Rabu, 26 September 2012

Kebebasan Berpendapat dan Prahara Global


Kebebasan Berpendapat dan Prahara Global
Milto Seran ;  Mahasiswa Pascasarjana STFK Ledalero
MEDIA INDONESIA, 25 September 2012


DEMI mengantisipasi demonstrasi yang mungkin terjadi atas publikasi karikatur Nabi Muhammad di tabloid mingguan Charlie Hebdo, pemerintah Prancis menutup sementara perwakilan perwakilan mereka di 20 negara (Media Indonesia, 21/9). Keputusan pemerintah Prancis yang menutup sejumlah perwakilan mereka di beberapa negara bukanlah sesuatu yang berlebihan, juga bukan kebijakan yang dibuat-buat.

Dalam sejarah, Prancis merupakan negara yang mengagung-agungkan kebebasan berpendapat, setelah revolusi negara itu pecah pada akhir abad ke-18. Prancis kemudian terkenal atas gerakan revolusionernya mengedepankan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Tiga prinsip itu lahir sebagai tanggapan sosial kritis warga negara terhadap realitas ketidakadilan di balik sistem politik Prancis yang kejam dan otoriter (monarki absolut) pada masa itu. Dalam ancien régime (rezim lama yang otoriter), kekejaman sang raja, misalnya, tampak dalam eksekusi mati dengan guillotine. Siapa saja yang berbeda penda pat dan menen tang kebijakan kerajaan, teran cam hukuman mati.

Setelah mempertimbangkan martabat kemanu siaan dan kebebasan dalam berpendapat, revolusi Prancis pecah dengan tiga tuntutan untuk menegakkan kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan. Tokoh yang bermain di balik gerakan revolusioner itu antara lain Jean-Jacques Rousseau, filsuf Prancis yang tersohor dengan ungkapan `man was born free and everywhere he is in chains'. Ungkapan kontradiktif itu tak cuma berlaku di Prancis. Ia berlaku universal. Manusia pada hakikatnya bebas dan terbelenggu di mana-mana. Jelas di sini tak ada kebebasan absolut di muka bumi ini. Sebab, secara esensial, manusia terbedakan dari makhluk hidup lainnya.

Akan tetapi, apa makna kebebasan yang tak mempertimbangkan keteduhan hidup sesama? Film dan karikatur provokatif yang menuai protes beberapa hari belakangan ini merupakan entry point yang menarik untuk membincangkan makna kebebasan berekspresi dalam konteks yang lebih luas.

Prahara Global
Sekali lagi, di dunia ini tak ada kebebasan yang seolah menggantung di langit, kebebasan mutlak. Kebebasan (manusia), karena itu, selalu mengandaikan pertimbangan akan eksistensi pihak lain. Jika kebebasan tak lagi memedulikan keberadaan sesama manusia, kebebasan yang demikian itu minus rasa tanggung jawab dan rasionalitas. Dalam hal ini, apa pun tindakan seseorang, ia selalu memiliki horison atau cakrawala makna yang amat luas. Ia mempunyai struktur temporal, partisipasi dalam suatu sejarah panjang. Tindakan itu selalu berarti partisipasi dalam suatu realitas sosial, kehidupan bersama pihak lain dalam tiga dimensi waktu.

Apalagi di generasi `tablet' ini, ketika teknologi informasi kian canggih dan dunia kita makin menyerupai sebuah kampung global, batas-batas ruang kehidupan kita pun makin abu-abu. Ruang publik sangat potensial menerobos ruang-ruang privat dan sebaliknya, ruang-ruang privat sa ling berbenturan dalam `ruang publik yang tak tertata baik' (cyber space). Niscaya bangsa manusia kian berbarengan dalam pelbagai hal. Dengan demikian, globalisasi dalam arti yang sederhana adalah internasionalisasi tindakan warga `desa global'.

Globalisasi yang demikian, jika tak dimaknai dan ditingkahi secara bertanggung jawab dan rasional, bakal membawa prahara tersendiri bagi eksistensi umat manusia. Sebab, masalah publikasi karikatur Nabi Muhammad di Prancis atau Innocence of Muslims yang diunggah warga AS di Youtube.com, misalnya, tak lagi menjadi konsumsi eksklusif warga Prancis dan AS. Keduanya dalam sekejap merambah mata dunia internasional. Dalam pemahaman ini, film dan karikatur provokatif di atas pantas diperdebatkan dari perspektif globalisasi.

Dengan mencermati aksi protes global terkait film dan karikatur tersebut, menurut hemat saya, wajah globalisasi bakal lekas melahirkan bencana besar bagi umat manusia, ketika kecerdasan (nalar, emosi, spiritual, dll) hilang dari praksis hidup kita dalam kampung global tadi. Sutradara film Innocence of Muslims barangkali tak becus ketika `kebebasan berpendapatnya' menuai protes. Namun, tindakannya yang tak lepas dari motif dan sirkumstansi tertentu bisa menyulut angkara di banyak tempat lain.

Pentingnya Tindakan Cerdas
Apa yang bisa dipetik dari realitas yang memantik protes, kekerasan, dan bahkan pembunuhan tersebut? Film Innocence of Muslims, yang disebut oleh Hillary Clinton sebagai film `menjijikkan dan tercela', justru membawa maut bagi pihak-pihak innocent semisal dubes dan tiga warga AS di Libia.

Menurut saya, terdapat dua hal yang mesti disikapi secara cerdas dari kenyataan rawan konflik lintas batas ini. Pertama, aksi protes dan penyerangan di berbagai negara itu dapat dipahami sebagai bentuk sikap reaktif yang tak cerdas dan tak dewasa. Kedogolan dan kekeliruan dalam memaknai kebebasan berpendapat, sebagaimana yang ditunjukkan pihak tabloid mingguan Charlie Hebdo dan sutradara Innocence of Muslims, tak harus direspons dengan gerakan-gerakan yang menodai dan melukai nurani publik dalam negeri dan bangsa sendiri.

Kedua, jelas sekali bahwa sutradara Innocence of Muslims serta pihak Charlie Hebdo tak bertindak atas nama negara atau atas nama agamanya. Karena itu, sebenarnya penyerangan dan tindakan anarkistis yang ditujukan kepada perwakilan-perwakilan AS atau Prancis bisa dinilai sebagai tindakan yang tak cerdas. Bukankah tindakan penyerangan dan anarkisme tersebut lebih menegaskan betapa lemahnya keberpihakan pada prinsip-prinsip luhur kemanusiaan?

Dengan demikian, kebebasan (berpendapat) yang tak bertanggung jawab memang dapat berakibat buruk bagi lebih banyak pihak. Dalam dunia kita yang tunggang-langgang ini (Anthony Giddens), tindakan bebas yang tak peduli akan rasa adil dan kenyamanan hidup pihak lain dapat menimbulkan benturan-benturan yang `mencederai' persaudaraan, nurani, dan martabat warga global; tak hanya warga suatu negara atau suatu golongan tertentu.

Karena itu, pemerintah (negara-bangsa) sebagai salah satu pelaku globalisasi semestinya lebih cerdas dan bijak dalam mengantisipasi aksi-aksi tak bertanggung jawab yang berdampak global. Demikian halnya, pemerintah dan pemuka agama di tingkat lokal semestinya lebih peka menyikapi aksi-aksi anarkistis yang merugikan bangsa dan negara sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar