Jumat, 28 September 2012

Ide Kebangsaan Gus Dur

Ide Kebangsaan Gus Dur
Ali Masykur Musa ; Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama
REPUBLIKA, 27 September 2012


Dalam rangka memperingati seribu hari wafatnya KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah tepat jika dikaji tentang pemikirannya, terutama dalam kehidupan bernegara. Di NU, terlebih Indonesia, ada begitu banyak insan yang cerdas dan memiliki visi kepemimpinan yang bagus. Dari sederet nama pemimpin, ada nama Abdurrahman Wahid atau yang biasa kita panggil Gus Dur. Hanya, Gus Dur bukan pemimpin biasa. 

Gus Dur memiliki keunikan yang membedakannya dengan orang-orang semacam itu.
Gus Dur adalah manusia multidimensional. Gus Dur tidak hanya melahap pemikiran al-Ghazali sampai Ibn Rushd. Gus Dur juga mempunyai semangat tinggi untuk berkawan dengan pemikiran orang-orang seperti al-Kindi, Ibn Sina, Ibn Bajah, dan Ibn Thufail, hingga para filosof Yunani seperti Aristoteles dan Plato. Ia pun berkelana cukup jauh membaca karya-karya Karl Marx dan Fredrich Engels, juga Immanuel Kant dan Bonaventura.

Sudah terlampau banyak penelitian tentang Gus Dur dalam berbagai perspektif, mulai dari segi ilmiah hingga khazanah gaib. Puluhan atau bahkan ratusan buku yang mengulas rinci noktah-noktah pemikiran Gus Dur telah diterbitkan, baik tatkala Gus Dur masih hidup maupun ketika sudah meninggal dunia.

Dari berbagai pemikiran Gus Dur, ada satu yang perlu kita selalu dengungkan untuk mempertajam cinta kasih terhadap negara. Yaitu, prinsip Gus Dur yang berkaitan dengan relasi antara Islam dan kebangsaan. Dalam pandangan Gus Dur, keduanya tidak harus didudukkan di dalam posisi yang saling bertentangan.

Komitmen Humanisme
Kini, di tengah masalah kebangsaan di Indonesia yang masih menghadapi tantangan yang tidak ringan, perlu kiranya kita memahami akar pemikiran Gus Dur. Memahami akar pemikiran Gus Dur adalah bentuk antisipasi bersama untuk menyelamatkan Pancasila.

Akar pemikiran politik KH Abdurrahman Wahid sesungguhnya didasarkan pada komitmen kemanusiaan (humanism-insaniyah) dalam ajaran Islam. Dalam pandangan Gus Dur, komit men kemanusiaan itu dapat digunakan sebagai dasar untuk menyelesaikan tuntutan persoalan utama kiprah politik umat Islam dalam masyarakat modern dan pluralistik Indonesia.

Komitmen kemanusiaan itu pada intinya adalah menghargai sikap toleransi dan memiliki kepedulian yang kuat terhadap keharmonisan sosial. Menurut Gus Dur, dua elemen asasi, yaitu humanisme dan toleransi dapat menjadi dasar ideal modus keberadaan politik komunitas Islam di Indonesia.

Modus politik yang secara konsisten diperjuangkan oleh Gus Dur adalah komitmen terhadap sebuah tatanan politik nasional yang tidak sektarian dan sekaligus mengangkat universalitas kemanusiaan. Platform kehidupan umat Islam seharusnya diletakkan pada tiga prinsip persaudaraan, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah, sebagaimana prinsip NU. Karena itu, di dalam politik Gus Dur selalu menghindari formalitas Islam dalam negara.

Akar pemikiran politik Abdurrahman Wahid yang lainnya adalah penguatan civil society. Ia berpendapat, paradigma baru yang harus dikembangkan oleh umat Islam adalah mengambil titik masuk strategis, yaitu pembentukan civil society (pemberdayaan rakyat bawah). Pengembangan orientasi civil society ini sejalan dengan NU setelah kembali ke Khittah 1926.

Civil society sejalan dengan NU dikarenakan; pertama, NU tak lagi hanya membatasi diri pada upaya pemecahan masalah-masalah yang menyangkut kepentingan warga Nahdliyin, tetapi diperluas hingga menyangkut kepentingan bangsa. Kedua, NU mengakui bahwa wilayah esensi bagi sebuah civil society yang mandiri kini menjadi komitmen utama perjuangannya. Ketiga, NU pascaKhittah berniat menitikberatkan geraknya pada level masyarakat untuk memperkuat kemandirian dan kepercayaan dirinya.

Pancasila dan Islam
Kajian ini mendapat perhatian dikarenakan masih banyak pemikir Islam dan literatur Islam yang mendikotomikan negara Pancasila dan negara Islam. Ketegangan antara umat Islam dan pemerintah dapat dilihat ketika kebijakan menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi seluruh organisasi sosial politik dan sosial keagamaan.

Mulai saat itu kajian tentang Pancasila dalam perspektif Islam berlangsung sangat intens dan baru mulai reda ketika NU, yang memaknainya atas dasar-dasar pemikiran keagamaan, menerima Pan casila sebagai asas organisasi pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Dalam pandangan Gus Dur, Pancasila adalah sebuah ke sepakatan politik yang memberi peluang bagi bangsa Indonesia untuk men gembangkan kehidupan nasional yang sehat di dalam sebuah negara kesatuan.

Dalam pandangan Islam, meskipun negara Pancasila tidak secara tegas sebagai negara agama, bukan berarti tidak mem perbolehkan umat Islam men jalankan syariat agamanya. Bagi Gus Dur, agama mempunyai peranan sebagai sumber pandangan hidup bangsa dan negara. Ini adalah inti hubungan antara Islam dan Pancasila.

Namun, pada saat yang sama ideologi Pancasila menjamin kebebasan pemeluk agama untuk menjalankan ajaran agamanya. Hubungan antara keduanya dapat digambarkan sebagai agama berperan memotivasikan kegiatan individu melalui nilai-nilai luhur yang diserap oleh Pancasila dan dituangkan dalam pa ndangan hidup bangsa.

Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika Gus Dur, pada suatu hari di tahun 1992 berikrar: “Pancasila adalah serangkaian prinsip yang bersifat lestari. Ia memuat ide yang baik tentang hidup bernegara yang mutlak diperjuangkan. Saya akan mempertahankan Pancasila yang murni dengan jiwa raga saya. Terlepas dari kenyataan bahwa ia tidak jarang dikebiri atau dimanipulasi, baik oleh segelintir tentara maupun sekelompok umat Islam. Tanpa Pancasila negara RI tidak akan pernah ada.”

Wujud pemikiran itu terejawantahkan melalui keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 1983 di Situbondo, bahwa Indonesia yang berasas Pancasila itu bersifat final. Ini memang keputusan jam’iyah NU, dan bukan keputusan pribadi Gus Dur. Namun, tanpa mengecilkan peranan tokoh yang lain, patut disadari Gus Dur merupakan salah satu aktor kunci bagi lahirnya keputusan itu. Seribu hari Gus Dur berpulang, rasanya kita me merlukan sentuhan aktor sekelas Gus Dur.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar