Sabtu, 29 September 2012

Selamat(kan) Jalan KPK (3)


Selamat(kan) Jalan KPK (3)
Saldi Isra ;  Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang   
SINDO, 29 September 2012


Cerita usang, basi, dan sama sekali tidak bermutu! Barangkali, itulah gambaran paling tepat untuk menjelaskan rencana Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. 

Dikatakan demikian, sejak kehadiran super-body ini, sejumlah pihak yang berkhidmat di institusi negara resah karena tidak leluasa lagi menjalankan misi merampok uang negara. Dari semua pihak yang begitu nyata kelihatan resah tersebut adalah mereka yang berkhidmat di lembaga yang katanya pemegang mandat wakil rakyat ini.

Dalam soal substansi pun nyaris tidak berubah, di antara semua kewenangan yang ada, kewenangan penuntutan selalu menjadi incaran untuk direvisi. Sebagai lembaga yang diberikan wewenang extra-ordinary dalam memberantas korupsi, sesungguhnya tidak ada yang salah dengan wewenang tersebut. Mempermasalahkan wewenang penuntutan, karena KPK juga memiliki wewenang penyidikan, menjadi sebuah keanehan.

Bagaimana, misalnya, dengan kejaksaan yang memiliki wewenang penyidikan dan sekaligus penuntutan? Dengan contoh itu, pertanyaan yang pantas diajukan: pada tempatnyakah wewenang penuntutan KPK dipersoalkan? Selain itu, merujuk perkembangan yang ada selama ini, persoalan lain yang hampir selalu digugat dan menjadi incaran sejumlah pihak di DPR adalah kewenangan penyadapan KPK.

Untuk meraih dukungan dalam mempersoalkan ini, banyak pihak di DPR mendalilkan bahwa KPK cenderung memakai wewenang penyadapan secara tidak tepat. Bahkan banyak di antara yang menolak wewenang ini mengatakan, KPK melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Padahal, tak cukup bukti akurat yang dapat membenarkan dalil bahwa KPK menggunakan kewenangan penyadapan secara tidak tepat, apalagi menggunakannya dengan cara yang serampangan.

Melacak segala macam bentuk serangan kepada KPK, mereka yang mempersoalkan kewenangan penyadapan nyaris dapat dipastikan bukan karena alasan yang hadir ke ruang publik selama ini. Alasan mendasar hadirnya penolakan, kewenangan penyadapan tersebut benar-benar membuat banyak kalangan menjadi kehilangan ruang gerak untuk melakukan segala macam bentuk kegiatan yang berpotensi merugikan keuangan negara. Banyak kasus membuktikan, mereka yang tersangkut kasus korupsi tidak berkutik karena KPK memiliki informasi yang sebagiannya sumbangan dari kewenangan penyadapan.

Serangan Beruntun 

Dalam beberapa tahun terakhir, upaya ”membunuh” KPK dilakukan dengan langkah dapat dikatakan amat sistematis. Salah satu upaya tersebut adalah konsisten membangun opini, KPK adalah lembaga ad hoc yang sewaktu-waktu dapat dibubarkan. Seperti dikemukakan dalam ”Selamat(kan) Jalan KPK (2)”, opini itu membuat KPK sulit bekerja dengan nyaman menghadang laju praktik korupsi yang kian masif.

Ibarat petinju, selama bertanding, KPK lebih fokus bertahan di pojok ring sembari memasang double cover menghadapi serangan pihak-pihak yang dirugikan (Koran SINDO, 28/11/2011). Karena itu, dalam waktu hampir sepuluh tahun kehadirannya, serangan kepada KPK kian beruntun dan seperti tidak ada matinya. Laksana digerakkan dan dirancang oleh kekuatan yang tidak bisa terpantau dengan mata telanjang, serangan mematikan terhadap KPK benar-benar bergelombang dan datang dari semua penjuru mata angin.

Serangan bergelombang tersebut tidak hanya datang dari berbagai pihak di gedung DPR, tetapi juga dilakukan oleh lembaga negara yang harusnya seayun-selangkah dengan KPK dalam memberantas korupsi. Dalam hal ini, kasus penolakan kepolisian terhadap penyidikan yang dilakukan KPK pada kasus dugaan korupsi driving simulator dapat dimaknai sebagai bentuk serangan atas lembaga extra-ordinary ini.

Ketika kasus ini terkuak ke permukaan, pada awalnya sebagian pihak memperkirakan kejadian ini potensial menghadirkan Cicak vs Buaya Jilid II. Ternyata kepolisian melakukan langkah yang lebih ”strategis” yaitu dengan cara menarik sejumlah penyidik KPK yang berasal dari polisi. Tidak terbantahkan, langkah kepolisian ini potensial memicu daya rusak luar biasa atas kinerja KPK terutama dalam fungsi penindakan. 

Bayangan banyak kalangan yang concern terhadap agenda pemberantasan korupsi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan memberikan teguran keras kepada kepolisian yang melakukan penggembosan terhadap KPK. Jangankan teguran, dengan tidak ada reaksi dari Presiden, Istana seperti merestui langkah kepolisian. Karena itu, berdasarkan bentangan data yang tersedia, kejadian ini menambah tumpukan bukti betapa tak berdayanya sang Kepala Negara ketika berhadapan dengan kepolisian.

Padahal dengan kuasa konstitusional yang dimiliki Presiden, tidak ada lagi alasan untuk tidak memberikan teguran keras kepada kepolisian. Di tengah situasi itu, serangan kepada KPK terasa semakin beruntun terutama saat Komisi III DPR menghidupkan lagi niat lama mereka memangkas sebagian wewenang KPK.

Terkait soal ini, sejak awal disadari, dari semua serangan yang ada, potensi terbesar untuk melumpuhkan KPK adalah manuver sebagian elite politik di DPR. Dinilai paling serius, DPR amat mungkin menggunakan kewenangan konstitusional yang diberikan UUD 1945 untuk ”membunuh” KPK. Cara yang digunakan, membonsai sejumlah kewenangan KPK sehingga lembaga ini kehilangan posisi extra-ordinary dalam memberantas korupsi.

Menyelamatkan KPK 

Meski secara konstitusional DPR memiliki cara untuk memangkas kewenangan KPK, secara konstitusional pula masih tersedia cara untuk menyelamatkan lembaga ini. Bagaimanapun, karena revisi undang-undang harus dilakukan melalui proses legislasi, UUD 1945 memberi wewenang yang sama bagi DPR dan Presiden berperan saat pembahasan dan persetujuan sebuah rancangan undang-undang.

Sebagaimana amanat Pasal 20 Ayat (2) UUD 1945, jika salah satu pihak tidak ikut membahas dan/atau memberikan persetujuan bersama, sebuah undang- undang tidak akan ada. Berpegang dari pengaturan itu, keinginan merevisi UU No 30/2002 hanya mungkin terjadi apabila terdapat kesamaan kehendak antara Presiden (pemerintah) dan DPR. Dalam hal salah satu pihak memilih jalan berbeda, UU No 30/2002 tidak akan direvisi. Untuk itu, publik tengah menunggu sikap tegas dari Presiden SBY berupa ”Say no to Revisi UU No 30/2002”.

Tanpa itu, sulit menghentikan laju mereka yang terganggu dengan kehadiran KPK. Bagaimanapun mereka yang terganggu dengan KPK benar-benar berupaya agar sesegera mungkin mengekspresikan ucapan ”Selamat Jalan KPK”. Namun, publik masih menyisakan sedikit asa, Presiden SBY dan pemerintah akan berada pada sisi yang berseberangan dengan mereka yang menghendaki pembonsaian dan sekaligus kematian KPK.

Tidak hanya itu, saya juga percaya masih banyak kalangan di DPR yang ingin menjaga dan menyelamatkan KPK. Untuk itu, publik tengah menunggu ekspresi terbuka dari mereka yang mendukung ”Selamatkan Jalan KPK”. Yang ditakutkan, sekiranya ekspresi itu tidak muncul, publik akan memilih caranya sendiri untuk menyelamatkan KPK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar