Jumat, 31 Agustus 2012

Memperbaiki Citra DPR

Memperbaiki Citra DPR
Ali Rif’an ;  Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SUARA KARYA, 31 Agustus 2012


Usia Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menginjak 67 tahun pada 27 Agustus 2012 lalu. Sebuah umur yang relatif matang dalam konteks lembaga pemerintahan di Indonesia. Namun, tudingan miring terhadap tingkah laku anggota DPR pun tak kunjung surut.
Yang teranyar, studi banding ke Brazil yang dilakukan 13 anggota Pansus RUU Desa. Kegiatan yang belangsung hingga 1 September 2012 itu dinilai berlebihan karena menghabiskan uang negara sebesar Rp1,6 miliar. Padahal, beberapa waktu lalu, kritik tajam kembali menghampiri para anggota DPR terkait studi banding setelah reses ke beberapa negara Eropa.

Komisi I, misalnya, melakukan studi banding ke Jerman, Afsel, Ceska, dan Polandia. Alasannya, ingin mengunjungi Kedubes RI di negara-negara itu sekaligus Kementerian Pertahanan Jerman terkait informasi pabrikan tank Leopard. Sementara Komisi VIII juga melakukan kunjungan kerja ke Norwegia dan Denmark dengan alasan mencari masukan dalam penyusunan RUU.

Inilah kenyataan miris yang sedang terjadi pada wilayah elite politik kita. Satu bentuk pemandangan kontras ketika melihat kenyataan menyedihkan yang menimpa masyarakat kecil, yang terpaksa membakar diri bersama anaknya karena tidak sanggup lagi menanggung biaya hidup, sementara para anggota dewan kita menghambur-hamburkan uang ke luar negeri yang tak jelas hasilnya.

Kenapa tidak jelas? Sebab, jika mengacu pada data Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), kinerja legislasi DPR dari tahun ke tahun masih saja jauh dari target. Sebagai contoh, tahun 2005, dari target 55 UU, hanya terselesaikan 14. Tahun 2006, dari 76 UU hanya mampu menghasilkan 39. Pada tahun 2007, dari target 78 UU, hanya selesai 40. Sementara tahun 2008, dari 81, hanya selesai 61 UU. Adapun pada tahun lalu, DPR hanya menghasilkan 24 UU dari target 93.

Pada titik inilah, kunjungan DPR ke luar negeri bisa disebut sebagai praktik hedomisme belaka. Karena, nyatanya, meski menggunakan puluhan miliar uang negara, kerja anggota dewan tak kunjung membaik. Padahal, DPR merupakan lembaga penting, berwibawa dan terhormat karena salah satu fungsi pentingnya adalah menyusun undang-undang. Karena itu, jangan sampai lembaga yang memiliki kewenangan agung itu semakin buram warnanya akibat perilaku hedonis beberapa pejabat di dalamnya.

Perilaku Hedonis?

Menurut Franz Magnis-Suseno (1987: 114), hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan. Dalam pengertian lebih luas, seseorang yang telah terjangkit penyakit hedonisme ini cenderung memiliki pandangan gaya instan: melihat sesuatu perolehan harta dari hasil akhir bukan proses untuk membuat hasil akhir.

Dengan begitu, ia akan melakukan berbagai rasionalisasi atau pembenaran atas apa yang telah dilakukannya. Moral-etik dan norma-hukum dilanggar demi memuja kesenangan. Selain itu, mereka juga memiliki relativitas kenikmatan di atas rata-rata yang tinggi. Artinya, sesuatu yang bagi masyarakat umum sudah masuk ke tataran kenikmatan atau dapat disebut enak, namun baginya tidak. Sebagai contoh, bagi orang pada umumnya, memiliki kendaraan roda empat seharga ratusan juta tergolong luar biasa. 

Karena, sama-sama tidak kepanasan dan kehujanan ketika di jalan, tapi tidak bagi orang yang hedonis, harga mobil harus mencapai miliaran rupiah sebagai bentuk prestis.
Orang hedonis kerap memenuhi banyak keinginan-keinginan spontan. Sebab, benteng penahan kesenangan mereka sangat sedikit sehingga ketika orang menginginkan sesuatu harus segera dipenuhi. Tidak ada pertimbangan secara luas bagi mereka sebelum menentukan apakah keinganannya itu dipenuhi atau tidak. Jika menguntungkan secara pribadi, keputusan itu akan segera diambil.

Gaya hidup hedonisme inilah yang sekarang ini - pelan-pelan namun pasti - sedang menjangkit para anggota DPR kita. Seolah-olah, kekuasaan yang melekat pada dirinya identik dengan aneka privilese berupa fasilitas dan pelayanan. Perasaan 'naik level sosial' ketika menduduki suatu jabatan telah menjadi jerat yang membuat mereka enggan memasuki ruang kesederhanaan hidup yang secara universal bisa dirasakan dari pusaran kepedulian. Jika ini tidak segera diatasi, maka menyitir pendapat Richard Robison (1984), perkembangan politik di Indonesia akan segera dipenuhi kesenjangan antara orang kaya dan miskin.

Seorang pemimpin atau pejabat semestinya memberi keteladanan. Ing ngarsa sung tulada, begitu kata Ki Hadjar Dewantara. Pejabat dituntut mampu berempati, bersimpati, dan punya rasa sepenanggungan dengan lingkungan dan masyarakat yang harus dilayaninya. Ingat, posisi pejabat adalah melayani, bukan dilayani. Mengutip pendapat JM Kouzes dan BJ Posner dalam karya apiknya, The Leadership Challenge (2007), seorang pemimpin atau pejabat harus mampu menjadi inspirator dan sang pendobrak. Ia harus menjadi contoh yang baik, khususnya pola hidup sederhana.

Kita merindukan sosok pejabat seperti Mr Sjafruddin Prawiranegara, Pak Hoegeng, Baharuddin Lopa, ataupun Dahlan Iskan yang menyisakan sejarah langka hingga seolah menjadi mitos bahkan kerap dianggap aneh. Kenapa menjadi mitos dan eneh? Sebab, mereka menjadi minoritas di antara mayoritas pejabat lainnya yang miskin kesehajaan dan keteladanan. Karena, sebagaimana dikatakan Dennis F Thompson (2000), pejabat itu diberi hak dan tanggung jawab untuk berpendapat dan bertindak atas nama negara. Artinya, ketika kita menjumpai pejabat absen dari pengertian di atas, sebenarnya ia sudah tidak patut lagi disebut pejabat. Sebab, hal itulah yang membedakan antara pejabat dengan rakyat biasa (sipil).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar