Senin, 26 November 2012

Abraham dan Tafsir Inferioritas


Abraham dan Tafsir Inferioritas
Laode Ida ; Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI 
JAWA POS, 26 November 2012


KETUA KPK Abraham Samad sedikit ''keseleo lidah'' ketika mengeluarkan pernyataan dalam acara dengar pendapat di DPR (20/11/2012) terkait dengan kelanjutan penyelidikan dan penyidikan skandal Bank Century. Sebagian anggota DPR berpendapat bahwa Wapres Boediono ''harus diperiksa KPK'' karena (dalam posisinya waktu itu sebagai gubernur BI) dianggap sangat berperan dalam pemberian dana talangan Bank Century -yang dinilai merugikan negara triliunan rupiah, apalagi setelah dua pejabat bawahannya ditetapkan sebagai tersangka. 

Namun, Abraham Samad barangkali ''tidak hendak bersetuju'' dengan keinginan sebagian politikus Senayan itu, sehingga harus mencari alasan subjektif-spontan dengan menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden tak mudah diperiksa KPK, mengingat keduanya adalah ''warga negara istimewa''. Kontan, sikap putra Sulsel itu mendapat reaksi dan kritik dari banyak pihak, terutama dari para ahli serta praktisi hukum. Sebab, pendapat tersebut dianggap sangat keliru. 

Setelah memperoleh reaksi itu, juga mungkin memperoleh masukan dari internal KPK, sehari kemudian Abraham seakan berbalik arah seratus delapan puluh derajat dengan menegaskan: ''KPK yakin Boediono terlibat kasus Century. Karena memegang prinsip equality before the law, KPK bisa saja memeriksa Wapres Boediono''. Kendati demikian, dia pun masih terkesan hendak menghindar untuk bertindak segera memeriksanya, yang diindikasikan melalui pernyataannya bahwa proses itu bergantung hasil pemeriksaan dua tersangka pejabat BI tersebut.

Sudah cukupkah kita menerima klarifikasi Abraham seperti itu? Sebagai kesadaran untuk menerima kritik atas suatu kekeliruan yang dilakukan, tentu kita semua mengapresiasi. Namun, karena Abraham adalah pejabat publik, apalagi penegak hukum untuk pemberantasan korupsi di negeri ini, masih perlu kita refleksikan lebih jauh tentang mengapa sikap itu dilakukan dan apa dampaknya lebih jauh dalam kaitan dengan tugas strategis KPK.

Kemungkinan pertama terkait dengan penguasaan materi atau derajat kecermatan Abraham mengani posisi presiden/wakil presiden dalam penegakan hukum. Mungkin dia tak mendalami betul pengertian dan makna konsep ''kesejajaran setiap warga negara di hadapan hukum''. Itu berarti kualitasnya sebagai ahli hukum belum terlalu tepat untuk mendapat posisi sebagai penentu kebijakan di bidang pemberantasan korupsi dalam negara yang menganut prinsip equality before the law ini.

Atau, mungkin juga karena tergesa-gesa sehingga dia tak berpikir dulu sebelum mengeluarkan pernyataan sikap di depan publik. Sebab, dia beranggapan bahwa pikiran dan pendapatnya sebagai ketua KPK akan selalu dianggap benar oleh setiap warga bangsa. Dia tak menyadari bahwa sudah demikian banyak warga bangsa ini yang sadar serta terdidik dalam bidang hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Jika penjelasan seperti itu memiliki unsur kebenaran, kita pun patut prihatin karena seharusnya sudah tidak menjadi polemik di kalangan ahli hukum, apalagi yang menjabat pimpinan lembaga negara penegak hukum di bidang pemberantasan korupsi. Sebab, ketidakpahaman terhadap atau ketidakcermatan dalam menelaah suatu permasalahan akan berimplikasi fatal pada putusan hukum (vonis) yang diambil. 

Kemungkinan kedua terkait dengan kematangan kepribadian (personality maturity). Dia belum memiliki pengalaman cukup untuk menangani permasalahan korupsi dengan berbagai variasi latar belakang figur yang harus dihadapi atau ditangani secara langsung. Akibatnya, tidak mustahil terdapat sedikit perasaan minder (inferiority complex) dalam menghadapi figur-figur nasional, terutama yang memiliki jabatan dengan kekuasaan yang besar. 

Dalam konteks ini, anggapan bahwa presiden/wakil presiden merupakan ''warga negara istimewa'' sehingga tak mudah diperiksa mungkin merupakan ''ekspresi kengerian'' terhadap figur pejabat papan teratas yang powerful. Setidaknya, barangkali Abraham sarat keraguan, tak yakin mampu membawa Boediono (yang sekarang menjabat Wapres) dalam penyidikan di KPK terkait dengan skandal Bank Century. 

Itu berarti, jika KPK melakukan diskriminasi dalam pemberantasan korupsi, bukannya mereka tidak paham tentang kewajiban untuk bertindak berdasar ''kesamaan posisi warga negara di hadapan hukum'', melainkan lebih disebabkan perasaan minder atau takut berhadapan dengan pejabat yang memiliki kekuasaan besar di negeri ini. Karena itu, publik bangsa ini sudah bisa memahami lebih awal bahwa akan sangat sulit menggiring figur-figur kunci yang berperan penting dalam proses dan kebijakan bailout Bank Century. Hanya figur-figur pelaku suruhan (bawahan dari) pejabat penentu yang akan dijebloskan.

Implikasi lebih jauh atas sikap KPK seperti itu, mereka akan sangat sulit menjalankan tugasnya secara profesional dan independen. Terlebih berhadapan dengan para petinggi politik yang berjasa dalam memilih pimpinan KPK. Karena itu, jika oknum politisi terlibat, sangat mungkin mereka selalu ''terselamatkan'' oleh perasaan ''berat hati'' atau ''balas budi''.

Karena itu, sangatlah mudah dipahami, jika sejumlah politikus petinggi parpol terindikasi terlibat korupsi dalam kasus wisma atlet, Hambalang, atau proyek DPID, misalnya, selain penanganannya sangat lamban hingga saat ini, yang dijebloskan hanya figur pembantu. Yang dicurigai sebagai otak dan pemain utamanya masih terus bebas berkeliaran, termasuk berleha-leha di kursi jabatan. KPK terus menggunakan strategi buying time (mengulur waktu).

Ya, begitulah. Namanya juga manusia, apalagi kultur bangsa ini yang didominasi rasa ketimbang rasio. Celakanya, kali ini tampaknya hal itu merasuki jiwa para penegak hukum di KPK. Padahal, mereka diberi mandat atau difasilitasi dengan uang rakyat untuk menjalankan amanah reformasi, membersihkan negeri ini dari oknum-oknum korup yang masih merajalela di berbagai lini dan level pemerintahan. Tidak sebaliknya, terkesan melindungi koruptor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar