Minggu, 29 Juli 2012

Psikotes


Psikotes
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi UI,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia 
KOMPAS, 29 Juli 2012

Belakangan ini sedang mencuat isu tentang psikotes untuk calon legislator (caleg). Awalnya, Ketua Umum PDIP Megawati-lah yang meluncurkan isu tersebut. Maksudnya sangat mulia dan memang masuk akal.

Prestasi anggota-anggota DPR sekarang (apalagi DPRD) memang jauh di bawah harapan. Karena itu,menurut Megawati, para caleg harus diskrining dulu dengan psikotes. Tentu saja gagasan Megawati itu disambut dengan gembira oleh banyak pihak,khususnya oleh mereka yang sudah capai dengan kualitas anggota DPR/D yang sekarang.

Tapi sebelum masuk terlalu jauh, sebaiknya diketahui dulu apa psikotes itu.  Berbeda dari anggapan awam,psikotes bukanlah tongkat sakti tukang sulap yang dengan “simsalabim” bisa membuka kepribadian orang dan mengungkap semua kebaikan dan kejelekan orang. Psikotes hanyalah alat ukur untuk mengukur aspek-aspek

TERTENTU saja dari kepribadian.Suatu batere (rangkaian) tes tertentu biasanya disusun untuk mengukur aspek-aspek tertentu sesuai dengan tujuan diselenggarakannya tes itu. Di bidang psikologi industri dan organisasi (PIO), misalnya, psikotes biasa dilakukan untuk tujuan seleksi, penempatan, rotasi, mutasi atau promosi.

Untuk itu pertama sekali perlu dilakukan analisis jobuntuk mendapatkan job description dari jabatan atau posisi yang mau diisi. Berdasarkan job desk ditentukan kompetensi psikologis yang dibutuhkan untuk job itu dan berdasarkan kompetensi psikologis yang dibutuhkan disusunlah tes-tes yang relevan untuk mengukur tiap aspek psikologis yang diperlukan seperti kecerdasan umum, daya analisis, memori, kemampuan bekerja dengan angka, kemampuan sintesis, sikap kerja, ketelitian, ketahanan menghadapi stres,dan sebagainya.

Pertanyaan kita sekarang, sudah adakah job desk untuk anggota DPR/D? Tiga fungsi parlemen, legislasi, penganggaran, dan pengawasan, tidak cukup hanya disebut dalam UU, tetapi harus diurai dalam job desk yang terperinci untuk tiap anggota. Misalnya bagaimana bisa menjadi anggota Banggar kalau tidak bisa membaca neraca pembukuan? Bagaimana bisa menelusuri neraca pembukuan kalau tidak bisa bekerja dengan angka, tidak teliti, dan tidak sabar duduk berjam-jam meneliti angka?

Tapi anggota Banggar bukan cuma akuntan negara, dia harus mampu pula mengaitkan angka-angka rencana anggaran dengan visi dan misi negara, meletakkan yang penting di prioritas atas dan yang lain di prioritas bawah. Selanjutnya dia harus bisa mengorasikan pandangannya secara jelas, runut, logis, tetapi juga dengan retorika di siding-sidang Banggar dan kalau perlu disidangpleno. Intinya dia harus bisa meyakinkan anggota DPR yang lain tentang pendapatnya.

Kemampuan ini dalam psikologi disebut kemampuan persuasi. Adu persuasi dengan argumentasi yang berbasis data yang faktual inilah yang akan menghasilkan produkDPR/D yang optimal, relevan, dan langsung menyangkut kebutuhan rakyat yang diwakili anggota badan legislatif itu. Tidak ada lagi debat kusir dan adu interupsi yang modalnya hanya kekerasan suara dan emosi marah-marah. Inilah yang dimaksud Megawati ketika ia meluncurkan ide psikotes untuk anggota DPR/D.

Tapi karena job desk anggota DPR/D belum ada, sulitlah bagi para psikolog nantinya untuk menentukan batere tes yang pas. Apalagi dalam praktiknya nanti, ketika seorang caleg sudah dinyatakan lolos psikotes, ternyata dia tidak terpilih. Yang terpilih malah yang tidak lolos. Tambah runyam lagi akibatnya, karena begitu banyak dana akan terbuang untuk investasi psikotes ini. Karena itu sebaiknya psikotes diselenggarakan sesudah caleg terpilih jadi anggota dengan tujuan untuk menempatkan caleg dalam komisi atau badan yang sesuai dengan kompetensi masing-masing.

Dengan perkataan lain, psikotes dipakai untuk tujuan penempatan (placement) bukan untuk tujuan seleksi. Tapi bagaimana kalau ada caleg yang tidak pas di mana-mana? Bahkan sama sekali tidak layak ikut fit and proper untuk jadi caleg? Kalau hanya menyangkut kompetensi (misalnya mampu baca neraca atau bisa memahami hukum), mungkin masih bisa dilatih atau dikursusi kilat. Tapi kalau sudah menyangkut integritas kepribadian, seperti kejujuran, konsistensi, loyalitas, dsb., sulit untuk dibentuk dalam waktu singkat.

Bahkan psikotes sekalipun belum tentu bisa mengungkapnya. Psikotes mungkin bisa mengukur profesionalisme (termasuk konsistensi antara laporan dan fakta, alias kejujuran dalam melaksanakan tugas), tetapi tidak bisa menjamin integritas kepribadian secara utuh. Seorang anggota dari sebuah partai agama pun bisa tertangkap basah sedang melihat situs porno melalui iPadnya di tengah-tengah sidang. 

Atau seorang caleg yang selama ini dikenal profesional dan berintegritas tinggi tiba-tiba masuk infotainment sedang “main” dengan seorang wanita dan video-clip-nya beredar ke mana-mana. Intinya, psikotes tidak menjamin untuk menjaring orang bermental nabi atau malaikat untuk menjadi anggota DPR. Para petinggi Kementrian Agama yang rata-rata sudah haji pun ternyata bisa mengorupsi Alquran.

Sudah jadi rahasia umum bahwa Kemenag dan Kemendikbud jadi sarang koruptor. Jadi bagaimana caranya kita mengawal caleg-caleg 2014 agar memenuhi persyaratan mental seperti yang diharapkan Megawati?
Dulu orang percaya bahwa Pancasila bisa mengatasi segala-galanya. Maka Presiden Suharto membangun sistem pendidikan Pancasila, mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi.

Pada zaman itu, jangan harap lulus S-1 tanpa lulus mata kuliah pancasila. Mata pelajaran budi pekerti yang diajarkan sejak saya masih Sekolah Rakyat dihapus, digantikan dengan mata pelajaran Pancasila. Untuk kalangan pegawai negeri sipil dan tokoh masyarakat juga disiapkan kursus P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Saya sendiri punya sertifikat P4, bahkan punya wing (lencana) Manggala (guru besarnya Pancasila) yang dididik selama 10 hari di Istana Bogor.

Tapi hasil strategi Presiden Suharto jauh dari memuaskan. Bahkan KKN yang paling seru justru di lingkungan Jalan Cendana sendiri. Maka orang pun beralih ke agama. Agama itu ciptaan Allah, bukan bikinan manusia seperti Pancasila, maka pastilah lebih sip. Jadi apa-apa obatnya selalu dicarikan ke agama. Dari penyalahgunaan narkoba sampai KKN dituding penyebabnya adalah karena kurang takwa dan kurang iman. Maka agama digalakkan di mana-mana. Tapi nyatanya juga sama saja.

Malah konflik antaragama makin seru dan korupsi makin merajalela di semua sektor, termasuk sektor agama dan sektor legislatif, termasuk juga dari partai-partai agama. Setelah gagal dengan agama, Megawati mengusulkan psikotes. Gagasannya mulia, tetapi seperti halnya Pancasila dan agama, psikotes bukanlah obat. Pancasila dan agama sama-sama merupakan ukuran (moral), sedangkan psikotes adalah alat ukurnya (kompetensi dan moral), tetapi untuk mengubah perilaku tak bermoral menjadi bermoral, diperlukan lebih dari sekadar ukuran dan alat ukur.

Diperlukan banyak hal yang didukung oleh sebuah sistem yang memaksa orang untuk tidak punya pilihan lain kecuali bekerja profesional dan berintegritas. Sistem seperti itu bukan utopis, melainkan sudah ada di sekitar kita.

Beberapa BUMN dan perusahaan swasta Indonesia sudah berhasil mewujudkannya sehingga berhasil menembus pasar internasional dan menyebabkan Indonesia tidak ikut terpuruk bersama krismon global tahun-tahun terakhir ini. Bahkan beberapa pemerintah daerah sudah berhasil melakukannya. Jadi marilah kita mulai dengan sistem, baru ke psikotes.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar