Kamis, 25 Oktober 2012

Dekolonisasi Haji


Dekolonisasi Haji
Asep Salahudin ; Dekan di Institut Agama Islam Latifah Mubarokiyah (IAILM) Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
KOMPAS, 25 Oktober 2012



Haji dalam praktik lembaran sejarah perjalanan bangsa ternyata bukan sekadar persoalan ritual, melainkan juga gerakan sosio-religius nasionalisme. Ia efektif menyuntikkan sentimen antikolonial.

Maka dapat dipahami seandainya salah satu tema sentral dalam diskursus kaum kolonial tentang Islam adalah wacana haji. Hal ini dapat kita baca dalam naskah-naskah yang ditulis Thomas Stamford Reffles, W Marseden. J Crawfurd, Snouck Hurgornje, dan lain sebagainya.

Pribumi yang telah menunaikan ibadah haji, terutama dari kalangan elite santri, di daerahnya masing-masing jadi pemantik tumbuhnya kesadaran akan pentingnya hidup bebas dari segala bentuk hegemoni dan kolonialisasi.

Kesadaran seperti ini muncul tentu karena kontak mereka dengan kawan-kawannya yang telah lama berdomisili di Mekkah, baik sebagai ulama maupun ”manusia pergerakan”.

Isu awal yang diembuskan memang ihwal adat istiadat yang dianggap tak sesuai otentisitas syariat dan penguatan moral spiritual. Namun, dalam perkembangan waktu, ada pergeseran tema yang cukup signifikan: sentimen terhadap kolonial, kesadaran untuk menjadi manusia otonom.

Hal itu, misalnya, terjadi dalam kasus pemberontakan Banten, seperti terungkap dalam penelitian Sartono Kartodirdjo (1966). Sebuah pemberontakan yang bukan hanya menawarkan tentang fantasi tatanan baru yang religius, melainkan juga tawaran tentang atmosfer hidup yang tidak terbelenggu kaum kolonial. Pemberontakan ini dengan heroik dipimpin oleh para haji.

Di belahan pulau lainnya, Perang Padri di Sumatera Barat (1807-1832) lagi-lagi dipimpin oleh alumnus Mekkah: Haji Miskin, Haji Sumantik, dan Haji Piobang. Tema awalnya yang semula melakukan purifikasi pada akhirnya berhadap-hadapan dengan Belanda yang terusik kepentingan dagangnya.

Juga di tanah Jawa, para kiai yang sudah berhaji dan para santri berada di belakang Perang Diponegoro (1825-1830). Konflik yang semula persoalan internal keraton (Mataram) akhirnya dengan kepiawaian retorika Pangeran Diponegoro ”diubah” menjadi konflik teologis horizontal yang berdimensi agama sehingga peperangan itu menjadi masif dan sarat emosi jihad fi sabilillah.

Keterlibatan para kiai (ulama) dan haji dengan politik praktis dapat juga dibaca dalam gerilya Hizbullah yang sebagian besar komandannya adalah para kiai dan haji. Bahkan, banyak pesantren yang menjadi markas barisan Hizbullah tersebut.

Tentu saja perang melawan komunitas santri sangat merepotkan kaum kolonial. Karena salah satu kelebihan kiai dengan pesantrennya adalah kecakapannya dalam memobilisasi massa. Kiai dalam titik tertentu adalah representasi elite di masyarakat lokal. Kiai dan haji punya karisma yang bisa mengendalikan banyak orang.

Apolitis

Hari ini, kesadaran politik (dan kebudayaan) ini yang absen dalam peristiwa haji. Haji sekadar panggung dramaturgi spiritual untuk menuntaskan seluruh hasrat pengalaman penghayatan keagamaan serba ritual.

Haji jadi sekadar laboratorium untuk menunjukkan kesalehan individual. Hampir tak memiliki korespondensi dan tautan relevansi dengan persoalan keumatan dan kebangsaan, yang sesungguhnya sedang berada dalam kondisi seperti masa kolonial: kemiskinan yang mewabah, korupsi yang menggila, kekerasan menjamur di mana-mana, ranah publik yang kehilangan adab, hukum tak memantulkan keadilan.

Haji tidak lagi jadi kekuatan gerakan moral untuk melakukan ”budaya tanding” terhadap segala praktik keagamaan, kemasyarakatan, dan kebangsaan yang menyimpang.

Malah diam-diam para haji itu menikmati segenap ”kehormatan” personal karena telah meraih gelar haji yang selalu disematkan di depan namanya dan dilafalkan penuh ketakjuban oleh masyarakat dan tetangganya. Dalam memori mereka, sejak awal telah tertanamkan fantasi tentang dahsyatnya pahala ritus haji mabrur.

Karena itu, pada gilirannya, walaupun animo haji terus meningkat, ketika haji menjadi apolitis, gerakan haji sama sekali tidak akan memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap peningkatan kualitas keumatan, apalagi bagi kebaikan hidup berbangsa.

Malah setiap tahun yang terjadi adalah kegaduhan malapraktik Kementerian Agama dalam tata kelola haji. Tragisnya, jemaah haji menganggap semua kekeliruan tata kelola itu takdir yang harus diterima.

Padahal, haji adalah ibadah dengan interaksi simbolik yang luas: kesadaran ketuhanan, kemanusiaan, dan ekologi, seperti dengan bagus dicatat Ali Syariati. ”Kabah hanyalah sebuah tonggak penunjuk jalan, penanda dari awal perjalanan, bukan akhir dari perjalanan di mana tak satu pun harus dilakukan lagi. Di sinilah Allah, Ibrahim, Muhammad, dan manusia-manusia bertemu.”

Dalam riwayat Muwaffak, tak semua orang yang naik haji mewarisi atribut mabrur karena memang haji mabrur mengasumsikan orang ”berhaji setiap hari”. Tidak hanya di Tanah Suci, tetapi juga spiritnya memantul di sini: di tanah kelahiran tempat berpijak kaki sehari-hari, menjaga diri untuk selalu terjaga dalam kesadaran Ilahi, meneladani iman inklusif Nabi Ibrahim (transendensi), sekaligus setia mencontoh Nabi Muhammad SAW sebagai manusia politik (humanisasi). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar