Selasa, 28 Agustus 2012

RAPBN dan Ekonomi

RAPBN dan Ekonomi
Umar Juoro ;  Ekonom
REPUBLIKA, 27 Agustus 2012


Presiden SBY menyampaikan RAPBN 2013 pada 16 Agustus saat ekonomi masih tumbuh cukup tinggi, namun ekonomi Indonesia mulai merasakan dampak krisis Eropa dan stagnasi ekonomi AS dan Jepang. Dalam RAPBN 2013 tidak ada stimulus fiskal yang berarti.

Belanja modal yang diharapkan mendorong perekonomian hanya meningkat sekitar 15 persen. Sedangkan subsidi energi meningkat sebesar 35 persen. Rasio defisit terhadap PDB diturunkan menjadi 1,6 persen. Dengan pola RAPBN seperti ini diharapkan perekonomian akan tumbuh 6,8 persen.

Tidak adanya stimulus di dalam RAPBN karena pemerintah beranggapan sedang menyiapkan kebijakan di luar anggaran dalam rangka menghadapi dampak dari krisis Eropa. Dampak yang sudah kita rasakan adalah defisit neraca berjalan sebesar 3,1 persen terhadap PDB, tingkatan yang tergolong mengkhawatirkan. Pemerintah berencana terus membatasi impor terutama barang konsumsi, dan memberikan insentif pada industri yang memproduksi bahan antara untuk mengurangi ketergantungan pada impor.

Namun, langkah-langkah mengatasi dampak krisis Eropa tersebut belum tampak nyata. Dengan kemungkinan Eropa mengalami resesi pada 2012 dan kalaupun pulih akan sangat lambat, pertumbuhan 6,8 persen untuk Indonesia pada 2013 akan sulit dicapai.
Subsidi tidak ditekan karena tahun 2013 adalah menjelang pemilu sehingga berisiko politik tinggi jika harga BBM dinaikkan untuk mengurangi subsidi. Dalam realisasinya, subsidi BBM akan lebih besar daripada yang dianggarkan karena kecenderungan harga minyak dunia meningkat dengan kemungkinan di atas 100 dolar AS per barel, dan konsumsi BBM bersubsidi kemungkinan akan kembali melewati kuota sebesar 46 juta kiloliter.

Pemerintah dalam menghadapi besarnya subsidi energi ini juga melakukan usaha di luar kerangka anggaran, dengan berusaha melakukan langkah-langkah langsung membatasi konsumsi BBM bersubsidi tidak melebihi kuota, dan melakukan diversifikasi ke gas. Namun, langkah-langkah dalam diversifikasi belum tampak jelas, apalagi pasokan gas cenderung bermasalah.

Melihat pola RAPBN 2013 tampak bahwa anggaran ini lebih sebagai kewajiban formal tahunan tanpa upaya sungguh-sungguh untuk mendorong perekonomian dalam negeri dari sisi investasi pemerintah, ataupun dalam meningkatkan efisiensi anggaran dalam belanja rutin, khususnya yang menonjol adalah anggaran subsidi energi. Upaya langsung dari sisi anggaran dalam menghadapi dampak krisis Eropa juga tidak terlihat nyata.

Logika politiknya adalah biasanya menjelang pemilu pemerintah melakukan stimulasi anggaran dalam mendorong kegiatan ekonomi untuk mendapat simpati publik. Apalagi, perekonomian juga sedang menghadapi dampak krisis Eropa. Ruang stimulasi anggaran ini masih terbuka karena defisit baru 1,6 persen dari PDB. Sekalipun belakangan terjadi pelepasan obligasi negara oleh investor asing, namun minat investor terhadap SUN untuk membiayai defisit yang lebih besar untuk stimulasi masih cukup baik. Permasalahannya adalah dalam efektivitas penggunaan anggaran harus diperbaiki. RAPBN 2013 tampaknya mempunyai logika yang berbeda.

Sementara itu, dari sisi kebijakan moneter, kecenderungannya adalah pada pengetatan karena anggapan BI adanya kelebihan likuiditas di pasar. Sekalipun BI rate tidak dinaikkan, namun suku bunga FASBI, fasilitas untuk satu malam dinaikkan. Begitu pula, kebijakan apa yang disebut sebagai macroprudential, yang pada hakikatnya membatasi ruang gerak bank, terus dilakukan. Sedangkan inklusi keuangan yang memperbesar akses masyarakat pada lembaga keuangan masih jauh dari optimal.

Dengan kebijakan fiskal yang tidak stimulatif dan kebijakan macroprudential yang restriktif, susah mengharapkan perekonomian untuk ekspansi sendiri, apalagi menghadapi dampak krisis Eropa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar