Jumat, 28 September 2012

Perempuan Nelayan Terpinggirkan


Perempuan Nelayan Terpinggirkan
Sri Multi Fatmawati ; Pegawai Badan Pemberdayaan Masyarakat,
Perempuan dan Keluarga Berencana Kota Semarang
SUARA KARYA, 27 September 2012


Harus diakui, pemerintah memang belum mengakui perempuan nelayan, terbukti dari kebijakan-kebijakan yang meminggirkan perempuan. Sebut saja, soal kredit, hanya nelayan laki-laki yang leluasa mengaksesnya. Meskipun Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Committee on the Elimination of Discrimination Against Women (CEDAW), puluhan tahun lalu, namun efeknya terhadap kaum perempuan, khususnya mereka yang bekerja sebagai nelayan hampir tidak terdengar.

Perempuan nelayan sebagai salah satu komponen masyarakat pesisir selama ini tidak banyak menyentuh perhatian kita, termasuk dalam berbagai program pembangunan dan pemberdayaan di wilayah pesisir. Isu-isu peran mereka pun tidak banyak terdokumentasi dalam berbagai media.

Perempuan nelayan seolah hanya menjadi bayangan dari nelayan yang dalam pikiran kita hanya kaum pria yang sebagian atau seluruh hidupnya berjuang menghadapi gelombang besar atau angin kencang untuk memperoleh hasil tangkapan ikan. Kondisi demikian telah lama kita anggap sebagai hal yang lumrah, karena dalam budaya kita perempuan dikonstruksikan secara sosial maupun budaya untuk menjadi kanca wingking yang hanya berkutat pada berbagai urusan rumah tangga.

Keterbatasan ekonomi keluarga menuntut perempuan nelayan termasuk anak-anak perempuan mereka bekerja di daerah pesisir. Perempuan-perempuan tersebut, jika dilihat dari aspek ekonomi perikanan sebenarnya menempati posisi yang sangat strategis. 

Mereka adalah pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar maupun pengolah hasil perikanan, yang sangat menentukan berjalan atau tidaknya arus hasil perikanan dan kelautan dari produsen ke konsumen.

Di beberapa wilayah pesisir bahkan perempuan melakukan penangkapan ikan seperti yang banyak ditemukan dalam kegiatan penangkapan kepiting di hutan bakau di Teluk Bintuni, Papua. Peran produktif ini, bagi wanita nelayan bahkan sering mengalahkan peran reproduktif atau domestiknya.

Pengembangan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas manusia di wilayah pesisir seharusnya memperhatikan kondisi perempuan maupun pria atau bersifat sensitif gender. Peran produktif perempuan nelayan hanya dapat dioptimalisasikan apabila faktor penghambat yang melingkupinya teridentifikasi dengan baik. Walaupun secara kuantitatif jumlah perempuan lebih banyak dari pada pria, belum banyak rencana pembangunan yang benar-benar mendasarkan pada kebutuhan kaum perempuan, padahal mereka bekerja pada dua fungsi sekaligus, reproduktif dan produktif.

Program pembangunan pesisir ke depan diharapkan dapat menyediakan pekerjaan kepada perempuan nelayan untuk memiliki peluang yang sejajar dengan pria. Optimalisasi peran perempuan nelayan dapat dicapai melalui integrasi kebijakan pembangunan dan pemberdayan ke dalam kebijakan nasional, provinsi, pemantauan maupun evaluasi pembangunan. Upaya ini tidaklah mudah dilakukan jika tidak didukung kesadaran dan kepekaan para pengambil kebjakan tentang kesetaraan dan keadilan gender yang diikuti oleh program-program yang dapat menjamin keterlibatan para perempuan.

Program penguatan peran perempuan dapat dilakukan melalui kelembagaan usaha lewat usaha yang berbasis kelompok. Melalui upaya ini para perempuan diharapkan memiliki posisi bargaining yang lebih baik terhadap pesaing umumnya kaum pria dengan modal yang lebih besar. Upaya ini juga akan mempermudah akses perempuan nelayan terhadap modal, pasar, informasi dan teknologi.

Identitas Hilang
Identitas perempuan nelayan telah dihilangkan dan dianggap tidak ada karena nelayan selalu diidentikkan dengan laki-laki yang mencari hasil-hasil kekayaan di laut lepas. Marginalisasi terhadap perempuan nelayan, bahkan dimulai sejak identitas dirinya dan pengalaman hidupnya dalam mengelola sumber-sumber kehidupan diabaikan. 

Pengelolaan sumber-sumber kehidupan di pesisir dan laut, bahkan telah menjauhkan pengalaman perempuan nelayan sebagai sebuah pengetahuan. Perempuan nelayan bisa berdaulat, jika sudah ada perubahan relasi sosial dan relasi gender yang adil.

Ketidaksetaraan gender yang ada di masyarakat, membuat perempuan nelayan sukar meningkatkan kemampuan mereka untuk berkontribusi dan mengembangkan potensinya secara maksimal. Akses terhadap informasi, pemanfaatan sumber daya alam (SDA), pendidikan, fasilitas kredit, hak untuk mengemukakan pendapat merupakan unsur-unsur yang perlu diperjuangkan guna keluar dari ketidaksetaaraan gender.

Rendahnya pendidikan serta terbatasnya akses perempuan nelayan terhadap sumber-sumber ekonomi, menyebabkan perempuan kurang cepat tanggap terhadap perkembangan teknologi dibandingkan dengan laki-laki. Di samping itu, mereka mengalami keterbatasan akses terhadap program pengembangan usaha, informasi pasar, dan manajemen. Ketidaksetaraan gender dalam masyarakat dan bertambahnya beban akibat dampak pembangunan, menjadikan perempuan sulit keluar dari keterpurukan.

Peran aktif perempuan dalam proses pembangunan mempercepat tercapainya tujuan penyejahteraan. Untuk merespon situasi hari ini, negara perlu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perempuan nelayan. Negara harus mengakui, melindungi serta memproduksi kebijakan yang berpihak kepada penegakan hak-hak perempuan nelayan. Hal ini secara praktis akan memperbaiki kehidupan sekitar 2,7 juta keluarga nelayan di seluruh Indonesia. ● 

1 komentar:

  1. Ibu Sri Multi Fatmawati, saya sependapat dengan tulisan ibu. Kebetulan saya tinggal di daerah pantai, di Lasem, Rembang, dan melihat bagaimana posisi nelayan perempuan tersisihkan. Perlu kebijakan dan pengarusutamaan gender dalam membangun dunia perikanan laut di negeri ini.

    BalasHapus