Senin, 27 Agustus 2012

Harapan Baru dari UU Dikti


Harapan Baru dari UU Dikti
M Hadi Shubhan ;  Sekretaris Universitas Airlangga dan Doktor Ilmu Hukum
JAWA POS, 27 Agustus 2012


PENGELOLA perguruan tinggi (PT) akan memasuki era baru dengan telah diundangkannya UU Nomor 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Dikti) pada 10 Agustus 2012. Alas hukum ini memberikan harapan baru, terutama tentang jaminan aksesabilitas masyarakat kurang mampu dalam mengenyam pendidikan di PT serta jaminan otonomi keilmuan PT dengan memberikan status dalam bentuk PT negeri badan hukum (PTN BH).

UU Dikti ini bukan "reinkarnasi" dari UU BHP (UU No 9 Tahun 2009) yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh MK. Tapi, UU Dikti merupakan pengaturan yang mengarah pada pemberian kesempatan yang luas bagi si kurang mampu yang berkualifikasi kemampuan akademik yang sesuai standar sebagai mahasiswa PT. Selain itu, UU ini memberikan kepastian mengenai jaminan kemandirian kampus dalam mengekspresikan kebebasan akademiknya, dan mengelola kampus yang bebas dari intervensi dan kooptasi penguasa.

Dana "BOS" PT 

Isu pendidikan tinggi yang paling seksi dalam beberapa tahun terakhir ini adalah mahalnya biaya kuliah, baik di PTN maupun PTS. Akibatnya, akses masuk bagi calon mahasiswa miskin menjadi sempit. 

Isu mahalnya biaya ini ada benarnya, tapi ada pula salahnya. Benarnya, karena memang secara faktual terdapat beberapa PTN dan PTS yang memasang tarif mahal untuk fakultas tertentu (antara lain FK, FKG, dan FTI). Biaya operasional minimal di fakultas tersebut memang cukup mahal. Sedangkan tidak benarnya, masih terdapat PTN yang menetapkan biaya murah, bahkan ada PT BHMN di Jawa Timur ini yang masih sangat terjangkau.

Bagi PTN yang menyelenggarakan FK, FKG, atau FTI, mahalnya biaya operasional pendidikan karena subsidi negara kecil, sehingga biaya yang ditarik dari masyarakat menjadi mahal. Jadi, mahalnya biaya pendidikan FK di PTN bukan karena statusnya yang BHMN. Secara faktual PTN yang non-BHMN justru jauh lebih mahal daripada yang di PT BHMN. (Tentang ini, saya menulis Tentang Otonomi PT, Jawa Pos, 11 Juli 2012).

Isu mahalnya biaya ini dicarikan solusi dalam UU Dikti. Menurut UU itu, salah satu prinsip penyelenggaraan pendidikan tinggi adalah keberpihakan pada kelompok masyarakat kurang mampu secara ekonomi (pasal 6 huruf i). PTN diwajibkan mencari dan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi untuk diterima paling sedikit 20 persen dari seluruh mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua program studi (pasal 74). Pemerintah, pemda, dan/atau PT berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studi dengan cara memberikan: beasiswa, bantuan atau membebaskan biaya pendidikan, dan/atau pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan (pasal 76).

Lebih tegas lagi, terdapat payung hukum bagi pemerintah untuk memberikan biaya operasional, khususnya bagi PTN. Biaya operasional ini dimaksudkan sebagai subsidi dari negara kepada PTN, sebagaimana yang sudah dilakukan di pendidikan dasar dan menengah dalam bentuk biaya operasional sekolah (BOS). Dengan adanya "BOS-PT" ini PTN akan dibatasi dalam menarik biaya dari masyarakat, karena sebagian besar akan ditanggung negara.

Jika UU Dikti konsisten dilaksanakan, baik oleh pemerintah dalam bentuk pengucuran "BOS-PT" maupun oleh PTN dalam bentuk penetapan biaya pendidikan yang murah ditarik dari masyarakat, era pendidikan tinggi yang murah tapi berkualitas bukan merupakan utopia lagi. Dengan demikian, UU Dikti patut didukung dan dijaga/dikawal dari gangguan pihak-pihak yang mencoba melakukan judicial review untuk kepentingan komersial pribadi dan kelompoknya, atau kepentingan karena ada sponsor finansial dari pihak ketiga.

Otonomi PTN-BH 

Isu lain yang tidak kalah seksi adalah otonomi PT. Kebebasan akademik dan kebebasan mengelola PT ini lazimnya disebut otonomi PT. UU Dikti memberikan otonomi luas, baik terhadap PTN maupun PTS dengan batas-batas tertentu. 

Wujud kebebasan akademik, khususnya bagi para guru besar (profesor), adalah dinaikkannya usia pensiun menjadi 70 tahun dari 65 tahun. Diharapkan produktivitas para guru besar dalam rangka mencerdaskan bangsa akan meningkat dan lebih lama karena telah dijamin kesejahteraannya oleh negara sampai usia tersebut.

Otonomi yang lebih luas diberikan UU Dikti terhadap PTN yang berstatus badan hukum (PTN-BH). PTN-BH ini dicikalbakali oleh PT BHMN yang sekarang ada. Nanti PTN lain yang sudah siap menjadi PTN BH dapat mengajukan diri untuk ditetapkan sebagai PTN BH setelah dievaluasi Mendikbud. 

Cermin otonomi PT yang diberikan terhadap PTN-BH, antara lain, tata kelola dan pengambilan keputusan secara mandiri. Juga unit yang melaksanakan fungsi akuntabilitas dan transparansi, hak mengelola dana secara mandiri-transparan dan akuntabel, wewenang mengangkat dan memberhentikan sendiri dosen dan tenaga kependidikan. Tak kalah penting, wewenang membuka-menyelenggarakan dan menutup program studi.

Namun,
meskipun telah berstatus PTN-BH, aksesabilitas masyarakat kurang mampu tetap berlaku bagi PTN-BH tersebut. Jadi, tidak perlu ada kekhawatiran tentang mahalnya biaya pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar