Jumat, 27 Juli 2012

Ramadhan di Televisi


Ramadhan di Televisi
Muhammadun ; Analis Studi Politik dan Pemerintahan,
Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
REPUBLIKA, 27 Juli 2012

Setiap kali Ramadhan tiba, tayangan televisi ber­ubah menjadi tayangan yang religius. Baik iklan, sinetron, maupun berita dikemas dengan atribut agama, seolah iklan, sinetron, dan lainnya itu menjadi Islami dan paling layak untuk dikonsumsi. Karena ha­ nya sekadar dikemas secara religius, tayangan televisi itu tak lebih seka­ dar politik pasar untuk menggaet kon­sumen.

Alih-alih ingin ikut serta mendakwahkan ajaran agama, ternyata agama justru dimaknai secara artifisial, ad hoc, dan simplistik. Tayangan dalam televisi bahkan mendistorsi ajaran agama, karena selain menggiring pemirsa sibuk dengan tayangan tersebut sehingga melalaikan majelis ilmu di masjid dan pesantren, tayangan itu juga menggiring pemahaman beragama yang bias dan membiaskan. Ini sangat berbahaya.

Berbagai atribut agama dalam Ramadhan di televisi ini dikemas sebagai media mengiklankan produk dan komoditas untuk meraih keuntungan semata, bukan untuk memeriahkan substansi Ramadhan itu sendiri. Logika pasar yang begitu kuat dalam Ramadhan di televisi ini semakin dahsyat setiap tahun, sehingga strategi pasar dikerahkan semaksimal mungkin untuk meraih keuntungan sebesar mungkin.

Momentum Ramadhan 1433 H jangan sampai diisi tayangan yang tidak disadari umat Islam. Ini harus disadari “sesadar-sadarnya“. Terjebak dalam logika pasar tayangan Ramadhan di televisi, bisa membuat puasa yang sedang dijalani hanya menjadi 'sekadar menahan lapar dan dahaga'. Padahal, model puasa yang demikian ini sangat disayangkan oleh Nabi Muhammad dalam berbagai hadisnya.

Puasa yang hanya mendapatkan lapar dan dahaga tak akan mendapatkan makna dalam puasa Ramadhan itu sendiri. Puasa hanya menjadi rutinitas yang tak berarti apa-apa. Kala Ramadhan usai maka akan menjadi seperti sedia kala, tanpa ada bekas dan pengaruh apa pun.

Politisasi Agama

Laju politik pasar dalam tayangan Ramadhan di televisi tak lain merupakan politisasi agama untuk kepentingan dan keuntungan semata. Ini sama dengan yang dilakukan kaum elite politik yang memanfaatkan Ramadhan untuk menggalang suara menjelang Pemilu 2014. Prof Riswanda Imawan (2004) pernah mengatakan bahwa agama akhir-akhir ini lebih banyak dipakai untuk menuntun orang masuk Istana Negara daripada masuk surga.

Agama kini menjadi korban untuk kepentingan sesaat dalam politik dan ekonomi. Dengan mendompleng Ramadhan, agama menjadi sekadar kamuflase untuk melanggengkan keuntungan dan kekuasaan. Ini sebuah tragedi yang mengenaskan.

Politisasi agama untuk kepentingan ekonomi dan politik hanya memperkeruh dan mereduksi hakikat agama. Muhammad Said al-Asymawi dalam Al-Islam alSiyasi (1987) menjelaskan bahwa Allah menghendaki Islam menjadi agama, tapi manusia menghendakinya menjadi kekuatan politik dan kekuasaan. Misi universalitas agama akhirnya tereduksi oleh perilaku logika pasar yang partikular dan pragmatis.

Padahal, universalitas makna ajaran inilah yang membuat manusia sangat butuh spiritualitas agama. Dengan spiritualitas yang sublim, manusia menemukan kembali jati dirinya. Seluruh keluh-kesah manusia selalu dikembalikan dengan kiat-kiat keberagamaan. Setiap atribut agama menjadi sangat bermakna, karena menghayati ritual dan atribut agama akan mengantarkan menuju substansi yang sejati. Sensitivitas agama menjadi sangat efektif untuk menyentuh emosi publik.

Menegakkan Substansi

Di tengah alam politik pasar yang tak bisa dihindari, umat Islam harus mempunyai strategi yang efektif, sehingga makna dan substansi puasa tetap terjaga. Tayangan Ramadhan merupakan potensi ekonomi yang sangat strategis dalam pengembangan ekonomi rakyat, tetapi makna dan substansi puasa juga jauh lebih penting dari itu. Kedua-keduanya mesti berjalan beriringan, sehingga makna puasa tetap tergapai, peningkatan ekonomi rakyat juga bisa terlaksana. Menegakkan substansi puasa, dalam konteks ini, bisa dilakukan dengan berbagai hal.

Pertama, saatnya umat Islam semakin kuat dan teguh imannya dalam memahami dan menyelami makna ajaran agama. Menjalani puasa bukanlah seperti bermain teater. Selesai acara, bubar panggungnya. Menjalani puasa merupakan menyelami makna hidup yang penuh kesejatian, menusuk sampai ke hati nurani manusia. Dengan pemahaman demikian, puasa tak akan tergoda dengan bentuk apa pun yang membahayakan. Para ulama, kiai, dan ustaz harus mendakwahkan ajaran puasa yang demikian, sehingga umat mempunyai pemahaman yang utuh, tidak parsial.

Kedua, menjadikan berbagai kegiatan Ramadhan, baik yang bernilai ekonomis atau tidak, dalam rangka menyemarakkan semangat perjuangan dan pengabdian. Berbagai gebyar sosial harus dimaknai sebagai gerak umat dalam memperjuangkan nilai dan makna puasa dalam kehidupan. Dengan pemahaman ini, maka puasa akan menjadi spirit yang sangat besar dalam menumbuhkan semangat berjuang dalam hidup, termasuk dalam meraih kesejahteraan.

Kalau etos ini tumbuh, maka potensi Ramadhan justru menjadi momentum membangkitkan diri dari keterpurukan dan keterbelakangan. Dengan kedua hal tersebut, substansi Ramadhan di tengah gebyar sosial dan berbagai tayangan televisi, tetap akan terjaga dan teguh dalam hati umat Islam.

Tayangan Ramadhan justru menjadi peluang berlomba dalam kebaikan, demi kebaikan dan kesejahteraan bersama. Peluang dan potensi Ramadhan harus dimanfaatkan bersama, sehingga selain mendapatkan kenikmatan rohani, umat Islam juga mendapatkan kenikmatan ekonomi.

Tak ada salahnya politik pasar digunakan, asal saja itu dalam rangka kebaikan bersama. Kebaikan bersama inilah yang mengantarkan umat Islam menuju kebahagiaan, baik di dunia maupun akhirat nanti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar