Kamis, 30 Agustus 2012

Jalan Berliku Memeriksa Koruptor


Jalan Berliku Memeriksa Koruptor
Sudjito ;  Guru Besar dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM
SINDO, 30 Agustus 2012


Bareskrim Polri telah memeriksa Gubernur nonaktif Irjen Pol Djoko Susilo sebagai saksi dalam kasus pengadaan simulator ujian SIM, Jumat (24/8/12). Aktivitas ini semakin menegaskan bahwa Mabes Polri bersikukuh tentang wewenang memeriksa tersangka koruptor versi KPK itu, dan tidak perlu hirau terhadap pendapat publik yang berseberangan. Dalam pada itu, Juru Bicara KPK Johan Budi SP memastikan KPK akan memanggil Djoko Susilo dalam waktu dekat. Sikap ini menegaskan bahwa KPK berwenang memeriksa tersangka koruptor itu. Pemeriksaan (tersangka) koruptor menapaki jalan berliku. Belum ada pakar hukum atau petinggi mampu memberikan pencerahan tentang jalan (hukum) yang lurus.

Masing-masing pihak berdalih patuh dan taat pada hukum. Tulisan ini tidak hendak terlibat dalam konflik Polri versus KPK, tetapi ingin menjadikan momentum itu untuk penyadaran tentang filosofi hukum sebagai jalan kehidupan. Memang, telah menjadi rumus bernegara hukum bahwa semua warga negara dan penyelenggara negara (termasuk aparat penegak hukum), wajib taat dan patuh pada hukum yang berlaku.

Tak ada silang pendapat di antara kita mengenai hal itu. Bahwa hukum merupakan jalan menuju kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera,perlu diurai dan dipahami bersama. Mengapa? Karena kita sebagai bangsa, kini sedang dalam perjalanan menuju kehidupan yang dicitacitakan itu.Jalan yang kita tempuh tidak mulus dan lapang bagaikan jalan tol, tetapi sesekali ada persimpangan, tikungan, tanjakan, kubangan yang mengharuskan kita berhati- hati agar selamat, tidak tersesat, dan tidak terantuk jalan buntu.

Dalam konteks demikian, ketaatan dalam berhukum wajib dijaga agar perjalanan konstan dan terus-menerus (constant and continuous journey) hingga sampai ujung, yaitu terlindunginya hak-hak hukum seluruh warga negara. Pada ujung kehidupan demikian, bangsa ini akan mampu berkiprah luas bagi kemaslahatan kehidupan bersama, baik pada dimensi fisik-materiil, spiritual-religius, lokal, nasional, maupun global.

Itulah gambaran kehidupan bahagia dunia-akhirat, terbebas dari kesengsaraan dan penindasan yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Pada hemat saya, paling tidak ada tiga makna dasar yang terkandung pada filosofi hukum sebagai jalan kehidupan. Pertama, makna kebenaran. Artinya, hukum yang kita pedomani secara normatif wajib benar secara substantif, yaitu benar menurut logika sosial dan berlaku bagi semua pihak dalam bingkai nasionalisme berideologi Pancasila.

Karakter kebenaran hukum menurut Satjipto Rahardjo (2003), akan mampu menundukkan watak kekuasaan yang cenderung korup (Lord Acton) dan mengubahnya menjadi kekuasaan yang baik (amanah). Kekuasaan amanah merupakan dasar legalitas dan legitimitas wewenang yang melekat pada institusi. Apabila makna kebenaran hukum telah mampu dihadirkan, segala bentuk korupsi dan keserakahan harta dan kekuasaan akan terlibas dengan sendirinya.

“ Saudaraku, jadikanlah Polri dan KPK sebagai institusi yang amanah menegakkan kebenaran, jangan berdusta, jangan berbohong, jangan munafik, jangan menutupi kesalahan dengan kesalahan lain,” dalam kasus pengadaan simulator ujian SIM, ataupun kasus lainnya. Kedua, makna kebaikan. Artinya, hukum bukan sekadar perintah dan larangan, melainkan juga kepatutan. Ada etika.

Wewenang yang bersumber dari kekuasaan sah, wajib diabdikan untuk kepentingan bangsa, terutama pencari keadilan, rakyat yang menderita dan miskin karena hak-hak mereka atas harta kekayaan dirampas oleh koruptor. Jalankan hukum dengan kasih sayang, ambil tindakan tegas bagi siapa pun yang menghalangi hadirnya makna kebaikan. Dengan modal kebaikan, segala wewenang institusi ditata dan dikelola menjadi milik bangsa, untuk selanjutnya dituangkan dalam bentuk asas, doktrin, dan perilaku bernegara hukum kekeluargaan. Jangan remehkan suara rakyat.

Ejawantahkan kekuasaan itu untuk berlomba-lomba atau bersinergi dalam kebaikan dan berani memerangi kejahatan (korupsi). Ketiga, bermakna keadilan. Artinya, ada sikap proporsional dan bijak dalam menghadapi perbedaan. Perbedaan akan menjadi rahmat, hanya bila didukung kedewasaan berpikir dan senantiasa mengedepankan kepentingan orang lain daripada diri sendiri. Tampaknya bangsa ini belum sampai pada tingkat kedewasaan kehidupan bersama itu. Masih ada ego dan arogansi institusi.

Oleh karena itu, apabila konflik tak terhindarkan maka wajib diselesaikan seadil-adilnya. Berbuat adil merupakan kewajiban hukum setiap orang. Adil merupakan keutamaan dan pangkal dari segala kebaikan. Keadilan dalam hukum Indonesia, wajib berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keadilan ini tidak boleh direduksi dengan jenis keadilan lain,walau yang diadili teman sendiri.

“Presidenku, damaikan Polri dan KPK yang sedang terlibat konflik. Tegakkan keadilan. Jadilah penguasa yang adil demi kelancaran sidang pengadilan dan bersihnya negeri ini dari korupsi.” Sesungguhnya, filosofi hukum sebagai jalan kehidupan merupakan ibu kandung lahirnya budaya dan peradaban bangsa (the mother of culture and civilization). Apabila tiga makna hukum di atas mampu dijadikan rujukan bernegara hukum—khususnya dalam pemberantasan korupsi, maka bangsa ini akan terangkat kemuliaannya.

“Saudaraku di Polri dan KPK, jadilah insan-insan yang mampu mewujudkan Sila kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi realitas kehidupan.” Agar pemberantasan korupsi tidak terjebak pada kekuasaan yang korup, marilah senantiasa berjalan di jalan (hukum) yang lurus, waspada dan jauhi jalan (hukum) yang sesat, karena hukum yang cacat filosofi pasti mencerai beraikan kita sebagai bangsa. Wallahu a`lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar