Selasa, 30 Oktober 2012

Spirit 1928 untuk Perubahan


Spirit 1928 untuk Perubahan
Benny Susetyo ;  Pemerhati Sosial
MEDIA INDONESIA, 30 Oktober 2012



KAUM muda seharus nya mengacu kepada spirit 1928. Kaum muda harus menjadi pilar dari revolusi berpikir dan bermetamorfosis menjadi revolusi budaya. Pasalnya, kemandekan berpikir telah membuat entitas kepemudaan tak memiliki visi dan kehilangan orientasi.

Ketika memperingati Sumpah Pemuda, kita selalu ditantang sebuah masalah tentang eksistensi kepemudaan yang selalu dipertanyakan. Diakui atau tidak, peran kepemudaan saat ini belum maksimal.

Harus disadari pula, pemuda merupakan bagian dari negara yang mempunyai peran besar dalam menumbuhkembangkan bangsa ini menjadi apa yang diharapkan. Kontribusi mereka sangat besar dalam memberikan dukungan untuk berproses mewujudkan harapan tersebut. Dalam ormas kepemudaan, misalnya, peran kaum muda sangat diharapkan untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan, sebagaimana dalam momentum Sumpah Pemuda pada 1928.

Dalam kenyataan masa kini di era reformasi, ada kecenderungan penurunan peran kepemudaan akibat berbagai macam faktor yang saling berkaitan. Kekritisan yang mulai luntur, kemandirian yang dipertanyakan, dan semangat yang kerap memudar akibat tidak hanya disebabkan perkembangan politik yang memperlakukan kekuasaan tidak semestinya, tetapi juga perkembangan sosial budaya yang mengarahkan mereka ke budaya konsumtif dan materialisme.

Peran Kaum Muda Dalam Perubahan

Generasi muda menjadi harapan, sebab bangsa ini sudah jelas tidak bisa banyak berharap dari peran generasi tua. Pemilik bangsa ini di masa depan ialah generasi muda tentunya. Karena itu, membicarakan masalah aktualisasi peran kepemudaan atau generasi muda di negeri ini sangatlah penting.

Generasi tua disimbolkan dengan sikap konvensional, berpikiran mundur, dan antiperubahan, sedangkan ge nerasi muda sebaliknya, penuh semangat dan cenderung menolak kemapanan. Sikap demikian memang terkadang melekat pada tubuh manusia secara fisik walaupun tak selamanya seperti itu.

Tidak sedikit generasi muda berpikiran mundur dan generasi tua agresif serta kreatif merangsang tumbuhnya perubahan.

Dengan begitu, jauh lebih penting mempersoalkan stagnasi yang dibangun `pikiran-pikiran tua', yang cenderung menghambat perubahan ke arah lebih baik.
Tidak selamanya `pemikiran tua' mengandung kebijaksanaan dan tidak selamanya pula `pemikiran muda' mengusung kesembronoan. Kebijaksanaan dan kesembronoan ada dalam setiap pemikiran manapun. Pengalaman hidup memang harus selalu dijadikan rujukan berperilaku, tetapi ia bukan untuk menghakimi kehidupan masa lalu lebih benar dan baik daripada sesudahnya.

Perilaku korupsi yang mulai banyak dilakukan kaum muda merupakan bukti cara berpikir mundur. Mereka yang seharus nya berada di garda depan perubahan bangsa yang lebih baik justru larut dalam sistem yang korup.

Pemikiran Progresif

Dari kenyataan demikian, pemikiran progresif untuk memperbaiki bangsalah yang sebenarnya dibutuhkan. Revolusi kebudayaan dan cara pandang mengelola bangsa ini harus dimulai dengan mencip takan habitus baru dalam berperilaku, tidak peduli dilakukan generasi muda ataupun generasi tua. Jauh lebih penting ialah mengedepankan pemikiran yang bersifat `muda'.

Sejarah menjadi pedoman dalam membangun bangsa ini, juga dalam mengembangkan politik kekuasaan yang lebih berorientasi keadilan.
Baik di dalam birokrasi, partai politik, maupun parlemen, semua memiliki sejarah yang harus dipelajari dan dijadikan re ferensi untuk mengambil tindakan. Dengan seperti itulah sejarah memiliki makna.

Selama ini sejarah kita hanya menjadi hiasan dinding rumah-rumah pejabat dan politisi. Ia tak pernah dijadikan pedoman laku yang konkret. Ia hanya menjadi pelajaran sekolah yang heroik dan tidak mengendap dalam sanubari manusia Indonesia, menjadi referensi bertindak. Sejarah berhenti pada heroisme se mata.

Kini kaum muda nyaris ke hilangan kemampuan untuk mendobrak se mua itu karena sete lah masuk lingkaran kekuasaan, mereka justru hanyut. Cara berpikir, bertindak, dan berelasi dalam dunia politik nyaris stagnan karena tak ada perubahan. Men talitas reformis, krea tif, dan pe ngenalan budaya alternatif hanya ada dalam kata-kata dan tak pernah menjelma menjadi tindak an nyata.

Dunia politik digadaikan untuk kepen tingan `sendiri-sen diri', bukan untuk kepentingan rakyat semesta. Uang men jadi mahakuasa da lam menentukan berbagai hal yang menguntungkan para pemimpin dan pejabat. Itu tak jarang bahkan men jadi elemen perusak ke hidupan rakyat melalui kebijakan-kebijakan yang bersifat menindas.

Yang utama di sini, kaum muda harus berani mengadakan perubahan dari diri sendiri. Kesempatan memang harus diraih dengan kualitas pribadi yang berintegritas tinggi, bukan semata-mata diminta. Rasanya sejarah kepemudaan Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan Syahrir perlu dibaca kembali untuk menata kembali visi dan misi kebangsaan dan kerakyatan, serta untuk mengarahkan bagaimana jiwa kaum muda harus berperan positif membangun bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar