Kamis, 26 Juli 2012

Mental Jongos

Mental Jongos
Mudji Sutrisno ; Guru Besar STF Driyarkara & Universitas Indonesia, Budayawan
 SINDO, 26 Juli 2012


Teman saya, yang tahu suasana zaman kolonial Belanda sebelum merdeka, menjelaskan kepada saya bahwa jongos itu adalah orang yang dipekerjakan untuk disuruh-suruh majikan.
Tidak hanya itu,si jongos harus tunduk melaksanakan perintah tuan tanpa boleh membantah. Bila si pesuruh melaksanakan tugasnya baik-baik, ia akan mendapat hadiah tambahan uang “persenan” dari majikan. Dari penjelasan singkat itu maka kelanjutan pemaknaan jongos menjadi “yang disuruh-suruh atau pesuruh dan karena hadiah imbalannya itulah ia berusaha menyenangkan hati majikan dengan membuatnya senang.”

Dalam bahasa populer kini, mentalitas jongos adalah karakter kerja yang bila perlu menjilat atasan untuk menyenangkannya maka disamakanlah mentalitas jongos sebagai sikap asal bapak senang (ABS). Bila majikannya seorang putri atau ibu,ya tinggal diganti saja bapak dengan ibu. Dalam penelusuran kultural mentalitas ini dikonstruksikan oleh pemerintah kolonial Belanda yang memakai secara cerdik licik para “elite setempat” untuk mengontrol kerja perkebunan atau kerja rodi di zaman Van Den Bosch saat tanam paksa.

Ke atas, konstruksi menyenangkan atasan perlu untuk kelangsungan kekuasaannya. Ke bawah, ia menekan hasil kerja agar si majikan senang dengan hasil nyata jelata petani atau penanam meski mereka “diinjak oleh para jongos ini”. Awalnya memang pesuruh administrator,lalu berkembang menjadi lapis penguasa pribumi kaki tangan pemerintah kolonial. Mengapa pokok mentalitas jongos ini kita kupas dan kita renungi? Ada dua alasan.

Pertama, ia secara sejarah mentalitas akan menjawabdarimana “gen”sikap ABS berjangkit dan tumbuh. Kedua, sedang diteliti hubungan antara mentalitas jongos dengan sikap mental “koeli” yang bersumber dari kompleksitas kejiwaan minder atau rendah diri (minderwaardigheid-complex). Mengapa hipotesis ini digarap? Karena kesamaan kedua mentalitas ini dalam hal ketimpangan relasi kekuasaan.

Artinya, yang satu dalam tekanan psikis selalu diperintah, tidak bisa membantah, terus terang, karena posisi rendahnya. Sedang yang lain posisi memerintah dan menguasai gaji dan hajat hidup si bawahan. Apakah para jongos melampiaskan tumpukan frustrasi disuruh-suruh itu ke bawahan dengan tindak laku menghina, merendahkan? Di sinilah buah sejarah mentalitas menghasilkan siklus mentalitas orangorang yang selalu dipandang kecil dan diperintah terus oleh si majikan.

Akibatnya lagi si jongos dan si jelata tidak memiliki rasa kesadaran kedaulatan atas hidupnya, apalagi atas dirinya! Di sinilah titik temu hipotesis mentalitas jongos dan minder bermuara pada usaha mati-matian pendidikan nasional Hatta dan Sjahrir agar si jelata memiliki kembali kedaulatannya. Karena itu gerakan pendidikan Hatta dan koran pencerahan edukatifnya berjudul Daulat Rakyat.

Rakyat atau masyarakat jelata harus berhenti dari mentalitas minder yang selalu mengucap dan menyembah-nyembah ke tuan-tuan majikan dengan ucapan tunduk bungkuk hormat sembah “daulat tuanku”! Dalam hubungan atasan dan bawahan yang seharusnya setelah merdeka negeri dan merdeka sebagai bangsa setara atau egaliter. Karena itu saling sapa generasi pendiri bangsa juga menyalami satu sama lain dengan sapaan “bung”.

Namun kesetaraan itu setiap kali terlupa, terkandas apabila kita sadari masih terusnya tampilan mentalitas jongos atau kini mentalitas asal bapak senang. Mengapa? Secara kultural, yang mengawetkannya adalah system masyarakat patron-klien, di mana si tuan menjadi pelindung dan pemegang kedaulatan yang bawahan harus dilindungi. Berikutnya, secara kultural pula negeri dan masyarakat ini berstruktur nilai hierarkis.

Artinya piramida berjenjang, semakin tinggi kedudukan semakin ia disanjung hormat, meskipun sistem modern meritokrasi profesional menembus, namun tetap sukar dilenyapkan. Ditambah lagi paham keyakinan bahwa yang memimpin mendapatkan legitimasi dari “karisma”atau dari atas karena “dituakan”, karena berdarah biru yang masa lalu oleh kekerabatan turunan istana dan zaman modern oleh pangkat, gelar akademis tinggi. Yang dulu Raden Mas dan kini gelar akademik.

Herankah kita bila Anda membaca nama petinggi atau akademikus bergelar amat panjang sekali? Padahal bila sudah dapat BA atau sarjana S-1 dan kini sudah doktor, tidak usahlah dideretkan lagi gelar-gelar sebelumnya. Inikah yang oleh para budayawan dan ahli kebudayaan serta sejarawan dinamai feodalisme yang bertemu lagi dengan dua mentalitas di atas? Gejala pengawetan pola tindak dan perilaku asal bapak senang juga disuburkan oleh si pejabat atau petinggi sendiri.

Teman saya mengatakan bila pemimpin atau petinggi menikmati sekali model menyuruh- nyuruh bawahan dan suka menjongos-jongoskan orang lain, bagaimana daulat rakyat bisa tumbuh? Memperlakukan rekan kerja Anda secara menjongoskan adalah ekspresi hipotesis di depan mentalitas minder tadi. Mengapa? Bila orang sudah percaya diri dan daulat hidup serta dirinya mengendap matang maka ia tidak perlu minta penghormatan atau pujian serta ‘jilatan sembah’ dari bawahan atau sesamanya.

Praksis pelaksanaan wewenang adalah praksis pelayanan. Namun lebih banyak masih slogan. Praksis memperlakukan orang lain sebagai jongos juga ekspresi mentalitas minder tetapi juga sering disebut sindrom Napoleon. Konon nama sindrom Napoleon muncul karena sejarah Napoleon yang berkuasa sekali menaklukkan Eropa sampai hampir ke Rusia, namun orang heran ternyata secara fisik badan Raja Napoleon tidak tinggi alias pendek.

 Spekulasi kritis muncul apakah justru karena pendek lalu ia mau mengatasinya dengan menjadi besar dan berambisi berkuasa tinggi? Ibarat si cebol pungguk merindukan bulan. Namun sindrom ini tentu saja untuk memudahkan pengibaratan kompleksitas tipe orang yang suka memperlakukan sesama sebagai jongosnya.

Orang-orang dengan daulat diri dan kedaulatan hidupnya akan tidak ia sukai dan bila perlu ia liciki untuk disingkirkan, namun orang-orang yang mudah tunduk menghormat akan ia pelihara dengan catatan bahwa sindrom Napoleon ini ditulis tidak untuk merendahkan Anda yang kebetulan berbadan kecil, tidak tinggi. Sebabnya, bukankah local wisdom, peribahasa warisan nilai leluhur kita, meringkaskan padat dan bernilai pula dalam ungkapan: kecil-kecil cabe rawit; kecil-kecil namun seperti kancil, cerdas!

Maka kembali ke tugas peradaban negeri dan bangsa ini, kesadaran berdaulat diri dan berdaulat atas hidup masih merupakan pekerjaan rumah dengan proses pendidikan transformasi mentalitas yang panjang agar mentalitas ABS dan jongos perlahan namun pasti hilang dari bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar