Rabu, 26 September 2012

Pegawai Bank (Tidak) Perlu Jadi Saksi


Pegawai Bank (Tidak) Perlu Jadi Saksi
Zulkarnaen Sitompul ;  Dosen Hukum Perbankan Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia
KORAN TEMPO, 24 September 2012


Dalam beberapa kasus korupsi yang ditangani KPK, karyawan bank dihadirkan sebagai saksi untuk menjelaskan aliran dana tersangka atau terdakwa. Dalam perkara korupsi pengadaan Al-Quran, misalnya, karyawan salah satu bank swasta dipanggil KPK untuk memberikan keterangan ihwal aliran dana tersangka. Sedangkan dalam perkara suap Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah, pegawai bank malah dihadirkan sebagai saksi di sidang pengadilan. Pemberian keterangan oleh karyawan bank tersebut diberitakan di banyak media masa. Keterangan atau penjelasan yang ingin diperoleh dari karyawan bank adalah tentang transaksi keuangan dan atau aliran dana tersangka atau terdakwa. Permintaan keterangan ataupun penjelasan dari karyawan bank dalam perkara korupsi menimbulkan pertanyaan, seberapa dalam keterlibatan bank dalam membantu pemberantasan korupsi? 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dicermati peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya peraturan yang terkait dengan tindak pidana pencucian uang. UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ( UU TPPU) dengan jelas telah mengatur tentang peranan bank dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Bank diwajibkan oleh undang-undang menegakkan prinsip mengenal nasabah. Untuk menjalankan prinsip mengenal nasabah tersebut, bank melakukan customer due diligence, yaitu dengan melakukan identifikasi, verifikasi, dan pemantauan transaksi nasabah. Sebaliknya, nasabah wajib memberikan identitas dan informasi yang benar yang dibutuhkan bank sekurang-kurangnya memuat identitas diri, sumber dana, dan tujuan transaksi. Kealpaan menerapkan prinsip mengenal nasabah menyebabkan bank dapat dikenai sanksi administratif, bahkan sanksi pidana. Sedangkan, apabila calon nasabah menolak mematuhi prinsip mengenali nasabah atau bank ragu akan kebenaran informasi yang disampaikan oleh nasabah, bank wajib memutuskan hubungan usaha dengan nasabah. 

Apabila transaksi yang dilakukan nasabah menyimpang dari profil, karakteristik, ataupun kebiasaan pola transaksi nasabah yang bersangkutan atau transaksi yang dilakukan patut diduga bertujuan menghindari pelaporan, bank wajib melaporkan transaksi tersebut kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai transaksi mencurigakan. Laporan bank tersebut kemudian dianalisis oleh PPATK untuk menilai apakah transaksi yang dilaporkan tersebut mengandung unsur tindak pidana. Bila menurut PPATK dalam transaksi terdapat elemen tindak pidana, hasil analisis PPATK akan dilaporkan kepada aparat penegak hukum, yaitu penyidik tindak pidana asal, yakni Kepolisian Negara Republik Indonesia, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea-Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Laporan hasil analisis PPATK telah lengkap memuat perincian aliran dana yang dilakukan oleh pihak terlapor. Karena itu, penjelasan pihak bank tidak diperlukan lagi karena seluruh informasi yang diketahui bank terdapat dalam laporan hasil analisis PPATK. Bilamana mana masih diperlukan, KPK dapat meminta bantuan PPATK atau ahli perbankan memberikan keterangan tambahan. 

Di samping itu, perlu juga dikaji apakah karyawan bank termasuk dalam kualifikasi saksi sebagaimana ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Berdasarkan KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri. Dan, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar, ia lihat, dan alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu. Berdasarkan definisi KUHAP tersebut, menurut pemahaman penulis, karyawan bank tidak termasuk dalam kualifikasi saksi, karena mereka tidak pernah mendengar, melihat, dan alami sendiri suatu tindak pidana korupsi. Bank hanya melakukan transaksi keuangan dengan nasabahnya.

Alasan lain untuk tidak menjadikan pegawai bank sebagai saksi adalah ketentuan perlindungan pelapor yang diatur dalam UU TPPU. Undang-undang menjamin dan mewajibkan semua pihak dalam penanganan perkara TPPU untuk merahasiakan pihak pelapor. Kewajiban ini disertai sanksi pidana bagi pelanggar. Pasal 83 UU TPPU menetapkan pejabat dan pegawai PPATK, penyidik, penuntut umum, ataupun hakim wajib merahasiakan pihak pelapor dan pelapor. Pelanggaran terhadap ketentuan ini memberi hak kepada pelapor ataupun ahli warisnya untuk menuntut ganti kerugian melalui pengadilan. Selanjutnya pasal 84 menetapkan setiap orang yang melaporkan terjadinya dugaan tindak pidana pencucian uang wajib diberi perlindungan khusus oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan atau hartanya, termasuk keluarganya. 

Mengapa UU TPPU sangat melindungi kepentingan pelapor? Karena perlindungan terhadap pelopor merupakan kunci keberhasilan rezim anti-pencucian uang. Proteksi ini penting diberikan kepada bank dalam menjalankan kewajibannya sebagai garda terdepan pencegahan tindak pidana pencucian uang. Pemeriksaan karyawan bank sebagai saksi tentulah akan mengungkapkan identitas bank sebagai pelapor. Kehadiran PPATK secara konseptual adalah untuk memberi ketenteraman bagi bank dalam memainkan perannya dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. PPATK adalah unit intelijen keuangan (financial intelligent unit/FIU) yang didirikan sebagai lembaga perantara antara bank dan lembaga penegak hukum. 

Kehadiran lembaga perantara ini dimaksudkan untuk menjaga reputasi bank sebagai lembaga kepercayaan. Kepercayaan terhadap bank dapat terus terjaga karena bank tidak diwajibkan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan langsung kepada lembaga penegak hukum. Bank cukup melaporkan transaksi-transaksi tersebut kepada FIU, di mana sebagai lembaga intelijen wajib merahasiakan sumber informasinya. FIU kemudian melakukan pemeriksaan untuk memastikan laporan yang diterimanya dari bank mengandung unsur tindak pidana sebelum akhirnya memutuskan melaporkan adanya unsur tindak pidana tersebut kepada aparat penegak hukum. Dengan pengaturan seperti itu, bank tidak berinteraksi langsung dengan aparat penegak hukum. Alasan lain kehadiran FIU adalah mengurangi kemungkinan nasabah bank yang tidak berdosa harus berhadapan dengan aparat penegak hukum. Singkat kata, bank sebagai garda terdepan dalam mencegah dan memberantas pencucian uang perlu diberi perlindungan agar kepercayaan masyarakat terhadap bank tetap terjaga, dan bank tetap melaksanakan kewajiban melapornya. Tanpa laporan bank, keberadaan PPATK perlu dipertanyakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar