Kamis, 30 Agustus 2012

Urbanisasi Pascamudik Lebaran


Urbanisasi Pascamudik Lebaran
Ismatillah A Nu’ad ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina
MEDIA INDONESIA, 30 Agustus 2012


MESKI angka urbanisasi pasca mudik Lebaran dikatakan kian tahun kian menurun, menurut data Kemenakertrans, kekhawatiran akibat adanya urbanisasi tetap harus menjadi sorotan semua pihak. Pasalnya, urbanisasi bisa menimbulkan gejolak sosial dan ancaman pengangguran di perkotaan seperti ibu kota Jakarta. Urbanisasi pascamudik tahun ini diperkirakan mencapai satu juta jiwa masuk wilayah Jakarta.

Angka itu setara dengan seperempat penduduk Singapura. Jadi, jumlah urbanisasi ke Jakarta tiap tahunnya sama dengan seperempat penduduk Singapura yang jumlahnya sekitar empat juta jiwa. Itu jelas tidak bisa dihentikan apalagi disebut sebagai penurunan jumlah urbanisasi pascamudik.

Cara untuk memberi solusi mengantisipasi urbanisasi antara lain pemerintah daerah harus terus-menerus meningkatkan perencanaan ketenagakerjaan, investasi penciptaan lapangan kerja sementara maupun pekerjaan tetap pembangunan infrastruktur melalui padat karya, produk padat karya, dan pembangunan alternatif untuk meningkatkan kemandirian masyarakat.

Urbanisasi di sini berarti perpindahan warga desa (rural) yang hendak mengais rezeki di kota (urban). Dalam tradisi masyarakat kita, tak jarang ada sanak famili diajak ke kota untuk bersaing mencari nafkah meski tak memiliki cukup bekal keterampilan. Karena itu, urbanisasi pascamudik bisa juga disebut migrasi berantai (chain migration). Migrasi tersebut merupakan migrasi yang mengandalkan hubungan kekerabatan.

Migrasi berantai itu terjadi ketika salah satu kerabat lebih dulu ke kota, lalu pulang dan kembali ke kota membawa kerabat yang lain secara kontinu. Mereka berasal dari kelompok yang sama dan saling memanggil. Dari perspektif sosiologi, hal itu dikaitkan dengan teori peluang. Teori tersebut bermakna di mana ada peluang, di situ berbagai kemungkinan muncul termasuk tantangan-tantangannya.

Faktor lainnya, berbagai perkembangan di kota yang tak dimiliki desa membuat penduduk desa ingin merasakan hal sama. Misalnya, mereka diiming-imingi peluang kerja yang lebih bagus dan berbagai hiburan yang mengesankan. Kemudian dengan kemudahan transportasi yang memungkinkan saat ini, seorang pemudik bisa setiap saat bolak-balik dari kota menuju kampung halaman atau sebaliknya.

Namun, semua impian itu jelas memiliki dampak dan tantangan. Salah satu dampak yang dirasakan dari lonjakan penduduk kota tiap tahunnya karena mudik arus balik ialah soal besarnya angka pengangguran (jobless).

Menurut data BPS, tingkat pengangguran terbuka (TPT) sudah mencapai 7,87% di kota. Lonjakan penduduk di kota telah menimbulkan berbagai masalah. Persoalan yang sering muncul ialah banyaknya perkampungan kumuh dan perumahan liar di pinggir-pinggir kota. Ujung dari semua ledakan penduduk yaitu kerusakan lingkungan dengan segala dampaknya, seperti menurunnya kualitas permukiman dan lahan yang ditelantarkan serta hilangnya fungsi ruang terbuka.

Dampak lonjakan populasi bagi lingkungan sebenarnya tidak sederhana. Persoalannya rumit mengingat terkait dengan manusia dan lingkungan hidup. Selain itu, semakin banyak terjadi urbanisasi karena orang-orang desa yang dulunya berkecukupan pangan tapi tidak menikmati pembangunan mulai berbondong-bondong pindah ke kota. Hal itu juga berpengaruh terhadap meningkatnya angka kriminalitas.

Program-program untuk menekan laju populasi penduduk sering kali dilakukan pemerintah pusat dan daerah, seperti program keluarga berencana (KB) dan transmigrasi serta pembukaan lapangan pekerjaan seluas-luasnya di daerah.
 
Salah satu manfaat program KB yang dulu pernah digalakan pada masa rezim Orde Baru ialah menekan fenomena new baby boomers.

Jika mau flashback, KB sebenarnya telah lama diterapkan di negara-negara maju dalam rangka menekan jumlah lonjakan penduduk. Misalnya, sebelum abad ke-20, di negara-negara Barat sudah ada usaha meminimalkan angka pertumbuhan penduduk, salah satunya supaya terjadi keseimbangan jumlah penduduk di negara tersebut. Cara mereka bahkan sangat sadis, yakni melakukan abortus dan mengatur kehamilan.

Di Inggris, misalnya, upaya yang ditempuh untuk perbaikan ekonomi keluarga buruh yakni dengan mengatur kelahiran. Misalnya, menggunakan cara-cara sederhana seperti penggunaan kondom. Amerika Serikat, sebelum abad ke-20, pernah membuat program yang dikenal dengan family limitation (pembatasan jumlah keluarga) (Margaret Sanger, What Every Girl Should Know, 1912).

Sampai-sampai, Margareth Sanger (1879­1966), salah satu filsuf perempuan AS yang sejak awal memikirkan lonjakan penduduk di AS, mengkritik pemerintah AS saat itu yang melegitimasi atau membenarkan adanya aborsi. Dalam tulisannya dia mengungkapkan, “While there are cases where even the law recognizes an abortion as justifiable if recommended by a physician, I assert that the hundreds of thousands of abortions performed in America each year are a disgrace to civilization.“ (Walaupun aborsi dibenarkan secara hukum seperti halnya juga dibenarkan para ahli psikologi, bagi saya ratusan ribu aborsi yang pernah terjadi di AS setiap tahun itu merupakan aib bagi peradaban manusia).

Saat itu di AS, fenomena new baby boomers memang sangat terkenal. Lonjakan penduduk sudah semakin tak terkendali, salah satunya akibat kawin campur (interracial married) antara kulit hitam dan kulit putih dan sebagainya. Presiden AS Barack Obama, dalam kasus ini misalnya, sebenarnya representasi dari budaya new baby boomers di AS yang masih terjadi pada dekade 60-an. Meskipun pada dekade itu kawin campur antara kulit putih dan kulit hitam sangat dikecam, lonjakan penduduk dari kawin campur menjadi fenomena tersendiri dalam sejarah AS.

Semua upaya seperti KB dan transmigrasi sebenarnya akan bermuara ke peningkatan derajat kehidupan di masa mendatang. Kendati pemerintah telah berulang kali menggulirkan kebijakan untuk menekan jumlah pertumbuhan penduduk yang terus membengkak, hasilnya tetap saja belum mampu memenuhi harapan semua pihak. Padahal, bangsa ini semestinya sudah harus mulai memikirkan pentingnya kualitas pertumbuhan penduduk daripada harus mengunggulkan angka kuantitas. Akibat hanya mengunggulkan kuantitas, bangsa ini hanya menjadi bangsa kuli.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar