Kamis, 26 Juli 2012

Pilgub oleh DPRD

Pilgub oleh DPRD
Janedjri M Gaffar ; Kandidat Doktor Ilmu Hukum pada Universitas Diponegoro
 SINDO, 26 Juli 2012


Rancangan Undang- Undang Pemilihan Kepala Daerah yang tengah dibahas oleh pemerintah dan DPR memuat perubahan besar, yaitu pergeseran pemilihan gubernur dari pemilihan langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD provinsi. 
Gagasan perubahan ini mengemuka sebagai hasil evaluasi dari praktik pelaksanaan pemilukada yang dijalankan sejak UU No 32/2004 berlaku. Setidaknya ada tiga argumentasi utama yang melatari gagasan pemilihan gubernur oleh DPRD.

Pertama,pelaksanaan pemilukada membutuhkan biaya sangat besar, baik yang dikeluarkan oleh negara melalui penyelenggara pemilukada maupun yang dikeluarkan oleh pasangan calon. Apalagi jika pemilukada dilakukan dua putaran atau dalam hal ada keharusan melakukan pemungutan suara ulang berdasarkan putusan MK.

Kedua, praktik pemilukada selalu diwarnai dengan politik uang mulai dari yang bersifat sporadis hingga yang bersifat massif, terstruktur, dan sistematis. Ada kecenderungan sikap “menyerah” terhadap praktik politik uang sehingga untuk meminimalisasi hanya dapat dilakukan dengan cara mengubah “pemilihan oleh rakyat secara langsung” menjadi “pemilihan oleh DPRD” dengan asumsi bahwa jauh lebih mudah mengawasi anggota DPRD yang jumlahnya sedikit.

Ketiga, kedudukan gubernur dalam konstruksi ketatanegaraan Indonesia, di samping menjadi kepala daerah provinsi, juga merupakan wakil pemerintah pusat di daerah. Provinsi merupakan daerah yang memperoleh wewenang di samping berdasarkan asas desentralisasi juga memperoleh wewenang berdasarkan asas dekonsentrasi. Salah satu bentuknya, gubernur menjalankan fungsi pengawasan terhadap kabupaten dan kota. Karena itu, gubernur harus dapat bekerja sama dengan pemerintah pusat dan cara pemilihannya dapat ditentukan berbeda dengan cara pemilihan kepala daerah kabupaten/ kota.

Garis Konstitusional dan Derajat Demokrasi 

UUD 1945 menentukan pemilihan gubernur (pilgub), bupati, dan wali kota dengan rumusan yang sama yaitu “dipilih secara demokratis”. Sudah tidak ada kontroversi lagi tentang tafsir frasa “dipilih secara demokratis”. Hal ini sudah tertuang dalam beberapa putusan MK. Pembentuk undang-undang dapat menentukan cara pemilihan kepala daerah apakah secara langsung oleh rakyat seperti saat ini dianut ataukah oleh DPRD.

Sepanjang penentuan kepala daerah dilakukan dengan cara “pemilihan” yang dijalankan“secara demokratis” sesuai asas-asas pemilihan umum, itu sudah memenuhi kaidah konstitusi. Ketentuan konstitusi itu juga memungkinkan pemberlakuan ketentuan pemilihan yang berbedabeda antara satu daerah dan daerah lain. Bukan hanya antara provinsi dan kabupaten dan kota, melainkan juga dapat ditentukan berbeda antara satu provinsi dan provinsi lain, dan antara satu kabupaten/kota dan kabupaten/ kota lainnya.

Namun, pada saat kita sudah menentukan pemilihan dilakukan secara langsung oleh rakyat, kemudian diubah menjadi pemilihan oleh DPRD perlu dipertimbangkan lagi pengaruhnya terhadap perubahan “derajat” demokrasi di daerah. Pemilihan secara langsung oleh rakyat tentu dirasakan “lebih demokratis” jika dibandingkan dengan pemilihan oleh DPRD. Ada dua hal penting mengapa pemilihan gubernur oleh DPRD akan mengurangi derajat demokrasi.

Pertama, hal itu akan menghilangkan satu ruang partisipasi masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah melalui pemilihan kepala daerah. Kedua, hilangnya ruang partisipasi langsung akan berakibat menjauhnya hubungan antara kepala daerah dan masyarakat di daerah. Hubungan dalam hal ini berisi kewajiban gubernur memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat serta legitimasi bagi masyarakat untuk melakukan pengawasan publik.

Jika perubahan pemilihan gubernur dimaksudkan untuk memperkokoh posisi sebagai wakil pemerintah pusat, tentu tidak pada tempatnya jika hal itu berarti juga harus menghilangkan legitimasi rakyat untuk berpartisipasi dan mengawasi jalannya pemerintahan provinsi.

Sebaliknya, dengan gubernur yang dipilih oleh rakyat tidak otomatis menghilangkan posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, juga tidak menjadi halangan hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi karena sesungguhnya pemerintah daerah terbentuk karena proses desentralisasi dari urusan yang berasal dari pemerintah pusat.

Argumentasi Lain 

Segenap komponen bangsa tentu mengafirmasi bahwa semua hal harus berujung pada peningkatan kesejahteraan rakyat, baik materiil maupun imateriil, berupa terpenuhinya kebutuhan untuk hidup dan terlindunginya hak-hak dalam berkehidupan. Karena itu, semua hal yang mengganggu pencapaian tujuan itu harus diperbaiki, demikian pula dalam penentuan sistem pemilukada.

Namun, dalam konteks perubahan pemilihan gubernur yang perlu dipertimbangkan dalam-dalam adalah apakah latar belakang gagasan tersebut tidak dapat dijawab dengan upaya lain selain menggeser pemilihan oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD. Untuk menekan biaya pemilukada yang dikeluarkan oleh penyelenggara sebenarnya terdapat alternatif lain yang telah dikuatkan putusan MK, yaitu melalui e-election dengan menggunakan peranti teknologi informasi.

Pemanfaatan e-election ini semakin mendekati kenyataan dengan keberadaan e-KTP sehingga dalam proses pemilihan tidak diperlukan lagi kartu pemilih, DPT, surat suara, kotak suara, dan biaya rekapitulasi di tiap jenjang. Tentu saja pemanfaatan e-election membutuhkan infrastruktur teknologi informasi yang mungkin belum semua daerah tersedia. Namun untuk daerah tertentu, Pemilukada Jakarta misalnya, e-election sesungguhnya sebenarnya sudah dapat diterapkan.

Persoalan biaya yang dikeluarkan oleh pasangan calon, yang berujung pada money politic dan korupsi,adalah persoalan penegakan hukum serta budaya hukum dan politik. Money politic sulit diberantas karena secara umum budaya masyarakat politik dan masyarakat sipil menempatkannya sebagai suatu kewajaran, sebagai “bumbu” dalam proses pemilihan.

Dalam konteks budaya yang demikian, potensi money politic tetap besar walaupun pemilihan dilakukan oleh DPRD. Terlepas dari keputusan yang akan dibuat pembentuk undang-undang, proses pembahasan RUU Pemilihan Kepala Daerah membutuhkan pertimbangan yang lebih mendalam, terutama dari masyarakat umum.

Anggota DPR yang saat ini tengah menjalani masa reses dan berkomunikasi dengan konstituen seyogianya menjadikan wacana pemilihan gubernur ini sebagai salah satu materi utama yang dikonsultasikan kepada konstituennya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar