Jumat, 28 September 2012

Kejenuhan Persaingan Bank di Daerah


Kejenuhan Persaingan Bank di Daerah
Pungky P Wibowo ; Deputi Direktur,
Ketua Tim Arsitektur Perbankan Indonesia, Bank Indonesia
KOMPAS, 28 September 2012


Saat ini sebagian besar kantor bank berada di Jawa-Bali. Sebanyak 120 bank umum dan 1.683 BPR di Indonesia memiliki jaringan kantor layanan yang mencapai 23.035 unit. Konsentrasi layanan kantor bank lebih dari 23.000 unit tersebut, 67 persen berada di Jawa dan Bali.

Data distribusi kantor bank tersebut menunjukkan ketidakmerataan kantor layanan bank. Akibatnya, diduga tingkat persaingan bank di beberapa daerah sudah mengalami kejenuhan.

Tingkat kejenuhan bank (bank density) dalam suatu daerah terkait dengan tingkat persaingan bank di daerah tersebut. McKinnon (1973) dan Levine (1997) menyatakan, persaingan yang sangat ketat akibat penumpukan jumlah bank di suatu wilayah dapat menimbulkan kejenuhan bank (bank saturation). Bagi daerah yang sudah berada di posisi kejenuhan bank, tentu akan memengaruhi kinerja bank di daerah tersebut.

Tingkat Keragaman
Kepadatan bank dapat dihitung dengan menggunakan perbandingan total jumlah kantor bank di suatu wilayah dengan luas wilayah. Hal ini untuk melihat kepadatan bank dari sisi spasial jangkauan pelayanan. Selain itu, kepadatan bank juga dapat dilihat dengan membandingkan jumlah kantor bank dengan jumlah penduduk. Ini untuk melihat kepadatan dari sisi jangkauan pasar pelayanannya.

Makin besar nilai bank density menunjukkan kian padat jumlah kantor bank di setiap kilometer persegi wilayah. Makin besar bank density dari sisi jangkauan pasar pelayanan, semakin banyak penduduk yang dilayani oleh bank di suatu wilayah. Kedua hal tersebut mengindikasikan tingkat persaingan yang tinggi di sektor perbankan. Tingkat persaingan yang tinggi dapat mengarah pada kejenuhan sektor perbankan di wilayah tersebut.

Dalam mengidentifikasi tingkat kejenuhan bank di tingkat provinsi dapat dianalisis dengan menggunakan dua indikator, yaitu skala ekonomi dan cakupan pelayanan finansial. Secara operasional, skala ekonomi adalah pertumbuhan. Adapun cakupan pelayanan finansial menggunakan data simpanan per kapita dan kredit per kapita. Kedua kategori data tersebut kemudian dianalisis dalam satu matriks dengan mengadopsi matriks Boston Cunsulting Group (BCG). Hasil dari analisis ini menunjukkan adanya keragaman tingkat kejenuhan bank di setiap provinsi.

Sebanyak 13 provinsi di Indonesia masih berada di area underbanked (zona 1). Ke-13 provinsi tersebut akses terhadap pelayanan jasa perbankan masih rendah, tetapi potensi pertumbuhan dan skala ekonomi yang dimiliki cukup tinggi.

Pada zona ini, Lampung merupakan provinsi yang memiliki tingkat ke-underbanked-an tertinggi dengan skor jarak 0,90000. Selanjutnya, Provinsi Jambi, Papua Barat, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, NTB, Maluku Utara, NTT, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sumatera Selatan, Maluku, dan Sumatera Barat. Ke-13 provinsi tersebut sebagian besar di wilayah Indonesia timur. Hal ini menarik diperhatikan karena daerah-daerah underbanked tersebut tingkat pertumbuhan ekonominya di atas pertumbuhan nasional. Namun, dana pihak ketiga (DPK) dan kredit per kapita di provinsi tersebut masih berada di bawah DPK dan kredit per kapita nasional.

Adapun di zona dua dan tiga merupakan zona keseimbangan. Zona dua merupakan area low equilibrium banked dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah dan akses terhadap pelayanan perbankan juga rendah. Terdapat lima provinsi di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi yang berada di area ini. Sementara zona tiga adalah medium equilibrium banked, daerah dengan pertumbuhan ekonomi tinggi dan akses terhadap pelayanan perbankan juga tinggi. Lima provinsi di Papua, Sumatera, dan Riau masuk kategori ini

Zona empat adalah area overbanked, daerah dengan pelayanan jasa perbankan tinggi tetapi memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah. Sepuluh provinsi di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi termasuk dalam zona ini.

Wilayah timur Indonesia sebagian besar memiliki akses yang rendah terhadap pelayanan jasa perbankan. Sementara Pulau Jawa dan Bali memiliki akses yang ”berlebih” terhadap pelayanan jasa perbankan.

Kebijakan moneter, khususnya terkait pengaturan dan pengawasan perbankan, perlu diperlakukan secara berbeda pada setiap provinsi, bergantung pada tingkat kejenuhan bank di wilayah tersebut. Wilayah yang underbanked perlu mendapatkan kebijakan insentif dalam ekspansi pelayanan perbankan.

Dalam usaha mengurangi tingkat ke-underbanked-an di wilayah tersebut tak hanya dilakukan ekspansi pada bank umum, juga perlu kontribusi yang besar dari perbankan berskala kecil. Perlu lebih didorong peran BPR dan BPD di daerah yang masuk kategori underbanked. Sebagai bank lokal, kedua jenis institusi tersebut lebih bisa diandalkan perannya dibandingkan bank- bank umum lainnya.

Sementara itu, wilayah yang overbanked, seperti di Jawa dan Bali, butuh mekanisme kebijakan disinsentif untuk membatasi ekspansi pasar perbankan. Jika suatu wilayah sudah berada di titik kejenuhan, tetapi masih terdapat ekspansi dan penambahan input, pada titik tertentu akan terjadi penurunan kinerja sektor perbankan mengikuti the law of diminishing returns.

Di sisi lain, daerah yang mencapai ekuilibrium, baik low equilibrium banked maupun middle equilibrium banked tidak membutuhkan intervensi oleh kebijakan perbankan. Sebab, faktor penyebab rendah atau tingginya pertumbuhan ekonomi bukan semata-mata disebabkan variabel moneter, melainkan juga fiskal dan sektor riil yang lebih membutuhkan intervensi dari pemerintah.

Perbankan yang Inklusif
Klasifikasi daerah berdasarkan tingkat kejenuhan bank menunjukkan tingkat akses layanan perbankan yang berbeda di setiap provinsi. Berdasarkan klasifikasi tersebut, terlihat adanya keterkaitan yang kuat antara struktur dan karakteristik ekonomi daerah, kesejahteraan masyarakat dan jumlah kantor bank dengan tingkat kejenuhan bank. 
Fenomena ini menunjukkan kombinasi persoalan dari sisi sektoral dengan spasial dan sisi kebijakan moneter dengan sektor riil.

Agenda utama tentu saja disparitas akses pelayanan perbankan harus diminimalkan. Semua wilayah ataupun zona di Indonesia seharusnya memiliki akses relatif sama dalam pelayanan jasa perbankan. Daerah dengan tingkat akses layanan perbankan yang rendah menyebabkan inefisiensi dalam aktivitas perekonomiannya. Biaya transaksi pada daerah tersebut tentu lebih mahal dibandingkan daerah dengan tingkat akses layanan perbankan yang lebih baik.

Tentu saja biaya tersebut menjadi beban masyarakat. Ironisnya, dengan situasi ini kelompok masyarakat yang masih termarjinalisasi dengan layanan perbankan harus membayar lebih mahal dibandingkan mereka yang sudah bankable.

Tentu hal ini menjadi agenda prioritas bagi pemerintah pusat dan daerah serta otoritas moneter dalam meningkatkan aksesibilitas yang lebih merata. Tidak bisa dilihat hanya dari satu sisi dan juga tidak bisa dilihat secara sektoral serta spasial semata. Oleh karena itu, dibutuhkan kerja sama di antara berbagai pemegang otoritas di negeri ini untuk sistem perbankan di Indonesia lebih inklusif. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar