Rabu, 29 Agustus 2012

Intoleransi – Privatisasi Keberagamaan


Intoleransi – Privatisasi Keberagamaan
Syamsul Arifin ;  Guru Besar dan Wakil Direktur Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Malang 
JAWA POS, 29 Agustus 2012


BENTROKAN berdarah komunitas Syiah Sampang dengan kelompok anti-Syiah pada Minggu, 26 Agustus 2012, kian menambah cerita sedih hubungan antarkelompok yang berbeda di Indonesia. Sebelumnya juga terjadi bentrokan antara pengikut aliran Tijaniyah pimpinan Sumarna dan masyarakat Desa Bojong Tipar, Jampang Tengah, Sukabumi. Masih ada beberapa kejadian serupa. Semua peristiwa berdarah itu juga menjadi catatan dalam pengelolaan kemajemukan serta toleransi.

Akibatnya, Mei lalu, misalnya, Indonesia mendapat sorotan tajam dari dunia internasional dalam sidang Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM PBB terkait dengan praktik intoleransi terhadap kelompok minoritas dan perlindungan kebebasan beragama. Tidak sedikit tokoh agama yang mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap pandangan pihak luar itu. Pandangan tersebut dianggap cenderung menggeneralisasi bahwa Indonesia merupakan negara yang tidak bersahabat dengan toleransi. 

Bentrokan berdarah di Sampang dan tempat lain yang terjadi sebelumnya memang tidak bisa dijadikan acuan untuk menggambarkan kondisi Indonesia secara keseluruhan. Sebab, sebagian besar wilayah di Indonesia secara tulus mempraktikkan sikap toleran antara kelompok yang berbeda, baik karena alasan perbedaan agama maupun paham keagamaan.

Tetapi, bentrokan antarkelompok, apalagi diwarnai cipratan darah dan berujung pada kematian, tetap merupakan masalah serius. Mengapa agama di Indonesia sering terpeleset pada praktik intoleransi, konflik, dan kekerasan? 

Banyak kalangan yang coba menjawab pertanyaan tersebut dengan mencari-cari faktor penyebab di luar agama. Bagi mereka, agama tidak mungkin mendorong para pemeluknya untuk bertindak kekerasan kepada kelompok lain. Untuk memperkuat argumen itu, teks-teks dalam kitab suci yang mengandung ajaran toleransi dikemukakan. 

Karena faktor agama ditolak, dicarilah faktor-faktor non keagamaan sebagai penyebab konflik dan kekerasan. Ada yang menyebut aktor intelektual di balik konflik dan kekerasan tanpa memberikan petunjuk yang konkret siapa sebenarnya yang disebut aktor intelektual tersebut. Ada juga yang menoleh pada teori konspirasi, yakni adanya persekongkolan pihak luar. Konflik dan kekerasan dengan demikian dipandang sebagai suatu peristiwa yang sengaja diciptakan (by design), bukan peristiwa alamiah bentrokan antarkelompok yang memang memiliki perbedaan fundamental. 

Variabel Agama dalam Konflik 

Tulisan ini ingin berpandangan sebaliknya. Dalam setiap konflik yang melibatkan dua kelompok agama dan paham keagamaan, variabel agama selalu hadir di dalamnya. Variabel itu adalah dialektika antara agama sebagai doktrin dan agama sebagai suatu konstruksi, yakni agama sebagaimana dipahami para pemeluknya. Antara doktrin dan pemahaman terhadap doktrin sulit dipisahkan. Kendati agama bersumber dari realitas absolut yang tunggal (Tuhan), toh dalam realitas sejarah dan sosial, agama telah hadir dalam beragam bentuk seperti yang terlihat dalam banyaknya (nama) agama dan paham keagamaan. 

Semua perbedaan tersebut bisa terwujud karena disebabkan adanya cara pandang yang berbeda terhadap doktrin. Yang menjadi permasalahan, masing-masing kelompok agama dan paham keagamaan tersebut memiliki klaim kebenaran (truth claim). Klaim kebenaran melekat kuat pada semua agama dan paham keagamaan. Tidak terbayangkan apa jadinya suatu kelompok agama dan paham keagamaan jika tidak ada topangan klaim kebenaran. Agama dan paham keagamaan tersebut akan dengan cepat kehilangan pengikut. 

Tapi, yang juga sering menimbulkan kepelikan dalam hubungan antaragama dan antarpaham keagamaan, klaim kebenaran tersebut sering menimbulkan sikap saling menegasikan. Konflik dan bahkan kekerasan yang berdarah-darah sering berawal dari klaim kebenaran tersebut. Pada kasus di Sampang, selain konflik keluarga, klaim kebenaran memberikan kontribusi terjadinya ketegangan (tension). Ketegangan berlanjut pada terjadinya konflik antara dua kelompok yang sejatinya masih bisa dicarikan titik temu, yaitu Syiah dan Sunni/Aswaja.

Jika klaim kebenaran menjadi suatu yang niscaya, yang perlu dicarikan jawaban secara bijak adalah bagaimana menempatkan klaim kebenaran dalam konteks masyarakat yang plural secara agama. Dengan kata lain, bagaimana mengelola klaim kebenaran yang dimiliki suatu kelompok, sedangkan pada saat bersamaan terdapat klaim kebenaran oleh kelompok lain. Jangan sampai terjadi kelompok lain yang berbeda berupaya dinegasikan karena bertahan pada suatu klaim kebenaran.

Hidup berbeda secara agama merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi dan tidak bisa dicabut dalam keadaan apa pun (non-derogable rights). Salah satu jalan keluar yang perlu dipertimbangkan agar klaim kebenaran tidak menimbulkan korban dari pihak lain yang berbeda adalah melakukan privatisasi keyakinan agama. Dengan konsep tersebut, keyakinan terhadap agama dan paham keagamaan diposisikan sebagai properti unik yang dimiliki tiap-tiap pemeluk agama dan paham keagamaan.

Karena berada pada wilayah private (pribadi/individual), biarlah masing-masing individu mempertanggungjawabkan semua pilihannya itu terhadap Tuhan. Dengan demikian, pihak lain yang berbeda tidak boleh melakukan intervensi mencabut hak tiap-tiap individu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar