Selasa, 31 Juli 2012

Otonomi Daerah dari Presiden?


Otonomi Daerah dari Presiden?
Ramlan Surbakti ; Guru Besar Perbandingan Politik 
pada FISIP Universitas Airlangga
KOMPAS, 31 Juli 2012


Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Daerah—untuk mengganti UU No 32 Tahun 2004—yang baru-baru ini diserahkan pemerintah kepada DPR menawarkan cara pandang baru.

Cara pandang baru di sini adalah dalam menjabarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dibagi atas daerah-daerah provinsi. Daerah provinsi dibagi lagi atas kabupaten dan kota, yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat.

Dari isi Bab II tentang Kekuasaan Pemerintahan (Pasal 2) dapat disimpulkan, pemerintahan daerah sebagai ”penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam prinsip dan sistem NKRI, sebagaimana dimaksud UUD 1945” adalah penyerahan sebagian kekuasaan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif).

Beberapa ayat dari Pasal 2 membuktikan kesimpulan tersebut. Pertama, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan dalam sistem administrasi NKRI. Sistem administrasi negara hendaklah dibaca sebagai sistem pelaksanaan kebijakan publik (UU) alias eksekutif. Kedua, presiden dibantu para menteri untuk menjalankan urusan pemerintahan. 

Ketiga, pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan. Keempat, dalam melaksanakan asas desentralisasi, presiden menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepadadaerah. Sebagian urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah itulah yang tampaknya dimaksudkan sebagai otonomi daerah seluas-luasnya. Kelima, presiden memegang tanggung jawab akhir atas penyelenggaraan pemerintahan, termasuk penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.

Bab tentang Penataan Daerah juga menunjukkan betapa pembentukan daerah otonom adalah kekuasaan presiden. Setidaknya tiga hal membuktikan hal itu. Pertama, pemerintah pusat menetapkan desain besar penataan daerah yang berisi estimasi jumlah daerah, strategi pembentukan, penghapusan, penggabungan dan penyesuaian daerah, serta rencana pembentukan daerah baru untuk kepentingan strategis nasional (Pasal 19). Kedua, pemerintah pusat melakukan penataan daerah, yaitu pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan penyesuaian daerah (Pasal 6). Ketiga, setiap pembentukan daerah baru harus melalui tahap daerah persiapan selama tiga tahun yang diatur dengan peraturan pemerintah.

Bab V tentang Urusan Pemerintahan (Pasal 20) yang membagi urusan pemerintahan menjadi tiga kategori (absolut, konkuren, dan umum) juga menunjukkan RUU ini adalah RUU tentang kekuasaan eksekutif. Termasuk urusan pemerintahan absolut adalah politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, justisia, serta agama (Pasal 21). Urusan pemerintahan absolut ini sepenuhnya dipegang oleh pemerintah pusat.

Cara pandang baru menafsirkan NKRI dengan pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang jadi urusan pusat, selain sebagai penerapan pendekatan administrasi publik tampaknya juga dilandasi suatu maksud agar presiden (dan para pembantunya) dapat mengendalikan semua kegiatan pemerintahan daerah sehingga tercapai tujuan dan sasaran nasional yang ditetapkan presiden.

Pertanyaan dan Gugatan

Berdasarkan RUU ini, kekuasaan presiden untuk mengendalikan pemerintahan daerah tak hanya melalui desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan, tetapi juga melalui dua cara lain. Pertama, daerah otonom provinsi dan kabupaten/kota diberi status sebagai wilayah administratif. Dengan demikian, kepala daerah juga berperan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah (Pasal 5) sebagaimana diterapkan selama Orde Baru berdasarkan UU No 5/1974. Kedua, penerapan pengawasan pemerintahan daerah yang bersifat preventif harus mendapat evaluasi (kata lain dari persetujuan) menteri untuk rancangan peraturan daerah provinsi, serta mendapat evaluasi dari gubernur—sebagai wakil pusat di daerah—untuk rancangan perda kabupaten/kota sebelum disahkan (Pasal 131).

Sejumlah pertanyaan mendasar perlu diajukan terhadap cara pandang baru ini.
Pertama, apakah pengertian desentralisasi yang digunakan dalam Pasal 2 Ayat (4) RUU Pemda tersebut (”dalam melaksanakan asas desentralisasi, presiden menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah”) sama artinya dengan pengertian pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud Pasal 18 UUD 1945. Khususnya Ayat (5): ”Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat.”

Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada pengertian ”kekuasaan pemerintahan yang dipegang oleh Presiden”. Kalau mencermati pembagian kekuasaan negara yang diatur dalam UUD 1945, kekuasaan pemerintahan yang dipegang presiden adalah kekuasaan menjalankan undang-undang (eksekutif).

Di pihak lain, kalau mencermati Pasal 18, 18A, dan 18B UUD 1945 dapat disimpulkan: pengertian otonomi seluas-luasnya dalam Pasal 18 Ayat (5) niscaya bukan berasal dari kekuasaan eksekutif presiden. Kalau pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya berasal dari kekuasaan eksekutif presiden, pembentukan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota (sebagai daerah otonom, pembagian urusan pemerintahan, susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah, hubungan kewenangan antara pusat dan daerah serta hubungan keuangan pusat dan daerah) tak perlu dengan UU. Cukup peraturan pemerintah dan peraturan presiden.

Apabila otonomi daerah seluas-luasnya berasal dari presiden sebagai pemegang kekuasaan menjalankan UU, pemerintahan daerah tidak perlu diberi kewenangan membentuk perda dan peraturan lain untuk menjalankan otonomi daerah dan urusan pembantuan berdasarkan prakarsa dan kondisi daerah.

Kalau urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan DPRD berasal dari kekuasaan eksekutif presiden, mengapa anggota DPRD dan kepala daerah provinsi dan kepala daerah kabupaten/kota harus dipilih melalui pemilihan umum? Sudah tentu akan lebih efisien apabila DPRD dihapuskan (karena tidak ada urusan yang bersifat substantif yang dapat diatur) dan kepala daerah cukup diangkat saja.

Kedua, sebagai lanjutan pertanyaan pertama, siapa yang menyerahkan ”otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat” kepada setiap daerah otonom?

Jawaban yang diberikan pemerintah dalam RUU tersebut adalah presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan Pasal 4 UUD 1945. Akan tetapi, jawaban yang diberikan oleh UUD 1945 bukan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, melainkan pembentuk UU [Pasal 18 Ayat (1), Ayat (5), dan Ayat (7), Pasal 18A Ayat (1) dan Ayat (2) UUD 1945]. Kita tahu, lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk UU bukan presiden melainkan DPR (Pasal 20), walaupun setiap pembahasan RUU wajib melibatkan dan mendapatkan persetujuan Presiden. Karena itu, jawaban atas pertanyaan tadi bukan presiden melainkan negara atau pemerintahan nasional.

Pertanyaan ketiga, siapa yang dimaksud pemerintah pusat dalam Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945? Pertanyaan ini diajukan karena enam urusan pemerintahan absolut ditetapkan sebagai kewenangan pemerintah pusat dalam RUU ini. RUU ini mendefinisikan pemerintah pusat (dalam Ketentuan Umum) sebagai presiden dan wakil presiden, serta para menteri.

Pengertian yang sempit ini kurang tepat berdasarkan argumentasi konstitusional berikut. Kedaulatan NKRI ada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, dan bahwa NKRI adalah negara hukum (Pasal 1 UUD 1945). Hal ini berarti sumber kekuasaan NKRI adalah rakyat dan kekuasaan NKRI diselenggarakan berdasarkan hukum.

Oleh karena itu, pembagian kekuasaan dalam NKRI haruslah berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum. Adapun yang dijalankan presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif adalah undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif dan dasar hukum yang digunakan oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai kekuasaan yudikatif dalam ”mengadili” perkara adalah undang-undang yang dibentuk oleh lembaga legislatif.

Artinya, ”politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal, yustisia, dan agama” sebagai enam urusan pemerintahan absolut, tak mungkin sepenuhnya jadi kewenangan pemerintah pusat, dalam arti lembaga eksekutif. Sebab, penyelenggaraan semua jenis urusan itu (termasuk urusan pemerintahan absolut) harus berdasarkan kedua prinsip tadi: kedaulatan rakyat dan negara hukum.

Konkretnya, keenam jenis urusan pemerintahan absolut tersebut harus diatur dengan UU oleh para wakil rakyat untuk dapat dilaksanakan oleh presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dan dapat digunakan oleh lembaga yudikatif dalam mengadili perkara yang menyangkut urusan tersebut. Kalau argumentasi konstitusional ini benar, yang dimaksud dengan pemerintah pusat dalam Pasal 18 Ayat (5) bukan hanya pemerintah dalam arti sempit (presiden, wakil presiden, dan para menteri), tetapi pemerintah dalam arti luas, yakni termasuk legislatif dan yudikatif.

Keliru Memilih Pijakan

Komentar terakhir adalah berkaitan dengan cara berpikir hukum terbalik dalam pengaturan penataan daerah dan pengaturan desain besar penataan daerah. Disebut terbalik karena pembentukan, penggabungan, penghapusan, dan penyesuaian daerah otonom dilakukan dengan UU (Pasal 6, Pasal 10, dan Pasal 14), tetapi desain besar penataan daerah dilakukan oleh pemerintah pusat (Pasal 19).

Disebut juga berpikir hukum terbalik karena undang-undang menjalankan peraturan pemerintah. Baik pola dan arah desain besar penataan daerah maupun berbagai bentuk penataan daerah seharusnya diatur secara jelas dalam UU tentang Pemerintahan Daerah.

Selain harus memenuhi persyaratan administrasi dan persyaratan teknis, pembentukan daerah otonom baru juga harus melalui tahap daerah persiapan selama tiga tahun. Hanya daerah persiapan yang dinilai layak oleh pemerintah sajalah yang akan ditetapkan sebagai daerah otonom baru melalui UU. Pengaturan tentang daerah persiapan ini sepenuhnya dilakukan pemerintah dengan peraturan pemerintah. Ketentuan seperti ini tidak saja merupakan tindakan sepihak pemerintah yang ”mendikte” DPR, juga menutup kesempatan DPR mengajukan RUU terkait pembentukan daerah otonom baru. Tindakan yang dilandasi oleh niat yang baik sekalipun, tetapi melanggar UUD, tetaplah merupakan pelanggaran.

Dua kesimpulan dapat diajukan terhadap RUU Pemerintahan Daerah yang diajukan tersebut. Pertama, RUU itu bukanlah jawaban yang tepat tentang apa yang dimaksud dengan ”NKRI yang dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat”. Kedua, RUU Pemerintahan Daerah tersebut berangkat dari pijakan konstitusional yang keliru dalam menjabarkan susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah dan hubungan wewenang antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan memperhatikan kekhususan setiap daerah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar