Minggu, 26 Agustus 2012

Islam Altruis


Islam Altruis
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi UI,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Persada Indonesia 
SINDO, 26 Agustus 2012


Lebaran sudah seminggu. Di Jawa Tengah semasa saya kecil, hari ketujuh Lebaran disebut Lebaran Ketupat. Para ibu saling bertukar ketupat beserta lauk pauknya sebagai ungkapan rasa bersyukur sudah melewati puasa sunah enam hari di bulan Syawal. 

Selama seminggu itu, judulnya cuma silaturahmi saja. Seingat saya ketika itu tidak ada ribut-ribut mengenai Lebaran kembar, apalagi kelenteng dibakar (seperti di Makassar) gara-gara umat Islam di Myanmar yang katanya dizalimi umat Buddha. Padahal kelenteng yang Konghucu tidak ada hubungannya dengan Buddha. Ketika itu (di tahun 1950-an) rumah orang tua saya ramai dikunjungi teman-temannya, termasuk yang nonpribumi. Sementara jika Imlek tiba, giliran keluarga kami berkunjung ke keluarga-keluarga teman-teman ayah saya yang China. Tentu saja anak-anak ikut semua.

Makan enak dan nonton barongsai dan liangliong. Tapi sekarang lain sekali. Praktik Islam sekarang tampaknya sudah sangat maju. Majelis-majelis taklim sekarang sudah menggeser acara mocopatan (nembang Jawa) mingguan yang lazim di masa itu. Tausiah-tausiah makin serius dan makin dalam membahas bagaimana ber-Islam yang benar, yang sesuai dengan petunjuk Alquran dan Sunnah Rasul. Maka muncullah ilmu matematika agama di khotbah-khotbah Jumat seperti malam Lailatul Qadar lebih baik dari 1.000 bulan.

Maka setiap 10 hari terakhir bulan Ramadan, banyak yang menahan kantuk untuk terus beriktikaf dan berzikir untuk menanti datangnya Lailatul Qadar, yang konon datangnya selalu di malam menjelang dini hari (saat paling ngantuk dan orang harus bersiap untuk makan sahur). Matematika lain yang juga sering didengungkan, khususnya kepada peserta haji dan umrah, adalah sabda Rasulullah, ”Salat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih utama 1.000 kali dibandingkan salat di masjid lain kecuali di Masjidilharam dan salat di Masjidilharam lebih utama 100.000 kali daripada salat di masjid lain” (HR Ahmad Ibnu Huzaimah dan Hakim).

Waktu saya dan istri beribadah haji hampir 20 tahun lalu, penyelenggara ONH+ saya waktu itu tidak menyertakan salat arbain (salat 40 kali berturut-turut tanpa putus di Masjid Nabawi) dalam programnya, karena itu berarti 8 hari extra-cost untuk tinggal di Madinah. Tapi banyak rekan kami yang mau membayar tambahan untuk bisa berarbain di kota tempat tinggal Rasulullah itu. Kata sebagian ulama (tapi bukan guru agama saya), hitung-hitungan itu perlu karena nantinya, di hari kiamat, setiap manusia akan dihisab (dihitung) dosa dan pahalanya untuk menentukan apakah dia akan masuk surga atau neraka. Luar biasa.

Di masa itu Islam jadi sangat menarik untuk masyarakat Arab yang masih hidup di zaman jahiliah. Namanya juga jahiliah, pastinya banyak orang jahil. Sementara Rasulullah menawarkan kebaikan, kedamaian, kesejahteraan duniawi, dan yang lebih penting kebahagiaan abadi surgawi. Ibarat marketing manager, Rasulullah berhasil mempromosikan Islam menjadi agama besar yang kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, sampai hari ini. Subhanallah.

Sayangnya, sisi silaturahmi akhir-akhir ini saya lihat dan saya rasakan makin ditinggalkan umat dalam mempraktikkan Islam. Pasalnya para imam dan ulama lebih mengedepankan menguber pahala untuk di akhirat kelak. Ada yang risau karena ketika salat subuh berjamaah, kebetulan imamnya membaca doa qunut, padahal dia diajari bahwa qunut itu bid’ah (jangan dicontoh karena tidak disunahkan oleh Rasulullah). Maka dia pun bingung. Akhirnya dia salat lagi sendirian. Hilanglah pahala yang seharusnya 27 kali lipat ketika ia salat berjamaah (matematika lagi).

Ada lagi yang bingung karena ada ulama yang menyuruh memilih gubernur yang seiman, padahal dia ingin memilih gubernur yang terbaik. Bukan itu saja, sesama muslim yang tidak sepaham pun dianggap tidak sesaudara sebagaimana dianjurkan Alquran (“semua umat Islam sedunia bersaudara”, Al-Hujurat: 10). Jadinya sulit sekali menjaga ukhuwah Islamiah. Jangankan lagi menentukan 1 Syawal, film kolosal tentang Khalifah Umar pun, yang konon sudah berkonsultasi dengan para ulama, setelah diproduksi tetap mengundang kontroversi.

Sebagian ulama mengharamkan karena menurut mereka ada sahabat-sahabat Nabi, di luar Nabi sendiri, yang tidak boleh diperlihatkan wajahnya dalam bentuk apa pun. Pantaslah kalau tidak ada partai Islam di Indonesia ini yang pernah memenangi pemilu karena partai-partai Islam tidak pernah mau bersatu. Bahkan ada yang mau bikin negara Islam sendiri, baik dengan cara nge-bom maupun dengan merekrut anak-anak muda untuk dijadikan sumber dana. Praktik Islam seperti ini, yang tampaknya baik, sesuai dengan tuntunan Alquran dan Hadis, jika tidak diimbangi dengan sisi sosial, sisi silaturahmi, menurut saya adalah praktik Islam yang egois.

Tujuannya hanya untuk mengumpulkan pahala untuk diri sendiri saja. Untuk masuk surga sendirian, nggak ngajak-ngajak kawan. Kalau perlu bakar kelenteng atau serbu orang yang mau beribadah secara agama lain. Larang pendirian gereja. Hancurkan patung-patung wayang di Purwakarta dan bubarkan pergelaran wayang kulit di Solo. Lepas sarung dan kopiah, ganti dengan gamis dan sorban, plus jenggot, supaya lebih Islami. Semuanya demi membela Allah yang pada saatnya kelak akan menghujani mereka dengan bertumpuk-tumpuk pahala.

Padahal sebagaimana judul salah satu buku yang ditulis Gus Dur, Allah tidak perlu dibela. Allah yang Maha Kuat, Maha Kuasa, kok mesti dibela? Yang mesti dibela itu orang miskin dan anak yatim, kata Rasulullah (HR Abu Ya’la dan Thobroni, Shohih At Targhib, Al- Albaniy: 2543). Yang mesti disenangkan itu tetanggamu, kerabatmu, keluargamu. Anies Baswedan menggagas Proyek Indonesia Mengajar. Dia buat proposal, cari sponsor, rekrut anak-anak muda S-1, bahkan S- 2, dikirim ke daerah-daerah pelosok yang jauh, untuk mendidik anak-anak yang kurang mendapat fasilitas pendidikan.

Tidak peduli etnik dan agamanya. Dompet Dhuafa tidak pernah putus menerima sedekah dari umat Islam untuk disalurkan ke yang berhak. Mereka bekerja profesional dengan staf yang digaji baik dan semua data dicatat dengan teliti tanpa ribut-ribut, tanpa menyuruh orang berhenti makan hanya karena ingin dihargai sebagai muslim yang sedang berpuasa. Muhammadiyah membangun sekolah-sekolah dan universitas-universitas serta rumah-rumah sakit untuk melayani umat yang memerlukan. Itulah Islam. Zakat, infak, sedekah, dan wakaf, semua itu juga Islam dan jauh dari atau bahkan bertentangan dengan egoisme.

Islam itu altruis. Dulu, ketika saya masih kanak-kanak, tinggal di Tegal, sebuah kota di pantura (yang Islamnya tergolong fanatik), altruisme Islam terasa sekali. Memang di masa itu Tegal pernah bergolak. Peristiwa Tiga Daerah namanya (Tegal, Brebes, Pekalongan). Bupati digantung dan mobilnya dipakai arak-arakan oleh massa. Tapi massa pelakunya adalah preman-preman jalanan yang memanfaatkan situasi vakum tentara dan polisi ketika itu. Ada lagi gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang suka menjarah masyarakat untuk minta makanan, tetapi mereka itu memang ekstremis yang berontak kepada pemerintah.

Di luar itu, yang terasa hanya Islam yang altruis, yang tolong-menolong, penuh silaturahmi. Akankah masa seperti itu kembali lagi untuk masa sekarang? Mengapa tidak bisa? Diam-diam ada sebuah berita di koran (tidak mencolok), Gereja Katolik Kayu Tangan di Malang, Jawa Timur, meniadakan misa pagi pukul 06.00 agar halaman gereja bisa dipakai umat Islam untuk salat Id. Mengapa mereka bisa, kita tidak bisa? Bukankah manusia sendiri, bukan malaikat, bahkan bukan Allah sendiri, yang telah ditakdirkan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar