Sabtu, 28 Juli 2012

Rawan Pangan Negeri Pangan


Rawan Pangan Negeri Pangan
Jusman Dalle ; Analis Ekonomi Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute
KORAN TEMPO, 28 Juli 2012

Bergelar negeri agraris, lalu dipimpin oleh presiden bergelar doktor ekonomi pertanian, bukan jaminan Indonesia bebas dari kerawanan pangan. Kebijakan ekonomi pertanian di negeri ini belum visioner dan tidak membebaskan kita dari ketergantungan pada pangan impor. Ini semakin jelas tergambar dari kebijakan instan pemerintah yang menghapuskan bea masuk (impor) kedelai untuk mengatasi kelangkaan bahan baku pembuatan tahu dan tempe yang belakangan ini menjadi hot issue.

Tidak visioner karena Indonesia tidak mampu menyelesaikan persoalan pangan, seperti kebutuhan tahu-tempe. Padahal krisis tahu dan tempe kali ini bukanlah kejadian pertama, melainkan repetisi dari krisis serupa pada medio Januari 2008. Naiknya harga kedelai memaksa pembuat makanan favorit masyarakat Indonesia itu harus menghentikan produksi. Penyebabnya, harga pasokan kedelai naik tajam menyusul kekeringan di Negeri Abang Sam, negara pemasok utama kedelai untuk Indonesia.

Krisis kedelai merupakan alarm kerawanan pangan bagi negeri yang sebagian besar (39 persen) rakyatnya bekerja di bidang pertanian ini. Dikenal subur dengan gelaran gemah ripah loh jinawi tak lantas membuat kebutuhan perut 240 juta penduduk Indonesia dalam posisi aman. Menurut catatan pemerintah, 60-80 persen kebutuhan pangan nasional masih bergantung pada pangan impor.

Rata-rata impor sejumlah produk pangan delapan tahun terakhir, lebih dari US$ 3 miliar setahun, sedangkan ekspor hanya sekitar US$ 300 juta. Pada 2011, nilai impor beras, jagung, gandum, kedelai, gula, susu, dan daging sapi mencapai US$ 9,4 miliar, sedangkan nilai ekspornya jauh lebih kecil, hanya sekitar US$ 150 juta.

Perubahan iklim (climate change) akibat ketidakseimbangan ekosistem yang mempengaruhi pola tanam, pola konsumsi umat manusia akibat kapitalisasi yang diramu oleh artifisialisme iklan pemantik konsumerisme, lonjakan jumlah penduduk bumi mencapai 7 miliar, dan pesatnya pertumbuhan penduduk Indonesia, merupakan empat variabel mendasar yang menyebabkan ancaman kerawanan pangan di masa depan dan harus mulai diantisipasi saat ini.

Negara-negara produsen pangan yang diharapkan menjadi penyuplai untuk kebutuhan impor, tidak lagi dengan mudah mengekspor pangan mereka sebagai langkah mitigasi stok pangan di dalam negeri masing-masing, seperti kebijakan pemerintah Thailand dan Vietnam yang pernah menyetop ekspor beras pada 2011. 

Badan Pangan Dunia (FAO) telah memberikan standardisasi stok beras minimal 20 persen atas kebutuhan setiap negara sebagai batas aman. Indonesia dua dekade terakhir mengalami seret produk beras dan jenis pangan lain. Stok beras bahkan belum bisa mencapai standar stok nasional 10 persen.

Kebijakan Integral

Untuk mengatasi persoalan pangan, diperlukan kebijakan integral dari hulu ke hilir. Pertama, revitalisasi peran Perum Bulog sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Kekuatan Bulog yang dipreteli oleh Dana Moneter Internasional (IMF) melalui letter of intent (LoI) yang hanya berwenang menjaga stabilitas harga dan stok beras, harus dikembalikan agar bisa meng-cover seluruh kebutuhan pangan nasional, seperti kedelai, jagung, gula, daging dan telur.

Kedua, menjaga ketersediaan kebutuhan pangan 240 juta penduduk Indonesia bukanlah persoalan mudah di tengah liberalisasi pasar. Ketersediaan stok lokal tidak menjamin pangan terjangkau jika pemerintah tak berani membatasi keran impor yang kerap kali merusak harga pangan lokal. 

Dua sisi harus dilihat secara seimbang antara produsen (petani) dan konsumen. Harga terjangkau bukan berarti membeli pangan petani dengan harga murah. Mekanisme subsidi yang selama ini diperuntukkan bagi petani bisa dialihkan ke subsidi pangan bagi konsumen, dengan asumsi harga beli pangan petani lokal mampu mengangkat tingkat kesejahteraan mereka. Kebijakan ini harus pula diikuti oleh monitoring untuk mencegah permainan harga di pasar.

Ketiga, sinergi di antara lembaga terkait. Adalah paradoks kebijakan jika Kementerian Pertanian sibuk menggalakkan kedaulatan pangan nasional melalui berbagai program revitalisasi pertanian, sementara produk impor yang lebih murah dan berkualitas menderas masuk. Oleh karena itu, harus ada sinergi di antara berbagai komponen. Hasrat impor harus dibatasi. Kementerian Perdagangan harus berperan.

Keempat, prioritas pembangunan pada sektor pertanian. Majunya ekonomi Indonesia dengan berbagai parameter bukan berarti meninggalkan pertanian yang identik dengan negara berkembang atau bahkan terbelakang. Faktanya, semakin maju suatu negara, maka makin tinggi kebutuhan pangan. 

Hingga saat ini, eksportir terbesar produk pertanian adalah negara yang sudah mencapai kemajuan tinggi di bidang teknologi, industri, dan jasa, seperti Eropa, Jepang, dan Amerika Utara. Mengutip dari Investor Daily, pada 2025 diprediksi separuh produk pangan dunia masih dipasok negara maju, yang jumlah penduduknya hanya kurang dari 20 persen penduduk dunia. 

Negara maju tetap memprioritaskan pembangunan sektor pertanian, meski sumbangan terhadap PDB tak lebih dari 5 persen. Di Indonesia, kontribusi sektor pertanian terhadap PDB terbilang besar, 15,3 persen. Namun pertanian adalah sektor buncit dibanding sektor lainnya. 

Anggaran Rp 17,8 triliun untuk sektor pertanian belum bisa dioptimalkan melalui program ketahanan pangan jangka panjang. Anggaran besar tersebut mestinya digunakan untuk penyuluhan (mengedukasi) petani agar mengelola lahan dengan manajemen modern, sehingga lebih produktif dan berdaya saing terhadap produk pangan impor. 

Rendahnya mutu pertanian kita karena pengelolaan lahan secara konvensional. Sebabnya, memang rata-rata tingkat pendidikan petani belum memadai. Lembaga pendidikan yang berbasis pertanian harus pula proaktif mengedukasi, melakukan riset untuk pemanfaatan teknologi pertanian. 

Kelima, pemerintah harus tegas melindungi lahan pertanian yang sering menjadi korban konversi menjadi lahan komersial. Seluas 100 ribu hektare lahan pertanian kita hilang setiap tahun. Tingkat kesuburannya pun mencemaskan, 75 persen merupakan lahan kritis. BPS mencatat, kepemilikan lahan petani rata-rata hanya 0,2 hektare.

Program revitalisasi sektor pertanian yang pernah dijanjikan sejak 2005 masih sebatas lip service. Infrastruktur irigasi rusak parah, jalanan di desa-desa basis pertanian pun belum memadai. Rencana pemerintah untuk membagikan tanah seluas 9,25 juta hektare juga baru sebatas “angin surga”. 

Jika tak serius mengatasi masalah pertanian dengan solusi komprehensif, jangan-jangan betul jika pemerintah memang bermental tempe, hanya mengandalkan pangan impor dan rela kedaulatan pangan terinjak-injak layaknya proses pembuatan tempe secara konvensional. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar