Jumat, 28 September 2012

Egalitarianisme Gus Dur


Egalitarianisme Gus Dur
Ali Masykur Musa ; Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
MEDIA INDONESIA, 27 September 2012


TIDAK terasa 1.000 hari sudah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) meninggalkan kita. Nusantara seharusnya berbangga hati karena dari rahimnya pernah terlahir seorang Gus Dur, salah seorang putra terbaik bangsa. Tidak terukur sumbangsih pemikiran dan keistikamahan bermujahadat dalam melakukan pelayanan cinta kasih terhadap sesama. Saking banyaknya peran Gus Dur, tidak mudah bagi kita yang orang awam untuk memahami Gus Dur. Memahami Gus Dur sama halnya dengan memahami kondisi masyarakat yang begitu kompleks. Gus Dur ialah insan multidimensi. Semua permasalahan masyarakat, mulai aspek sosial, politik, agama, budaya, hingga ke sejahteraan, tak lepas dari jangkauan Gus Dur.

Keistimewaan Gus Dur ialah pantulan dari berbagai macam kualitas yang melekat pada dirinya. Gus Dur cermin yang bening. Sebagai seorang yang istimewa, Gus Dur juga sering kali melahirkan kontroversi dan selalu menerima kritik. Kontroversi dan kritik yang tidak lepas dari kehidupan Gus Dur selalu ditanggapinya dengan santai. Setenang ketika mengucapkan, “Begitu saja kok repot.” Hal itu bisa dipahami karena Gus Dur berbuat bukan karena ingin dipuji atau takut dicaci manusia. Ia berbuat dan melakukan sesuatu karena perspektif kebenaran yang diyakininya. Ia tipe manusia autentik dan soliter. Pada diri Gus Dur tidak ada kamus jaga image. Ia tidak peduli kepada penilaian manusia sebab yang ada di hatinya ialah penilaian Tuhan dan perspektifnya yang autentik terhadap kebenaran. Jika mempelajari segala kontroversi dan ketenangan Gus Dur, ada dua hal yang bisa kita serap, yaitu sifat pemaaf dan egalitarian. Pemaaf dan egalitarian terlahir akibat pikiran Gus Dur yang selalu terbuka dan suka bersilaturahim.

Bukan Pendendam
Sifat pemaaf terlahir dari jiwanya yang menyatu kepada Tuhan. Hatinya hanya terisi Tuhan dan rahmat. Gus Dur tidak pernah membiarkan hatinya dikuasai dendam. Ia sangat mudah memaafkan kesalahan orang meskipun tidak melupakannya. Semua orang tentu sering mendengar bagaimana Gus Dur di berbagai forum secara terbuka dan berulang-ulang menyebut orang-orang yang bersekongkol menjatuhkannya dari kursi presiden. Namun, Gus Dur tidak mendendam kepada orang-orang itu. Ia memaafkan meskipun tidak melupakan. Hal itu sesuai dengan kata-kata yang selalu disampaikan Gus Dur, “Maafkan kesalahannya, tetapi jangan melupakan kesalahannya.”

Ia masih bisa bergaul tanpa canggung dengan Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, Akbar Tandjung, dan seteru-seteru politiknya yang lain. Bagi Gus Dur, letak politik di pikiran, bukan di hati. Karena itu, segenting apa pun urusan politik yang tengah mengepungnya, Gus Dur tetap nyenyak tidur dan tidak pernah kehilangan selera humor. Sekeras apa pun konflik dengan lawan politiknya, Gus Dur tidak pernah berhenti menjadi seorang humanis. Gus Dur akan membesuk jika orang itu sakit dan takziah jika orang itu meninggal. Semua orang menjadi saksi bagaimana pertarungan politik antara Gus Dur dan Pak Harto, penguasa rezim Orde Baru yang diklaim Gus Dur sebagai satu-satunya tokoh yang layak untuk menjadi lawan politiknya.

Ketika Pak Harto sakit, Gus Dur rajin menjenguk dan menanyakan kabarnya. Padahal, Gus Dur pernah menjadi objek dari serangkaian percobaan pembunuhan yang didalangi penguasa otoriter itu. Gus Dur juga menjenguk Abu Hasan ketika terbaring sakit, padahal dia tokoh yang dipasang Orde Baru untuk melawan dirinya pada Muktamar NU di Cipasung 1994. Gus Dur juga datang dan memberi sambutan pada acara pemakaman Matori Abdul Djalil, murid politik yang kemudian berseberangan dengannya.

Gus Dur orang yang memaklumi kelemahan-kelemahan orang lain. Jika seseorang salah kemudian mengakui dan meminta maaf atas kesalahannya serta menjelaskan duduk permasalahannya, Gus Dur sangat terbuka terhadap tabayyun kemudian memaklumi dan memaafkannya. Saya pernah tidak disapa Gus Dur selama kurang lebih 1,5 tahun ketika memutuskan masuk di kepengurusan DPP KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) periode 1995-1998. Saya memaklumi sikap Gus Dur karena KNPI dipahami secara luas sebagai ormas kepanjangan tangan Orde Baru. Padahal, hubungan NU dan Orde Baru tengah memburuk dan Gus Dur tampil sebagai tokoh oposisi paling terkemuka. Teman-teman seperjuangan saya yang lain mengikuti jalur Gus Dur: mendirikan LSM dan bersikap oposisional terhadap pemerintah.

Namun, saya terus berusaha meyakinkan Gus Dur bahwa keterlibatan saya di KNPI dalam rangka memperjuangkan kepentingan NU. Gus Dur perlahan menerima alasan saya meskipun memerlukan waktu yang cukup lama. Gus Dur tetap menerima saya dan memberi kesempatan untuk mendampingi beliau di Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang beliau deklarasikan bersama tokoh-tokoh NU yang lain pada 1999.

Tidak Menjadi Feodal
Tentang egalitarianisme Gus Dur, semua orang tidak bisa mengingkarinya. Sebagai seorang keturunan kiai, Gus Dur tidak pernah menjadi feodal. Ia menempatkan dirinya setara dengan lawan bicaranya. Gus Dur bisa merunduk kepada orang yang lebih rendah ketimbang dirinya agar bisa duduk sama rendah. Gus Dur juga mampu tegak kepada orang yang lebih tinggi ketimbang dirinya agar bisa berdiri sama tinggi. Gus Dur mampu membuat orang seperti Bill Clinton tertawa terpingkal-pingkal dan Raja Arab Saudi yang serius tertawa hingga giginya kelihatan.

Orang Arab menemukan hari bersejarah mereka karena semua koran Arab mengabadikan gigi Raja Fahd yang baru sekali itu kelihatan aki bat kelakar Gus Dur. Sejak saat itu, Gus Dur sangat terkenal di Arab Saudi. Pada saat musim haji, para pedagang Arab sering memekikkan nama Abdurrahman Wahid ketika melihat jemaah haji Indonesia.

Khusus terhadap kader dan murid-murid politiknya, ada satu sifat Gus Dur lain yang patut dicatat. Gus Dur selalu mempromosikan kader dan tidak pelit jaringan. Dia selalu membawa dan memperkenalkan tokoh-tokoh muda kepada kolega-koleganya. Tidak sedikit kader yang naik daun karena promosi Gus Dur. Orang bisa sebut nama Said Aqil Siroj, Muhammad AS Hikam, Moh Mahfud MD, Alwi Shihab, Khofifah Indar Parawansa, Muhaimin Iskandar, Saifullah Yusuf, dan saya sendiri ialah segelintir tokoh muda yang dipromosikan Gus Dur, yang kemudian menempati posisi penting di tubuh NU dan PKB. Setelah besar, tokoh-tokoh muda itu dibiarkan independen dan dilepas dari bayang-bayang gurunya.

Gus Dur juga sangat piawai membesarkan tokoh-tokoh yang layak dipromosikan. Munculnya istilah ‘kiai khos’ merupakan bentukan Gus Dur. Media kemudian sibuk mencari siapa kiai-kiai khos yang dimaksud Gus Dur itu. Mereka lantas mendapat liputan luas media dan dikenal publik secara nasional berkat promosi Gus Dur.

Kini, jasad guru bangsa itu boleh terkubur, tetapi pemikiran dan aksi Gus Dur harus selalu tetap terpatri dalam kehidupan. Saya bersyukur bisa banyak mengambil pelajaran berpolitik dan bernegara dari Gus Dur. Ilmu darinya selalu saya bawa baik semasa di Dewan Perwakilan Rakyat RI dan sekarang di Badan Pemeriksa Keuangan RI. Pelajaran moral dan perjuangan Gus Dur yang tidak pernah lelah harus kita lanjutkan, apalagi di tengah-tengah menguatnya pragmatisme kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Setujukah Anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar