Rabu, 29 Agustus 2012

Tragedi Syiah Sampang, Kesalahan Pemerintah, dan Apa Solusinya?


Tragedi Syiah Sampang, Kesalahan Pemerintah,
dan Apa Solusinya?
Mohamad Guntur Romli ;  Pengamat Masalah Sosial Keagamaan
MEDIA INDONESIA, 29 Agustus 2012


PENYERANGAN terhadap komunitas Syiah di Omben, Sampang, yang mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka serta puluhan rumah dibakar semakin menambah deretan kelam tragedi kekerasan berbasis agama di negeri ini. Ironisnya, peristiwa brutal ini terjadi satu minggu setelah Idul Fitri, sebuah momen akbar dalam Islam yang menjamin kembalinya setiap insan pada kesucian azali: kembali ke fitrah.

Pun dalam hari agung ini tradisi saling minta maaf dan memberi maaf sudah mendarah daging dalam masyarakat. Namun apa yang terjadi di Omben justru mengingkari ajaran dan tradisi luhur dalam Islam itu, bukan datang untuk saling mohon maaf dan memaafkan, melainkan melancarkan kebencian dan kekerasan.

Hal yang tragis juga, penyerangan ini dilakukan terhadap anak-anak komunitas Syiah di Sampang yang akan kembali dan melanjutkan studi mereka di pesantren. Padahal ada hadis yang masyhur di kalangan Sunni--label yang dialamatkan pada pihak penyerang--bahwa orang yang menuntut ilmu termasuk dalam mereka yang berada di jalan Allah. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Man thalaba al-’ilma fahuwa fi sabilillahi hatta yarji’a (orang yang mencari ilmu, ia berada di jalan Allah sampai ia kembali pulang).” Mencari ilmu adalah bentuk lain jihad yang damai. Jihad tidak bisa diidentikkan hanya dengan perjuangan melalui pertempuran saja. Mencari ilmu, mencari nafkah, membantu pihak lain, membangun infrastruktur dan fasilitas umum, dan bentuk-bentuk lain perjuangan yang berpihak pada kemaslahatan publik juga merupakan penegakan jihad.

Menghalang-halangi anak-anak yang akan kembali studi bisa dianggap merintangi orang yang berada di jalan Allah. Bagi yang kadar keimanannya waras, pastilah akan menganggap anak-anak yang akan kembali menuntut ilmu itulah yang sedang berjihad, bukan mereka yang gahar, menyerang, membakar rumah-rumah, dan melakukan pembunuhan.

Kini semua orang berpikir bagaimana mencari solusi untuk kasus Syiah Sampang. Namun kita tidak bisa memberikan solusi tanpa mengetahui persoalan dengan cermat dan tepat. Sebelum ini pemerintah telah menjalankan solusi versi mereka yang ternyata tidak hanya gagal total, tapi juga memperparah keadaan.

Ibaratnya, dalam menghadapi konflik di Omben, Sampang, pemerintah seperti pemadam yang tidak berani melawan sumber titik api, tapi hanya berkeliaran untuk menyingkirkan segala barang di sekeliling api agar tidak dilahap. Kalau ada kebakaran, pemerintah daerah khususnya akan melemparkan kursi, lemari, baju, dan barang-barang yang mudah terbakar untuk menjauh dari api, tapi tidak punya keberanian untuk melawan dan memadamkan sumber apinya.

Hal ini yang terjadi di Sampang. Bukannya melawan mereka yang menyebarkan kebencian, ancaman, dan kerusuhan terhadap komunitas Syiah Sampang, pemerintah dan negara malah mencoba menyingkirkan komunitas Syiah yang sebenarnya adalah korban.

Desember tahun lalu, pengikut Syiah Sampang dan pemimpinnya, Tajul Muluk, diserang dan rumah-rumah mereka dibakar. Tapi yang ditangkap justru Tajul Muluk, yang diseret ke kursi pesakitan dan dijatuhi hukuman penjara atas vonis ‘penodaan agama’. Pihak penyerang tak satu pun yang ditangkap.

Asumsi yang ada di benak pemerintah ialah, kalau pimpinan Syiah Sampang dikriminalisasi, pihak penyerang akan berhenti dan pengikut Syiah akan takut dan keluar dari komunitas itu. Namun yang terjadi sekarang, justru tindakan itu memperparah keadaan. Dengan mengkriminalkan pimpinan Syiah Sampang justru seperti membenarkan alibi pihak penyerang, bahwa tindakan mereka yang melakukan tindakan kesewenang-wenangan pada komunitas Syiah benar adanya. Vonis pengadilan seperti mendukung dan membenarkan bahwa komunitas Syiah Sampang melakukan tindakan kriminal.

Padahal konstitusi kita menjamin kebebasan dan kemerdekaan berkeyakinan yang konsekuensinya ialah penghormatan dan perlindungan yang penuh pada tiap pilihan keyakinan warga negeri ini. Pun perbedaan keyakinan tidak bisa dituding sebagai penodaan. Justru perbedaan menunjukkan kekayaan warisan di negeri ini.

Selain kriminalisasi via pengadilan, komunitas Syiah juga disudutkan dengan tekanan dan opsi paksaan: mereka harus menerima relokasi, istilah khusus untuk pengusiran.

Pemerintah persis orang-orang pandir ketika melihat kebakaran, bukan melawan dan memadamkan apinya, melainkan meratakan rumah-rumah di sekelilingnya dengan dalih agar api tidak membesar dan menjalar. Pikiran ini terlihat tepat, namun bodoh. Benar api tidak menjalar, tapi rumah-rumah sudah roboh bukan karena api, melainkan karena ulah orang-orang pandir itu sendiri.

Tidak ada alasan kuat untuk memaksakan opsi relokasi pada komunitas Syiah Sampang. Mereka lahir, tumbuh, beranak-pinak bahkan wafat di kawasan itu. Justru dengan menerima relokasi, seperti membenarkan alibi penyerangan bahwa mereka biang kerok kerusuhan selama ini.

Maka, setelah tragedi 26 Agustus sewajibnya pemerintah mengakui kesalahan mereka dalam menyikapi kasus Syiah Sampang. Kriminalisasi terhadap korban dan pemaksaan opsi relokasi justru semakin mendorong keganasan pihak penyerang. Kebencian dan kemarahan seperti kehausan di tengah laut, sekali diberi air laut, haus akan terus menagih dan menjadi-jadi. Dengan terus menekan pihak korban, dengan asumsi mengabulkan tuntutan pihak penyerang, seperti memberi air laut pada yang kehausan.

Lantas apa yang bisa dilaku kan? Pertama, solusi hukum. Pemerintah harus bergeser dari kriminalisasi korban yang selama ini diterapkan, harus pada menangkap dan menjatuhkan hukum pada pihak-pihak yang terlibat penyerangan. Jangan sampai kejadian tahun lalu terulang, yang dimasukkan ke penjara ialah orang yang dibakar rumahnya (Tajul Muluk), bukan pembakar rumah.

Pemerintah harus serius menangkap aktor lapangan, provokator (mereka yang sangat aktif menyebarkan hasutan dan permusuhan pada komunitas Syiah Sampang). Singkatnya, pemerintah harus menggulung jaringan kebencian dan kekerasan terhadap komunitas Syiah Sampang. Kalau saja polisi mampu mengendus dan membongkar jaringan terorisme yang tertutup dan bergerak di bawah tanah, hal yang amat mudah membongkar jaringan kekerasan ini di Sampang. Tangkap mereka, seret ke pengadilan, vonis dengan hukum yang berat untuk memberikan efek jera kepada yang lain.

Kedua, solusi politik. Memberikan pengakuan yang penuh dan setara pada komunitas Syiah Sampang bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang hak-haknya harus dipenuhi dan dilindungi. Sesuai konstitusi, setiap warga negara tidak bisa didiskriminasi atas perbedaan agama, suku, aliran, politik, perkumpulan dll. Seyogianya pemerintah juga menekankan berulang-ulang pada masyarakat bahwa komunitas Syiah Sampang adalah warga negara Indonesia yang sah yang tidak bisa dirampas hak-hak asasi mereka, oleh siapa pun, bahkan oleh negara.

Ketiga, solusi sosial-keagamaan. Pemerintah dan lembaga-lembaga civil society perlu berusaha keras membangun pemahaman dan sikap yang toleran terhadap masyarakat di Sampang. Pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat harus roadshow untuk mengampanyekan antikekerasan dan hidup yang damai yang senapas dengan nilai-nilai harmoni negeri ini dan ajaran luhur keislaman. Segala desas-desus, fitnah-fitnah kebencian, kecurigaan, perlu dinetralisasi. Kebencian dan kecurigaan menyebabkan kemarau yang panas dan gersang pada psikologi masyarakat Sampang saat ini. Harus ada tokoh-tokoh setempat dan dari lain kawasan yang berpengaruh yang menyebarkan butiran-butiran air yang menyejukkan.

Sebenarnya masih banyak solusi lain yang bisa diterapkan untuk menyikapi persoalan Syiah Sampang yang bertujuan jangka panjang, seperti pendidikan dengan mengajarkan nilai-nilai toleransi dan menerima perbedaan. Tapi, tiga solusi tadi--hukum, politik, dan sosial-keagamaan--kalau pemerintah serius menjalankannya bekerja sama dengan lembagalembaga nonpemerintah serta tokoh-tokoh lokal dan nasional, kita bisa optimistis konflik membara di Sampang akan bisa diselesaikan.

Apakah pemerintah bisa diandalkan? Kita tak pernah berhenti berharap dan menuntut dengan terus mengedepankan sikap kritis. Apalagi kalau kita lihat pemerintah tidak bisa belajar dari kasus-kasus konflik di masa lalu. Tragedi Sampang mengulangi sama persis tragedi penyerangan komunitas Ahmadiyah di Cikuesik pada Minggu, 6 Februari 2011. Sama juga dengan konflik yang berlarut seperti GKI Yasmin, HKBP Filadelfia, Papua, Mesuji, dan konflik-konflik agraria lainnya.

Nah, kalau ada orang yang jatuh kedua kali ke dalam lubang sama, kita sebut keledai. Bagaimana dengan pemerintah ini, yang jatuh puluhan kali pada lubang yang sama?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar