Jumat, 26 Oktober 2012

Kontribusi dalam Sekeping Coin


Kontribusi dalam Sekeping Coin
Rhenald Kasali ; Guru Besar Fakultas Ekonomi UI dan Pendiri ‘Rumah Perubahan’
MEDIA INDONESIA, 25 Oktober 2012
   

DEMAM Gangnam style kini sedang mendunia. Lagu dan jogetnya yang unit membuat semua orang tak malu-malu mendendangkan ataupun mengikuti gerakannya. Tak terkecuali Chairman Google Eric Scmidt pun ikut bergoyang ala Gangnam style yang dipopulerkan rapper Korea Selatan (Korsel) PSY itu.

Lagu Gangnam Style bahkan menjadi paling populer di laman daring Youtube dengan jumlah like mencapai 2,6 juta sehingga memecahkan rekor baru.
Kepopuleran lagu yang menyindir kalangan kelas atas yang tinggal di Gangnam, Korsel, itu seolah melengkapi demam artis-artis Korea atau biasa dikenal dengan Kpop tersebut. Budaya-budaya Korea kini secara perlahan mulai merasuk ke budaya budaya negara lain, melengkapi produk-produk Korea yang sudah mendunia sebelumnya seperti Samsung dan Hyundai.

Perlahan tapi pasti, produk-produk Korea mulai berani bersaing dengan produkproduk Jepang yang sudah mendunia terlebih dahulu. Tapi bagaimana sikap kita terhadap nilai-nilai, budaya, dan bahkan pada produk dan korporasi buatan bangsa sendiri?

Bagaimana produk Korea itu bisa mendunia, tentu tidak lepas dari sikap keras kepala mereka. Mengapa keras kepala? Orang-orang Korea terkenal keras dalam membeli produk-produk buatan negerinya. Ketika Hyundai meluncurkan produk pertamanya pada 1975, orang-orang Korea mendukungnya habis-habisan meski gengsinya tidak ada, pa sokan suku cadangnya belum terjamin, dan servisnya belum memadai. Secara hitung-hitungan, jadinya malah mahal.
Tetapi mereka tetap menghargai produk negeri sendiri dan membelinya.
“Ini adalah produk bangsaku, dan aku harus mendukung. Jika suatu saat menjadi besar dan bagus, saya juga ikut menjadi besar,“ begitu panggilan jiwa mereka. Itulah budaya ekonomi orang-orang Korea.

Kebanggaan serupa juga ditemui pada bangsa-bangsa Yahudi. Sewaktu belajar di Amerika Serikat, saya sering menyaksikan orang-orang Yahudi yang selalu membeli baju-baju buatan Israel meski harganya lebih mahal dan kualitasnya kalah dari baju buatan bangsa lain. Ini semua tentu dilakukan karena kesadaran, bukan paksaan. Berkontribusi terhadap negara dengan membeli produk buatan bangsa sendiri adalah sebuah panggilan. Maka saya berpikir, tak mengherankan jika kemudian bangsa Yahudi menjadi bangsa yang sulit ditaklukkan.

Melalui Hal Kecil

Sayangnya, dewasa ini kecintaan terhadap produk buatan dalam negeri masih belum terlihat. Masyarakat kelas menengah Indonesia hanya mau membayar mahal untuk barang-barang mewah buatan asing, tetapi perhitungan dalam membayar barang atau jasa buatannya sendiri. Kita berobat ke luar negeri, tetapi yang murah-murah kita tinggalkan. Kita rela membayar tiket pesawat terbang armada asing yang mahal, namun hanya memakai armada nasional saat sedang diskon. Padahal dunia internasional telah mengakui pelayanan armada nasional (Garuda) adalah yang terbaik dalam industri penerbangan dunia. Demikian pula gairah memakai bahan bakar kendaraan di sini. Kita berebut bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, namun begitu harus membeli yang lebih mahal beralih ke stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) asing.

Masih belum banyak orang yang memperhatikan bahwa dengan mendukung merek lokal berarti telah berkontribusi besar. Sifat masyarakat yang hitung-hitungan kemudian dimanfaatkan oleh para produsen asing di sini dengan market entry strategy pada produk-produk yang terkesan homogen seperti BBM dan telekomunikasi. Dengan harga yang sedikit saja lebih murah bahkan cenderung predatory like pricing, yang menawarkan lebih murah akan mengambil semuanya. Bahkan setahu saya ada SPBU asing yang memakai pricing strategy Rp50 lebih murah dari berapa pun harga yang dipasang Pertamina. Harganya hanya beda sekeping mata uang logam yang nilainya tidak seberapa, tetapi menghipnosis pasar dengan persepsi.

Tentu saja produk BBM sesungguhnya tidak homogen. Beda sekeping uang logam berakibat besar karena market size-nya begitu besar. Tentu saja ada technical treatment yang harus dikorbankan. Secara ekonomis sudah pasti dampak buruknya jauh lebih besar dari penghematan yang hanya lima puluh perak itu.

Produk BBM tidak homogen karena masing-masing memiliki kelebihan tersendiri. Penasaran melihat harga predatory like itu, saya pun memeriksa pertamax yang dipakai sopir saya. Dengan selisih tak seberapa itu saya menemukan implikasi yang besar. Mesin kendaraan lebih sehat dan ramah lingkungan. Membeli produk tersebut juga berarti memberikan kontribusi kepada BUMN yang menjualnya, sehingga kemudian keuntungannya bisa diberikan kepada masyarakat. Memang ini agak teknis, tetapi saya kira masyarakat perlu diberi tahu.

Karena kurangnya pengetahuan terhadap nilai tambah tersebut, satu-satunya patokan yang kemudian digunakan konsumen dalam membeli produk itu ialah faktor harga yang lebih murah. Itulah mengapa kemudian BBM yang dijual BUMN kita menjadi produk yang sangat elastis. Sekali harganya naik sedikit saja, permintaannya beralih kepada yang lebih murah. Namun ini berarti keuntungannya akan dibawa ke luar negeri dan kerusakan akan dialami konsumen dalam negeri. Padahal kalangan menengah Indonesia saat ini mulai tumbuh, makin kuat, dan mobil-mobilnya pun terlihat lebih mahal. Kelas menengah kita mulai mampu menyekolahkan anaknya di sekolah internasional. Saya merasa perlu menuliskan hal ini agar jangan terhipnosis hanya oleh sekeping uang logam, namun satu generasi hilang.

Sejarah mengajarkan, bangsa-bangsa yang keras kepala seperti Korea dan Yahudi bisa saja banyak dimusuhi, namun mereka bisa kuat karena bersatu. Bagi mereka, kontribusi kepada negara tidak bisa dinilai dengan selisih harga yang setara dengan uang koin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar