Selasa, 30 Oktober 2012

Pemimpin Muda dengan Idealisme Muda


Pemimpin Muda dengan Idealisme Muda
Yudi Latif ;  Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS, 30 Oktober 2012



Peringatan Sumpah Pemuda berlangsung dalam situasi nasional yang mengalami kelembaman pemimpin muda. Penduduk berusia muda (16-30 tahun) mengalami penggelembungan dalam struktur demografi Indonesia, tetapi mental muda mengalami pengempisan.
Situasi melenceng jauh dari khitah perjuangan Indonesia. Tan Malaka menyatakan, ”Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki pemuda.” Dengan itu, ia menekankan nilai penting pemuda sebagai benteng terakhir pertahanan bangsa dan kekuatan inti pemuda itu adalah idealisme.
Pendefinisi utama pemuda bukanlah usia, melainkan idealisme ”muda”, situasi kejiwaan yang bisa membebaskan diri dari kejumudan dan kerusakan mentalitas tua. Meski begitu, mereka yang ”berusia muda” mestinya lebih berani mengemban visi perubahan karena tidak terlalu digayuti beban masa lalu. Meminjam pandangan Hatta, generasi baru kaum terdidik, dengan kemampuannya untuk membebaskan diri dari kolonisasi kesadaran, lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoretis bagi aksi-aksi kolektif.
Apa yang kita dapati hari ini, para aktivis muda tak mampu membebaskan diri dari hipnosis ”kaum tua”, tak bisa menarik garis batas antara masa lalu dan masa depan. Partai politik dan organisasi sosial gagal melahirkan kaderisasi intelektual organiknya, sebagai artikulator visi kolektif yang berkemampuan mereproduksi dan merumuskan ulang tradisi dan identitas bersama dalam merespons tantangan baru. Tanpa kemunculan intelektual organik, perkumpulan menjadi kerumunan dari kepentingan pribadi, yang tidak bisa dihadirkan suatu ”generasi” perubahan.
Istilah generasi tak sekadar merepresentasikan kolektivitas atas dasar kesamaan usia, tetapi juga kesamaan pengalaman dan panggilan kesejarahan. Seperti dinyatakan Ron Eyerman, ”Konsepsi sosiologis mengenai generasi mengimplikasikan lebih dari sekadar terlahir pada masa yang hampir sama. Konsepsi itu menyatakan sebuah kesamaan pengalaman sehingga menciptakan sebuah dasar bagi cara pandang yang sama, orientasi tujuan yang sama, sehingga bisa mempersatukan para pelaku, ... dan terutama sekali jika seseorang memiliki karakteristik-karakteristik yang sama dengan yang lain, seperti kesamaan latar belakang sosial dan juga tata nilai.”
Tanpa kehadiran suatu generasi perubahan, memimpikan kehadiran ”pemimpin muda” bak pungguk merindukan bulan. Demi menghadirkan generasi perubahan, yang dapat ”memudakan” kembali politik Indonesia, diperlukan suatu creative destruction atas kejamakan politik hari ini, dengan melakukan transformasi dalam dimensi institusional dan kultural.
Gerontokrasi bersumber dari institusionalisasi demokrasi yang lebih memberikan peluang bagi kepemimpinan berbasis ”alokatif” (kemampuan mobilisasi sumber dana) ketimbang ”otoritatif” (kapasitas manusia). Institusionalisasi demokrasi yang padat modal ini terjadi dalam jagat politik yang masih mewarisi tradisi kepemimpinan ”patrimonial” (negara seolah milik sendiri) serta mengalami apa yang disebut Robert Reich sebagai proses pendalaman ”superkapitalisme”.
Dalam relasi unholy trinity, antara kekeliruan desain institusional, tradisi kepemimpinan patrimonial, dan superkapitalisme tersebut, peluang munculnya ”pemimpin muda” dengan ”idealisme muda” menyempit. Di bawah bayang-bayang tradisi patrimonial, politik dikuasai menurut garis dinasti. Di bawah penetrasi superkapitalisme, pemilik modal berusaha menguasai politik atau setidaknya cenderung mendukung pemimpin tua yang dianggap lebih berpeluang menang.
Akibatnya, dunia politik hanya mengenal dua bahasa: ”siapa yang menang/berpeluang menang” dan ”apa untungnya”, tidak pernah mempersoalkan ”apa dan siapa yang tepat”. Karena peluang untuk menang, yang dikondisikan oleh desain institusi demokrasi, lebih mengandalkan sumber daya alokatif ketimbang otoritatif, tokoh-tokoh muda yang ingin segera memimpin cenderung mengorbankan idealisme dengan ikut hanyut dalam tarian pragmatisme permainan uang.
Untuk mengatasi hal itu, perlu ada perjuangan bersama untuk mendesain ulang institusi demokrasi kita, dengan lebih memberikan peluang bagi kepemimpinan yang berbasis otoritatif. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah lewat aneka regulasi yang dapat mendorong ”demokratisasi internal partai”, pembatasan biaya politik, dan penetrasi modal ke dalam politik.
Transformasi institusional di atas harus sejalan dengan transformasi kultural. Pendirian Budi Utomo dan Sumpah Pemuda merupakan percobaan berani dari minoritas kreatif pada zamannya untuk secara sadar memperjuangkan gerakan kemajuan dan persatuan kebangsaan. Gerakan kemajuan yang diupayakan lewat pemupukan modal sosial dan pengikatan bersama elemen-elemen pemuda progresif melahirkan gelombang perubahan berskala nasional yang membuka jalan bagi kemerdekaan RI.
Membangkitkan elan vital keindonesiaan membutuhkan prasyarat budaya-mentalitas untuk bangkit. Perubahan sikap ini terutama dialamatkan pada sumber daya muda sebagai elemen terbesar penduduk Indonesia. Kita harus mengakhiri mitos yang memandang senioritas sebagai ukuran kualitas dan tumpuan perubahan. Mitos baru harus dimunculkan dengan memercayai kapasitas kaum muda sebagai agen perubahan.
Dengan menggali modal sejarah, dapat dipulihkan kepercayaan baru bahwa Indonesia tanpa daya muda adalah Indonesia yang mengabaikan fitrahnya. Dengan ”memudakan” kembali Indonesia, gerontokrasi memasuki musim gugur, disusul kedatangan musim semi pemimpin muda dengan idealisme muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar