Sabtu, 28 Juli 2012

Meredam Gejolak Harga


Meredam Gejolak Harga
Pande Radja Silalahi ; Ekonom CSIS Jakarta
SUARA MERDEKA, 28 Juli 2012

PEMBERITAAN seputar gejolak harga menjelang dan selama Ramadan menjadi pusat perhatian masyarakat. Sebagian menanggapinya secara negatif karena kenaikan harga itu mengurangi daya beli tetapi sebagian menganggapnya hal biasa, bahkan menyatakan bisa menerima sampai kenaikan tingkat tertentu.

Adalah kenyataan bahwa inflasi tidak bersifat netral. Dampaknya bisa menurunkan daya beli sebagian masyarakat, tetapi tak jarang menguntungkan bagi sebagian (kecil) masyarakat. Karenanya selalu dipertanyakan, apa penyebab inflasi, dan seberapa besar perubahannya? Apakah kenaikan harga terjadi pada produk-produk pertanian atau semua jenis produk yang dibutuhkan, dan apakah kenaikan itu merata atau berbeda antara satu produk dan produk lainnya?

Sebagian besar penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Karena itu bisa dikatakan kenaikan harga bahan pangan sejak memasuki bulan Puasa sampai Hari Raya dan beberapa hari berikutnya akan menguntungkan masyarakat. 

Kenyataannya tidaklah demikian karena tidak seluruh masyarakat yang menggantungkan hidupnya dengan menghasilkan bahan pangan dapat dikategorikan sebagai petani surplus.

Sebagian, bahkan bisa jadi porsinya terbesar, tergolong penghasil bahan pangan yang defisit atau  lebih kecil dari kebutuhannya. Tak semua provinsi atau kabupaten dapat menghasilkan kebutuhan bahan pokok, terutama pangan, dalam jumlah yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Jadi mudah dipahami mengapa kenaikan harga beras ditanggapi berbeda oleh masyarakat di Sulawesi Selatan dan DKI Jakarta.

Perbedaan itu menjadi salah satu faktor penyebab sulitnya pemerintah menerapkan kebijakan intervensi harga yang bisa diterima oleh seluruh lapisan masyarakat untuk seluruh wilayah di Indonesia. Contohnya kenaikan harga cabai sebagaimana, sebenarnya bisa diredam oleh pemerintah dengan membuka keran impor. Namun cara itu besar kemungkinan menurunkan gairah petani menanam cabai, bahkan malah bisa meningkatkan ketergantungan Indonesia akan cabai impor.

Realitas dan fakta itu bisa menuntun kita untuk memahami berbagai kebijakan pemerintah. Perkembangan pertama; porsi sektor pertanian (termasuk bahan pangan) dalam perekonomian Indonesia secara pasti makin lama makin kecil. Perkembangan kedua; bagian pendapatan yang digunakan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara pasti makin kecil seiring makin meningkatnya pendapatan masyarakat.

Intervensi Bulog

Beberapa puluh tahun lalu masalah harga dan ketersediaan sembako menjadi isu sangat sensitif karena bagian terbesar pendapatan masyarakat dipakai untuk memenuhi kebutuhan pokok itu. Dewasa ini keadaannya banyak berubah. Komoditas yang dianggap masih perlu mendapat perhatian khusus adalah beras, karena porsi pengeluaran masyarakat untuk belanja beras masih sangat berarti.

Tapi pernyataan Dirut Perum Bulog melegakan karena dikatakan untuk memenuhi kebutuhan beras, kita tidak perlu impor. BPS awal Juli juga memublikasikan bahwa kondisi perberasan tahun ini berbeda dari 2011. Tahun 2012 ini diperkirakan produksi padi (gabah kering giling/ GKG) meningkat sekitar 4,1% hingga mencapai 68,59 juta ton. Peningkatan ini dapat dicapai melalui peningkatan produktivitas dan areal persawahan.

Dari perkembangan positif itu maka yang perlu menjadi fokus perhatian dari aparat yang terlibat masalah beras adalah stabilisasi atau menjaga harga agar tidak terlalu bergejolak walapun produksi tidak sama banyaknya dalam tiap musim. Artinya, yang penting adalah bagaimana mengelola persediaan. Hal ini berkaitan dengan tugas membeli dari petani, jumlah, dan harga yang tepat, serta ketersediaan dana dan likuiditas Bulog.

Walaupun sampai saat ini terlihat tanda-tanda melegakan yaitu masalah perberasan lebih mudah ditangani karena terjadi kenaikan produksi, sikap berjaga-jaga tetap dibutuhkan. Karenanya, dalam situasi seperti sekarang alangkah tepat manakala instansi terkait (Kemendag, Bulog, dan Kemenkeu) berdiskusi mencari format baku yang efektif dan efisien guna memperkuat ketahanan pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar