Sabtu, 28 Juli 2012

Spiritualisasi Lapar


Spiritualisasi Lapar
Bandung Mawardi ; Pengelola Jagat Abjad Solo
JAWA POS, 28 Juli 2012

Peradaban turut terbentuk oleh lapar. Kondisi lapar menjadi argumentasi sah bagi manusia untuk merumuskan hidup. Hasrat memenuhi kebutuhan perut dan merampungkan lapar adalah kodrat. Ritus lapar pun menjadi basis peradaban. Manusia mengartikan diri, Tuhan, dan alam melalui lapar.

Lapar sebagai asal mula peradaban telah mengantarkan manusia pada pencapaian-pencapaian menakjubkan melalui sains dan teknologi. Lapar juga masih menjadi tragedi di negeri-negeri miskin. Kelaparan memupuskan pengharapan atas eksistensi dan pengharapan bisa memudar. Lapar menjelma wabah kematian. Lapar bisa jadi dalil paket globalisasi dengan mengabaikan etika dan agama. Lapar seperti roman sejuta jilid. Kita tak bakal rampung membaca dan menafsirkan. Lapar adalah tema tak pernah usai.

Karl Marx dan Friedrich Engels memberikan ingatan tentang lapar dengan The Communist Manifesto (1848). Kitab itu menggemparkan dan mengubah dunia. The Communist Manifesto ditulis saat kemiskinan melanda Eropa. Jutaan orang mengalami kelaparan. Nestapa Eropa adalah lapar berkepanjangan (1844-1847).

Gagasan-gagasan radikal ala Marx dan Engels bertumbuh oleh tragedi kelaparan. Catatan sejarah memiliki sebutan Hungry Forties untuk mengenang kelaparan di Eropa dan agenda revolusi. Eropa pun bergerak ke abad XX dengan pelbagai perubahan fundamental demi penebusan derita kelaparan. Schiller pun menulis: ''Rasa lapar itu menggerakkan peradaban.''

Knut Hamsun mengolah hasrat lapar. Hasrat itu menjadi roh penulisan novel monumental: Sult (Lapar). Hamsun dengan obsesionis memandang lapar sebagai argumentasi sah untuk pencapaian diri sebagai pengarang (pemikir). Lapar tak bisa dijadikan tanda kematian. Hamsun justru merasakan gairah eksistensial dari lapar melalui agenda menulis dan berpikir. Landasan etis masih jadi patokan meski tokoh dalam novel Lapar juga jatuh dalam kesalahan dan tindakan: mendustai etika humanistis.

Tokoh ciptaan Hamsun hadir dalam kemiskinan dan merasai lapar akut. Lapar dalam novel tersebut eksplisit mengandung arti kebutuhan biologis dan hasrat estetika-filosofis. Tokoh Hamsun memang lapar karena tak sanggup mengonsumsi roti, tapi gairah menggerakkan nalar-imajinasi. Lapar perut diselesaikan dengan menggadaikan barang: berpamrih agar tak lekas menjadi pengemis. Harga diri adalah acuan untuk merampungi lapar.

Derita itu merupakan representasi kelaparan manusia di belahan dunia miskin. Tokoh Hamsun sengaja ditampilkan melalui militan­si menulis. Tindakan melawan lapar dengan menulis menandakan adanya misi peradaban dari individu ke ranah publik. Hasrat lapar memberikan provokasi konstruktif dalam pembuatan skema pemikiran dan artikulasi dalam bahasa sastrawi-filosofis. Novel Sult                            kentara mengajarkan satir dari getir kehidupan tanpa harus melupakan nilai-nilai etis.

Landasan etika melawan lapar juga diajarkan Leo Tolstoy. Lapar mungkin merupakan referensi ideologi pemberontakan dan penghancuran saat tak ada tatanan norma untuk kesadaran kolektif terhadap kodrat hidup. Tolstoy sadar bahwa lapar menjelma menjadi pertanyaan darurat dan harus menemukan jawaban dalam bentuk pangan. Lapar tak cukup mendapat jawaban kata, tangisan, doa, atau ejekan. Tolstoy memahami lapar dalam pendisiplinan diri sebagai moralis di Rusia. Moralitas Tolstoy memang ketat, tapi diorientasikan demi penyadaran nilai-nilai kemanusiaan.

Tolstoy mengungkapkan pandangan terhadap lapar dan makanan dalam kutub moralis: ''Makan berlebihan adalah kejahatan.'' Kritik diarahkan pada kaum borjuis ketika melakukan konsumsi tanpa rem di atas kelaparan kaum proletar. Lapar mesti diselesaikan secara logis dan etis. Peradaban makan kaum borjuis telah menjatuhkan kaum miskin pada lakon lapar tanpa penyelamatan. Tolstoy pun mengingatkan risiko memuja makanan di atas derita kelaparan: ''Tuhan memberikan makanan kepada manusia dan setan membawa para koki.'' Tindakan melawan lapar dalam ambang batas tipis keimanan dan kejahatan.

Ritus lapar dalam dunia Hamsun dan Tolstoy itu kontras dengan selebrasi lapar dalam puisi Arthur Rimbaud. Pujangga Prancis tersebut justru ''memuliakan'' lapar dengan hasrat atas dunia. Lapar adalah kondisi menginginkan pertaruhan tubuh dan harga diri. Lapar seperti gairah tak biasa dalam mengafirmasi lakon hidup.

Rimbaud dalam puisi Pesta Lapar mengungkapkan: Jika aku lapar/hanyalah/ Lapar bumi dan lapar batu/Ding! Ding! Ding! Santapan kita angin,/Batu dan arang, besi.//Hai lapar, balik kau. Lapar, makanlah/rumput padang suara!/ Hiruplah racun pesta gila/dari daun semak! Puisi tersebut mengajarkan bahwa lapar bukan petaka, tapi alasan melakukan perbuatan heroik dan optimistis. 

Spiritualitas 

Ikhtiar meladeni lapar dalam ritus agama dan kearifan kultural dilabeli sebagai puasa. Puasa adalah ritus memaknai lapar dan implikasi diri secara internal-eksternal. Pemaknaan puasa melibatkan rasionalitas, spiritualitas, dan etika. Ritus lapar dilakoni dengan kesadaran terhadap dalil agama atau kultural. Lapar termaknai untuk menjadi manusia dalam gairah hidup. Lapar justru tidak berarti gairah kematian, tapi keimanan atas kodrat hidup melalui mekanisme lahir dan batin.

Puasa memiliki peran sebagai penentu peradaban. Tradisi agama Yahudi, Kristen, dan Islam kentara menjadi bukti perjalanan peradaban melalui spiritualisasi lapar. Jalaluddin Rumi mengungkapkan: ''Puasa adalah dasar pertama pengobatan. Berpuasalah dan ingatlah akan kekuatan rohani.'' Tafsir pengobatan dalam ungkapan itu dapat diartikan sebagai ikhtiar mengobati kerakusan, nafsu, dan hedonisme. Puasa menjadi laku untuk mengolah rohani. Kekuatan itu menjadi bab penting dalam menggerakkan roda iman dan kesalehan sosial.

Lapar mengandung selebrasi kritik dalam memeriksa ulang makna iman, kemanusiaan, serta moralitas. Rumi mengajarkan bahwa puasa menjadi tindakan melawan lapar dalam kesadaran spiritualitas. Puasa adalah spirit suci. Lapar pun mungkin menjadi tanda seru saat manusia lengah atas ejawantah iman. Rumi mengingatkan: ''Mulut lapar membalut mata terhadap dunia lain. Tutuplah mulut itu dengan jelas.''

Lapar merupakan tanda peradaban dan bentuk ibadah atas nama keimanan. Lapar mengajarkan manusia agar bergairah memaknai hidup. Ritus lapar memang mengandung kontradiksi. Lapar itu menggerakkan dan mematikan. Lapar sebagai spirit untuk hidup masih memberikan legitimasi pada proses eksistensial dan penyadaran sosial. Lapar sebagai aib dari keserakahan kapitalisme global tentu menghancurkan dan menafikan nilai-nilai kemanusiaan. Begitu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar