Minggu, 30 September 2012

Membaca Tanda Zaman


Membaca Tanda Zaman
Benny Susetyo ;  Penulis adalah Anggota ‘Gerakan Indonesia Memilih’
SINAR HARAPAN, 29 September 2012


Fenomena  kemenangan  Jokowi dan Ahok dalam pemilihan kepala daerah di DKI Jakarta telah membuka kesadaran bahwa rakyat kini akan  memilih pemimpin yang mengutamakan kepentingan bersama. Pemilih akan mendukung calon yang berorientasi  politik kesejahteran dan bukan politik identitas. 

Ketika rakyat semakin rasional dalam berpolitik, dibutuhkan sebuah proses untuk menyadarkan rakyat bahwa di masa depan dibutuhkan pemimpin yang memiliki komitmen untuk menegakkan nilai–nilai konstitusi dalam menata keadaban bangsa. Bila kesadaran bangkit maka akan lahir pula optimisme publik bahwa rakyat membutuhkan stok pemimpin yang memiliki karakter kuat dan berkomitmen melayani rakyat. Gejala ini melahirkan sebuah gerakan Indonesia mencari pemimpin. 

Sejumlah tokoh intelektual bersepakat membentuk Gerakan Indonesia Memilih (GIM). Tujuannya menyadarkan masyarakat akan pentingnya arti demokrasi. Gerakan ini dilatarbelakangi keprihatinan semakin meningkatnya apatisme masyarakat terhadap pemilihan umum dengan ditunjukkan pada peningkatan angka golput di berbagai tempat. 

GIM lahir dan dilatarbelakangi upaya untuk memulihkan kepercayaan terhadap demokrasi sebagai solusi kehidupan berbangsa. Gerakan ini menyadari sepenuhnya bahwa meningkatnya apatisme memang bukan faktor tunggal yang berdiri sendiri, namun secara umum disebabkan semakin sulitnya mencari figur pemimpin yang bisa membawa perubahan lebih baik.

Dewasa ini terlalu banyak pemimpin yang lahir dari proses transaksional, dan rakyat paham hal itu. Politik transaksional diyakini tidak akan melahirkan pemimpin yang memiliki pathos terhadap rakyatnya. Rakyat Indonesia kehilangan pemimpin yang berjiwa negarawan. Itu karena yang dominan sekarang adalah pemimpin berjiwa pedagang, yang hanya pandai memasarkan dan menerima upeti, pandai memoles citra serta kepalsuan. 

Itu semua adalah buah dari perselingkuhan antara penguasa dengan pemilik modal. Khususnya di partai politik yang justru memelihara tradisi buruk dan berdampak amat buruk dalam melahirkan pemimpin negarawan.

Bangsa dan negara ini memerlukan pencerahan akal dan budi agar tidak semakin sulit mendapatkan pemimpin yang benar-benar disegani dan diterima oleh semua lapisan masyarakat. Hak memilih adalah hak yang amat mahal dan tak ternilai harganya. Kalau rakyat dibiasakan menukar hak demokratisnya itu dengan hanya beberapa lembar uang, hal itu merupakan tindakan yang amat merusak masa depan demokrasi. Karena itu, GIM mengajak masyarakat agar menggunakan hak pilihnya dengan benar untuk menentukan nasib bangsa.

Hak memilih sedikitnya mencegah negara ini dari salah urus oleh pemimpin pedagang, yang hanya ada transaksi di otaknya. Salah urus dalam pengelolaan negara telah menimbulkan krisis berkepanjangan sehingga masyarakat jadi kehilangan harapan. Solusinya adalah mencari pemimpin-pemimpin yang visioner, berkarakter, pemberani, dan mampu menentukan arah Indonesia ke depan menjadi lebih baik lagi. 

Masyarakat harus bisa memilih pemimpin yang sungguh-sungguh memiliki kemampuan berpikir yang mendalam untuk kepentingan umum, bukan kepentingan golongan saja. 

Terobosan Baru

Tentu dibutuhkan terobosan untuk melahirkan pemimpin baru yang mampu menata keadaban publik ini ke arah lebih baik. Keraguan terhadap kemampuan partai politik untuk melahirkan pemimpin, harusnya ditanggapi partai politik dengan membuat koreksi diri secara mendalam. Bagaimanapun, partai politik merupakan ciri dari eksistensi demokrasi. Itu sebabnya elite politik harus belajar dari fenomena bahwa rakyat sudah hilang kepercayaan terhadap partai. Bahkan para tokoh panutan di partai pun sudah ditinggalkan rakyat. 

Hal itu merupakan manifestasi dari kekecewaan rakyat, wujud akumulasi kekecewaan terhadap tindakan elit politik yang nyaris tidak pernah memenuhi harapan akan terciptanya tata keadilan. Keadilan selama ini hanya dimiliki mereka yang memiliki kekuatan ekonomi dan akses kekuasaan. Jumlah mereka sangat sedikit, tapi mereka inilah yang mampu mengendalikan republik ini. Tangan mereka sangat berkuasa untuk mengatur kebijakan-kebijakan yang kerap merugikan rakyat luas. 

Golongan kecil ini mengatur dan mengintervensi kebijakan negara, dan tanpa disadarinya terus-menerus memerosokkan rakyat ke dalam kubangan kemiskinan. Kaum miskin terpola sebagai kaum tak berdaya, kebijakan negara kerap membuat mereka tidak punya daya tawar. 

Kegagalan partai politik menjalankan fungsinya secara maksimal mengakibatkan citra partai politik semakin buruk di era reformasi ini. Ciri elitisme yang diperankan oleh partai politik membuat apatisme rakyat. Antipati itu bukan tanpa sebab, partai politik dinilai lebih banyak peduli kepada kepentingan kekuasaan daripada untuk memediasi kepentingan rakyat.

Kini saatnya masyarakat sipil digerakkan sebagai kekuatan untuk melahirkan regenerasi kepemimpinan yang memiliki gugus insting memengaruhi cara berpikir, bertindak, bernalar, dan berelasi demi  menegakkan nilai konstitusi. Nilai itu diaktualisasikan dalam kebijakan publik yang berorientasi pada pemekaran nilai-nilai kemanusian dan keadilan. 

Kita berharap melalui prakarsa seperti Gerakan Indonesia Memilih bisa muncul alternatif bagi rakyat untuk menemukan karakter pemimpin ideal bagi bangsa ini, sekaligus memberikan pendidikan politik masyarakat akan pentingnya hak memilih bagi demokrasi. 

Pemimpin ideal adalah mereka yang mampu memberikan harapan sekaligus merealisasikannya. Sahabat saya almarhum Franky Sahilatua hingga akhir hayatnya terus berkampanye agar mencari jalan baru untuk melahirkan pemimpin yang baru.
Semoga partai politik di Indonesia mampu membaca tanda zaman menyangkut ruh perubahan yang sekarang sedang menggerakkan batin rakyat. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar