Senin, 27 Agustus 2012

Mencari Pemimpin


Mencari Pemimpin
Jacob Sumardjo ;  Budayawan
KOMPAS, 27 Agustus 2012


Ada peribahasa dari China komunis: tidak peduli kucing itu hitam atau putih, yang penting dapat menerkam tikus.

Makna di balik kisah kucing yang pandai menerkam tikus-tikus itu masih dapat digali. Setiap kucing yang cerdas tak asal tabrak-tubruk dengan cakar tajamnya. Kucing tidak seperti manusia. Kucing justru berpegang teguh pada hukum manusia yang dahulu disebut desakala, waktu dan tempat, dan di Bali dikenal dengan desa-kala-patra. Bahwa segala sesuatu akan terselesaikan dengan sempurna bila manusia mengingat hukum kesatuan: di mana, kapan, dan bagaimana.

Kucing pemburu tikus ini tahu kapan harus bergerak ketika kedudukan tikus di mana dan sedang apa, serta bagaimana langkah tercepat menerkamnya. Kucing mematuhi hukum tua desa- kala-patra seperti kepinding yang hidup gemuk berminyak karena hanya mengisap kaki raja ketika sedang tidur, seperti disebut dalam kitab Tantri Kamandaka.

Pemimpin yang kita cari adalah kucing kaum komunis itu: tak peduli gemuk atau kurus, hitam atau putih, tetapi paham desakala. Pemimpin itu dasarnya pemikir, bukan melaksanakan apa yang ia pikirkan. Pemimpin yang berkeliaran di pasar-pasar itu kurang kerjaan. Tempatnya di belakang meja, otaknya sibuk bekerja. Adapun yang berkeliaran di mana- mana adalah anak buah sebagai pelaksana pikirannya. Kecuali dia tak percaya lagi kepada anak buah, sekali-kali boleh tinjau lapangan.

Berdasarkan hukum ruang- waktu-tindakan, jelas tak ada pemimpin yang universal. Setiap pemimpin disebut pemimpin karena jodoh dengan konteksnya, jodoh dengan yang dipimpin, jodoh dengan persoalan yang dihadapi. Seorang Ali Sadikin yang sukses memimpin Jakarta belum tentu sama sukses ketika harus jadi gubernur Papua, atau seti- dak-tidaknya perlu waktu sesuai dengan hukum desakala.

Seorang pemimpin dalam konteks kekacauan berbeda dengan pemimpin dalam konteks ketertiban. Negara miskin membutuhkan pemimpin yang berbeda dengan negara yang kaya raya.

Tidak ada pemimpin abadi kecuali dia bersikap desa-kala- patra. Pemimpin yang pandai membaca situasi dan masalahnya akan tahu kapan bertindak setepat-tepatnya. Pemimpin memerlukan ilmu timing, yakni kapan saatnya, persis seperti seniman kapan dia menggoreskan sepotong garis untuk menuntaskan lukisannya.

Pemimpin ideal untuk segala tempat dan waktu itu tidak ada. Bahwa pemimpin ideal itu harus begini atau begitu hanyalah keinginan atau impian tentang kesempurnaan abadi. Kesempurnaan desakala adalah jodohnya pemimpin dengan masalah yang dipimpinnya.
Setiap tindakan pemimpin hasil dari keputusan pemikirannya berdasarkan keinginan bersama antara yang dipimpin dan dirinya. Pemimpin yang asyik dengan keinginan sendiri adalah orang buta yang menuntun rombongan yang juga buta. Pemimpin yang melek membaca kehendak konteksnya.

Tak Ada yang Sempurna

Seperti desa-kala-patra, maka ada yang disebut niat-ilmu-laku dalam ajaran nenek moyang. Ketiganya kesatuan jaringan hubungan. Kebermaknaan tak lain adalah sistem hubungan itu. Bahwa yang bhinneka itu ika adanya. Makna ada dalam ika itu, bagaimana tindakan itu dikaitkan tempat dan waktunya, bagaimana tindakan itu dikaitkan dengan keinginan dan pikiran.

Untuk manusia yang fana seperti manusia ini, sesuatu bermakna kalau ada hukum sebab akibat dari keinginan manusia, pikiran manusia dan tindakannya. Seseorang memutuskan sesuatu berdasarkan maksud tertentu atau keinginan tertentu, dan ia akan berbuat berdasarkan keputusannya itu.

Namun, di Indonesia masih percaya adanya manusia sempurna itu. Manusia sempurna tak perlu memikirkan hukum desakala untuk mengubah sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Kalau Anda manusia sempurna itu, Anda mampu menyembuhkan segala macam penyakit hanya dengan segelas air putih yang sama. Apa yang Anda inginkan langsung terjadi, semacam sulap gaib. Anda tinggal menginginkan sesuatu ada, yang Anda inginkan langsung ada.

Itu sebabnya pemimpin yang dicari sekarang ini adalah semacam Satrio Piningit, pemimpin yang masih tersimpan entah di mana. Pemimpin semacam ini adalah manusia sempurna yang mampu mengubah kesengsaraan hidup kita sekarang jadi adil dan makmur.

Caranya? Ya, namanya juga manusia sempurna atau manusia pilihan, bagaimana caranya hanya dia yang tahu. Kita tinggal menikmati hasilnya.

Cara berpikir tentang manusia sempurna ini samar-samar, masih sering diungkapkan para cerdik pandai kita dengan menyodorkan sekian butir syarat pemimpin yang baik. Kalau ada orang yang ternyata memenuhi semua syarat kualitas yang diakumulasi itu, ia diyakini akan mampu memecahkan segala masalah yang sulit bin rumit ini. Tak lain itulah manusia sempurna.

Kita masih ingat sekitar 45 butir syarat untuk menjadi manusia Pancasila pada masa Orde Baru. Kalau ada orang yang berhasil hidup di Indonesia berdasarkan 45 butir Pancasila itu, dia manusia sempurna. Dialah yang kita cari.

Manusia sempurna atau tidak, yang penting mampu menghabisi tikus-tikus negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar