Selasa, 28 Agustus 2012

Gaji, Negara Lembek, dan Demoralisasi Profesi


Gaji, Negara Lembek, dan Demoralisasi Profesi
Sunardi ;  Doktor Ilmu Hukum PPS Unibraw, Lulusan Lemhannas,
Penulis buku ‘Supremasi Mafioso dan Kejahatan Terorisme’
MEDIA INDONESIA, 28 Agustus 2012


APA kalau gaji hakim dinaikkan, otomatis perangai hakim akan menjadi baik? Dengan kenaikan gaji, misalnya sampai 2-4 kali lipat, apa hakim-hakim dan calon-calon hakim di Indonesia tidak akan terjerumus atau menjerumuskan diri dalam praktik suap atau korupsi? Siapa yang berani memberikan garansi bahwa kenaikan gaji dapat membuat hakim selalu menempuh karier di jalan yang lurus? Apakah kenaikan gaji yang direncanakan hendak diberlakukan pemerintah untuk hakim akan membuatnya mampu jadi pendekonstruksi demoralisasi profesi?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut banyak menghinggapi hati nurani masyarakat. Masyarakat merasa miopik, janganjangan kebijakan menaikkan gaji yang dilakukan pemerintah hanya akan berujung sia-sia atau jangan-jangan kenaikan gaji nantinya sekadar digunakan sebagai ‘pupuk bawang’ oleh para hakim yang terbiasa mendapatkan imbalan besar dari praktik mafia peradilan yang dilakukan.

Logis jika masyarakat mengidap kegalauan menyikapi rencana (pasti) kenaikan gaji yang dilakukan pemerintah untuk para pemutus perkara (hakim). Dari waktu ke waktu, tanda-tanda membaiknya perangai hakim masih jauh dari harapan. Yang mencuat ke permukaan masihlah perangai buruk atau demoralisasi profesi. Hakim masih belum layak dikatakan sebagai pemutus atau sang pilar utama penegak timbangan hukum (keadilan). Keadilan masih jadi ‘barang’ yang dipermainkan dan martabatnya direndahkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sukses membidik hakim nakal. Yang terjaring bukan sembarang hakim, melainkan hakim pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor). KPK menangkap dua hakim tipikor di Semarang bertepatan dengan peringatan ke-67 HUT Kemerdekaan RI pada Jumat (17/8). Satu hakim Pengadilan Tipikor Semarang, Kartini Marpaung, dan satu lagi hakim Pengadilan Tipikor Pontianak, Kalimantan Barat, Heru Kusbandono. Kedua hakim itu langsung dibawa ke Jakarta dan ditahan di KPK. 

Sungguh mengherankan di tengah lensa KPK demikian tajam membidik penegak hukum, ada hakim masih mendagangkan perkara. Kedua hakim itu diduga bermain dalam perkara korupsi Ketua DPRD Grobogan, Jateng, M Yaeni. Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung Djoko Sarwoko menduga ada hakim merangkap broker alias makelar perkara (Media Indonesia, 25 Agustus 2012).

Kasus hakim tipikor yang tertangkap basah KPK itu tentu saja hanya sampel kecil dari gunung es mafia peradilan secara umum dengan aktor sang hakim, sebab kasus di luar hakim tipikor ditengarai masih marak. Hakim tipikor itu sedang apes atau mengalami kecelakaan, sedangkan sejumlah hakim nakal lainnya sedang ‘selamat’ atau belum menemui nahas.

Fokus kritisisme memang seharusnya tidak semata diarahkan pada hakim tipikor. Kalau hanya hakim tipikor yang diawasi secara serius dan perilakunya disadap, penyakit kronis lain di jagat peradilan, khususnya di ranah komunitas hakim, akan terabaikan. Mereka (para hakim nakal di luar pengadilan tipikor) bisa mengawetkan atau melestarikan demoralisasi profesi.

Bukan rahasia lagi, para pencari keadilan, khususnya orang-orang yang bermasalah secara hukum, merupakan objek empuk bagi hakimhakim nakal. Mereka memang bermasalah dalam kasus konvensional atau di luar kejahatan kerah putih, seperti pencurian, perampasan, penipuan, penggelapan, dan lainnya yang secara ekonomi tidak dalam kategori merugikan keuangan negara. Namun, bagi hakim yang kehilangan nurani dan mengidap kematian etik profetis, mereka yang ber masalah secara yuridis bisa ditempatkan sebagai ‘sekoci-sekoci’ uang dan target empuk memperkaya diri.

Kalau hakim tipikor yang gajinya sudah tergolong istimewa bila dibandingkan dengan yang lainnya saja masih tergiur menjadi broker atau di balik layar ikut bertualang mencari dan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, apalagi hakim-hakim dalam perkara nonkonvensional, yang selama ini (sebelum adanya hakim ad hoc) tak sedikit di antara mereka yang tertuduh jadi bagian dari sindikat peradilan.

Apalah artinya kenaikan gaji yang tidak seberapa dari negara jika dibandingkan dengan ‘pendapatan’ yang diperolehnya saat menangani kasus, yang kasus itu diaturnya sedemikian rupa dengan jaksa penuntut umum, keluarga, atau peng acara? Apalah artinya gaji yang diberikan negara kalau dalam satu bulan, para hakim nakal bisa memperdagangkan profesi atau memperjualbelikan sanksi hukuman yang akan dijatuhkan.

Kenaikan gaji, seperti tulisan Komaruddin (2011), memang dapat memacu kinerja dan tanggung jawab pengabdi profesi hukum. Akan tetapi di tengah belantara sepak terjang aparat yang jago dan jawara dalam berkhianat atau tidak malu lagi dalam memperjualbelikan peran suci, gaji berapa pun tidak akan ada artinya. Mereka sudah terbiasa menerima upeti, suap, atau pemberian yang nilainya sangat besar sehingga ‘perangsang’ moral dalam bentuk kenaikan gaji tidaklah banyak memberikan dampak positif dalam mengubah perilaku mereka.

Pemikiran tersebut tidak bermaksud menolak kenaikan gaji untuk hakim, tetapi sebagai pesan moral atau ajakan merasionalisasi kenaikan gaji supaya menjadi diskresi yang bermakna bagi kepentingan makro bangsa. Hakim sebagai penuntut dan penerima kenaikan gaji diingatkan bahwa dalam gaji yang diterima, ada amanat adiluhung yang dipercayakan kepadanya.

Opsi transparansi pada sistem rekrutmen hakim merupakan salah satu jawaban fundamental atas problem sengkarut hakim nakal. Bila berkaca pada sejumlah negara yang jagat penegakan hukumnya lebih baik daripada Indonesia, itu secara umum terletak pada sistem rekrutmen hakim yang berlapis-lapis, yang selain profesionalitas, juga sangat transparan terhadap publik.

Di negara-negara itu, salah satu wujud transparansi publik ialah masyarakat diberi akses informasi dan kesempatan untuk memberikan penilaian terhadap sejumlah kandidat hakim. Jika ada sejumlah informasi dari elemen masyarakat tentang rekam jejak yang ‘kurang sahih’, tim pansel (panitia seleksi) bisa merekrut ulang, melacak ke sejumlah perguruan tinggi yang mempunyai lulusan terbaik, dan mencoret para kandidat sebelumnya.

Pola rekrutmen hakim di Indonesia, yang oleh publik dinilai masih mengandalkan ‘manajemen eksklusif’ seperti kentalnya tuduhan bahwa polanya masih serbaditentukan besaran jumlah uang dan hubungan kekerabatan (patronase), ialah pola rekrutmen yang cacat moral dan jelas berdampak pada wajah peradilan.

Wajah penegakan hukum tidak akan bopeng sana-sini kalau sumber daya manusia yang diandalkan untuk jadi penegak tidak bermental lembek. Dunia peradilan bukan menjadi dunia para pencari keadilan, melainkan jagat para oportunis yang berpenyakit kapitalistis dan hedonistis. Mereka menggunakan jagat yuridis sebagai tameng membenarkan dan memperluas jaringan kriminalisasi (demoralisasi) profesi.

Survei yang pernah dilakukan Gunnar Myrdal pada sejumlah negara di Asia yang terkenal ‘lembek’, salah satunya, berhubungan dengan kondisi masih kuatnya jaringan struktural yang berpenyakitan seperti penyakit demoralisasi, indisipliner, atau tidak kukuh dalam menjaga manajemen kekuasaan yang menghormati hak publik. Para abdi negara hanya sibuk mencari dan memburu keuntungan di balik sistem yang mereka terapkan.

Di negara lembek seperti itu, berbagai sektor strategis seperti sektor yudisial (peradilan) akhir nya dipenuhi manusiamanusia yang tidak suka bekerja dengan sungguh-sungguh, suka mempermainkan tanggung jawab, senang menghindar dari peran dan tugas yang diregulasikan, atau mencari dan menciptakan celah-celah yang bisa dimanfaatkan untuk menuai kentungan jabatan dan uang sebanyak-banyaknya.

Komisi Yudisial dan MA (Mahkamah Agung), melalui pilar-pilar berintegritas, bisa membentuk sistem rekrutmen hakim yang rasional, manusiawi, objektif, dan transparan. Sistem rekrutmen itu diharapkan bisa menjadi jembatan mewujudkan regenerasi hakim yang bermental koruptif atau oportunis-kapitalistis menuju hadirnya sosok hakim yang cerdas baik intelektualitas maupun moralitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar