Selasa, 28 Agustus 2012

Mencegah Kecolongan Kerusuhan


Mencegah Kecolongan Kerusuhan
Akh Muzakki ;  Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya,
Doktor dari Universitas Queensland, Australia
JAWA POS, 28 Agustus 2012


KASUS kerusuhan di Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran, Kecamatan Omben, Sampang, merupakan ironi besar di tengah publik luas sedang menikmati suasana Lebaran. Alih-alih menjadi momen untuk saling memaafkan dan melapangkan dada bagi sesama, Lebaran justru harus ternoda oleh kerusuhan sosial yang minimal telah menewaskan dua orang dan empat korban luka, rumah terbakar, serta melahirkan pengungsi (Jawa Pos, 27/8/2012).

Bagi publik, apa alasan dan motif di balik kerusuhan di atas tidak terlalu penting. Yang mereka tahu, kedamaian sosial sekarang menjadi barang langka. Persatuan seakan hanya menjadi hiasan dari bunyi sila dalam Pancasila. Mereka pun lalu mempertanyakan peran penguasa di negeri ini dalam menjamin kedamaian sosial itu.

Jika ditelisik jauh ke dalam basis kognitifnya, masyarakat justru bertanya-tanya: Mengapa kerusuhan selalu muncul? Apakah tidak mungkin potensi kerusuhan dideteksi secara lebih dini sehingga tindakan pencegahan bisa dilakukan secara maksimal?

Menurut saya, langkah pemerintah cenderung minimalis. Meskipun diperlengkapi dengan aparatur keamanan dengan sistem intelijen mapan kepolisian, kejaksaan, dan TNI, deteksi dini tidak berjalan dengan baik. Hanya imbauan dan anjuran yang dikeluarkan pasca kerusuhan. Kasus Sampang mestinya bisa lebih diwaspadai karena ketegangan di sana kelanjutan dari rentetan peristiwa.

Bukan Faktor Tunggal

Karena itu, ada dua hal utama yang harus segera dilakukan agar kerusuhan yang mengancam kedamaian sosial tidak berulang. Pertama, pemahaman aparatur pemerintah dan atau negara harus di­-upgrade bahwa tidak ada kerusuhan apa pun yang murni didorong oleh perbedaan gagasan dan keyakinan. Pasalnya, perbedaan gagasan dan keyakinan bisa merupakan potensi ancaman dan bisa pula potensi perdamaian.

Hampir tidak ada lokasi di negeri ini tanpa perbedaan gagasan dan keyakinan dimaksud. Tetapi, mengapa tidak banyak yang berujung pada kerusuhan?

Tentu, hal itu menjelaskan bahwa pengelolaan perbedaan gagasan dan keyakinan amat menentukan apakah perbedaan akan segera menjadi potensi ancaman ataukah perdamaian. Lebih dari itu, perbedaan gagasan dan keyakinan bukan faktor tunggal atas kasus kerusuhan sosial.

Logikanya, manusia tidak hidup di atas gagasan dan keyakinan saja. Mereka hidup di alam konkret. Ada kepentingan ekonomi, kekuasaan sosial atau bahkan politik, dan juga ekpresi psikologis di ruang publik. Karena itu, perilaku apa pun yang lahir dari manusia pasti memiliki persinggungan yang dekat, baik dengan basis gagasan/keyakinan (intellectual base) maupun kepentingan riil yang beragam tersebut (material base).

Karena itu, upaya pencegahan hingga penyelesaian harus dilakukan oleh pemerintah dengan melihat setiap perbedaan pada ranah intellectual base dan material base. Dalam konteks inilah, regulasi negara dalam hal penciptaan kedamaian dan ketertiban sosial yang hanya menyentuh basis intellectual base masih jauh dari praktik penyelesaian masalah secara tuntas.

Lihatlah, sebagai misal, Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 55 Tahun 2012 tentang pembinaan kegiatan keagamaan dan pengawasan aliran sesat di Jawa Timur. Pada pasal 2 dijelaskan: Dalam rangka memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama, kegiatan keagamaan harus dapat menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, dan saling menghormati di antara umat beragama. Inilah satu-satunya pasal pergub yang langsung menjelaskan tentang pola kegiatan pembinaan keagamaan oleh regulasi pemerintah lokal.

Pengaturan atas kebutuhan penciptaan kedamaian dan ketertiban sosial melalui manajemen kegiatan keagamaan oleh pergub di atas melihat perbedaan keyakinan hanya dari sisi intellectual base semata. Potensi kerawanan sosial tidak dilihat lebih utuh dengan menggabungkan antara perbedaan keyakinan dari sisi intellectual base dengan kepentingan konkret kehidupan masyarakat pada basis materialnya.

Jika proses pengelolaan perbedaan gagasan dan keyakinan di tengah-tengah masyarakat hanya dilakukan seperti di atas, perbedaan itu hanya dilihat sebagai ancaman semata. Di sisi lain, faktor lain yang lebih konkret dan material dibiarkan terlepas dari perhatian pengambil kebijakan di negeri ini. Dengan begitu, kasus kerusuhan selalu berulang karena selalu terjadi salah diagnosis atasnya.

Kedua, berangkat dari langkah pertama di atas, pemerintah atau aparatur negara perlu segera mengembangkan sistem deteksi dini atas kerawanan atau kerusuhan sosial (social early warning system). Belajar dari sistem deteksi dini tsunami, sistem deteksi dini ini sangat dibutuhkan agar setiap potensi kerusuhan bisa didiagnosis secara benar dari awal. Dengan begitu, kemungkinan kerusuhan bisa segera dibaca dengan benar, diantisipasi, dan dicegah dengan maksimal.

Deteksi Dini Kerawanan

Dalam kaitan inilah, kita berutang budi pada ilmuwan sosial C. Wright Mills. Setengah abad yang lalu dia sudah mengingatkan kita atas pentingnya sistem deteksi dini atas kerawanan atau kerusuhan sosial di atas. Dalam karya berjudul The Sociological Imagination (1959:17-20), Mills mengingatkan kita tentang empat derajat kehidupan sosial. Yakni, kesejahteraan (well-being), kegentingan (crisis), ketidakacuhan (indifference), dan kegelisahan (uneasiness).

Mills pun memberikan sejumlah indikator pengukurannya. Derajat kesejahteraan akan tercapai bila suatu masyarakat meyakini dan atau menghargai seperangkat nilai dan mereka tidak merasakan ancaman konkret terhadap seperangkat nilai itu. Masyarakat akan masuk ke dalam derajat kegentingan jika seperangkat nilai yang mereka yakini sedang mendapat ancaman.

Masyarakat akan mengalami derajat ketidakacuhan dalam hidup bila mereka tidak menyadari akan nilai yang mereka junjung dan mereka tidak merasa sama sekali adanya ancaman. Derajat kegelisahan hidup akan menimpa masyarakat bila mereka tidak sadar terhadap nilai-nilai yang mereka hargai, namun mereka masih sangat merasakan adanya ancaman.

Peringatan Mills di atas bisa kita gunakan sebagai cikal bakal lahirnya sistem deteksi dini atas kerawanan atau kerusuhan sosial dimaksud. Tujuannya, agar potensi kerawanan sosial tidak bergerak menjadi insiden kerusuhan dan kekerasan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar