata nasionalisasi tidak menuntaskan konflik perkebunan. Sebab, nasionalisasi tidak dilanjutkan dengan upaya penyelesaian konflik hak atas tanah perkebunan secara adil melalui program land reform yang dibingkai UU No 5/1960 tentang UU Pokok Agraria.

Kondisi ini menjadi lebih parah pada zaman Orde Baru, yang dengan dukungan tentara menerapkan politik agraria tiga tingkat dan sangat merugikan rakyat (Tri Chandra Aprianto, 2006).

Pertama, Orba melakukan proses ideologisasi, yaitu melabelkan tanah untuk kepentingan umum atau demi pembangunan. Oleh karena itu, rakyat yang hendak merebut tanah dari BUMN perkebunan dicap sebagai anti- pembangunan, bahkan dapat diasosiasikan dengan komunisme.

Kedua, memberi stigma anti-pemerintah terhadap rakyat yang memberi argumentasi lain dari pandangan pemerintah dalam konflik agraria.

Ketiga, menggunakan pendekatan kekerasan terhadap konflik tanah yang muncul.

Politik agraria tiga tingkat tersebut sangat merugikan rakyat, menyebabkan konflik agraria tak terselesaikan, sehingga jadi laten dan terus membara di bawah permukaan. Konflik ini mulai meledak pada era reformasi ketika rakyat merasa memperoleh kebebasan menyatakan pendapat dan bertindak. Karena itu, pada era reformasi, konflik tanah terjadi di hampir semua perusahaan perkebunan di sejumlah daerah, baik BUMN maupun bukan.

Cepat, Cermat, dan Tegas

Kendati konflik tanah perkebunan memiliki latar belakang historis, tetapi harus dicermati bahwa tak semua konflik perkebunan murni konflik hak atas tanah. Cukup banyak konflik perkebunan telah ditunggangi elite tertentu untuk kepentingan politik atau ekonomi temporer, seperti untuk kepentingan pilkada dan pemilu legislatif.

Untuk itu perlu tindakan cepat, cermat, dan tegas dalam menghadapi konflik perkebunan. Pengelola BUMN perkebunan harus cepat dan cermat melakukan pemetaan atas substansi konflik yang muncul. Kalau memang substansinya adalah konflik agraria, pengelola BUMN perkebunan sebaiknya segera membentuk forum yang melibatkan Badan Pertanahan, tokoh masyarakat informal, dan ahli hukum adat setempat.

Dalam menangani konflik agraria yang melibatkan hak atas tanah adat, fatwa tokoh masyarakat informal dan ahli hukum adat lebih netral dan berwibawa ketimbang pejabat formal, seperti kepala desa dan camat. Sebab, sering terjadi kepala desa dan camat sudah sarat kepentingan, menyebabkan mereka tidak lagi netral dan dihargai rakyat.

Dari pemetaan tersebut biasanya akan segera diketahui apakah ada elite yang menunggangi konflik perkebunan untuk kepentingan sesaat. Pada umumnya, konflik agraria murni tidak disertai dengan tindakan radikal, seperti pembakaran, perusakan, dan penjarahan. Oleh karena azalinya, rakyat Indonesia tidak berkarakter beringas.

Tindakan beringas dan radikal yang muncul dalam konflik agraria lazimnya didesain dan diprovokasi oleh elite tertentu. Oleh karena itu, pihak kepolisian seharusnya berani mengambil tindakan tegas terhadap pelaku perusakan aset BUMN perkebunan. Sebab, BUMN perkebunan menjalankan fungsi negara dalam bidang ekonomi (OECD Guidlines on Corporate Governance of State-Owned Enterprises, 2005; UUD 1945 Pasal 33 jo TAP MPRS No XXIII Th 1966).

Program Kemitraan

Salah satu instrumen untuk mengelola konflik BUMN perkebunan dengan rakyat lokal adalah memaksimalkan pemanfaatan dana Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) yang diatur Peraturan Menteri BUMN No 05/MBU/2007.

Cakupan PKBL lebih luas dibandingkan corporate social responsibilities (CSR) perusahaan swasta. Sebab, PKBL bertujuan mewujudkan tiga pilar utama pembangunan yang telah dicanangkan pemerintah, yaitu (1) pengurangan jumlah pengangguran, (2) pengurangan jumlah penduduk miskin, dan (3) peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Persoalannya, apakah dana PKBL selama ini telah dimanfaatkan secara tepat sasaran? Dalam banyak kasus, dana PKBL telah disalahgunakan. Akibatnya, rakyat lokal semakin merasa teralienasi oleh kegiatan BUMN perkebunan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar