Rabu, 28 November 2012

Akhir Kisah UU Nomor 32/2004


Diskusi Kompas “Membedah RUU Pemda”
Akhir Kisah UU Nomor 32/2004
KOMPAS, 27 November 2012




Dibandingkan dengan undang-undang lain atau dengan undang-undang yang digantikannya, yakni UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memang perkasa.
Undang-undang ini dalam usia ”baru” delapan tahun sudah lebih dari 18 kali diuji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi. Perkasa sebab sampai saat ini tak pernah sekali pun MK membatalkan secara keseluruhan UU Pemerintahan Daerah ini. UU No 32/2004 adalah salah satu dari sedikit UU yang sudah benar-benar teruji dalam perjalanannya mewarnai dinamika politik dan pemerintahan di negeri ini.

Dari sisi usia, UU No 32/2004 lebih panjang dibandingkan dengan UU yang digantikannya. UU No 22/1999, sebagai UU pertama yang mengatur pemerintahan daerah setelah era Reformasi, hanya berumur lima tahun. Namun, UU yang mengatur pemerintahan di daerah sebelumnya, yang dibuat dalam pemerintahan Orde Baru, berusia lebih panjang. UU No 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah baru diganti setelah rezim Orde Baru tumbang dengan UU No 22/1999. UU yang mengatur pemerintahan daerah sebelumnya pun tak berusia panjang, kurang dari 25 tahun.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintahan di daerah diatur dengan UU No 1/1945 tentang Peraturan mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah, yang setelah tiga tahun berlaku diganti dengan UU No 22/1948 tentang Pemerintahan Daerah. UU inilah yang pertama kali mengenalkan istilah pemerintahan daerah. UU No 22/1948 berumur sembilan tahun, dan digantikan dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

Setelah delapan tahun berlaku, UU No 1/1957 direvisi dengan UU No 18/1965. Namun, sembilan tahun kemudian pemerintah memecah urusan pemerintahan di daerah dan pemerintahan di desa, dengan melahirkan UU No 5/1974 yang menggantikan UU No 18/1965 serta UU No 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Urusan di daerah dan di desa itu akhirnya disatukan kembali dalam UU No 22/1999.

Berbeda dengan UU yang mengatur pemerintahan di daerah sebelumnya, UU No 32/2004 sudah mengenalkan cara memilih kepala daerah, yaitu gubernur, bupati, dan wali kota, beserta wakilnya secara langsung. UU sebelumnya memberikan kewenangan kepada DPRD untuk menentukan kepala daerah. 

Selain itu, UU Pemerintahan Daerah yang sampai tahun 2012 masih berlaku juga menetapkan adanya pembatasan masa jabatan bagi seorang kepala daerah. Bahkan, kepala daerah yang sudah dua periode memimpin tidak bisa mencalonkan diri untuk jabatan yang sama di daerah lain. Syarat seorang calon kepala daerah pun diperketat. Kondisi inilah yang membuat UU No 32/2004 acap kali diujimaterikan di MK.

Bahkan, Pasal 58 Huruf (o), misalnya, yang menyatakan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah warga negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat serta belum pernah menjabat sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama, sampai 2012 sudah empat kali diujimaterikan di MK. Hasilnya, permohonan uji materi terhadap pasal itu selalu ditolak, tetapi tidak berarti keinginan seseorang untuk mencoba uji materi terhadap ketentuan itu bisa dihentikan begitu saja.

UU No 32/2004 pun dianggap masih memiliki celah yang sangat besar terkait kepemimpinan di daerah itu sehingga, misalnya, seorang kepala daerah yang sudah dua periode memimpin, karena tak bisa mencalonkan diri lagi, bersedia ”turun kelas” menjadi calon wakil kepala daerah atau menjadi ”penasihat” untuk istri atau anaknya yang mencalonkan diri. Sampai hari ini, belum ada suami yang mencalonkan diri menggantikan istrinya sebagai kepala daerah.

Bukan Sekadar Revisi

Sebenarnya sejak ada uji materi terhadap UU No 32/2004 di MK, dan melahirkan beberapa putusan yang harus diakomodasi, pemerintah dan DPR menyadari UU Pemerintahan Daerah itu tak bisa lagi dipertahankan. Harus ada revisi terhadap UU Pemerintahan Daerah, bahkan secara menyeluruh, agar sesuai dinamika dalam masyarakat. Tidak hanya revisi parsial, sesuai putusan MK, seperti tak mengharuskan lagi seorang calon kepala daerah melepaskan atau berhenti dari jabatannya, tetapi cukup hanya nonaktif (Pasal 59 Ayat (5)).

Aturan itu pernah membuat Basuki Tjahaja Purnama kehilangan jabatan Bupati Belitung Timur saat mencalonkan diri sebagai gubernur Bangka Belitung tahun 2007. Putusan MK yang mengubah aturan itu membuat sejumlah kepala daerah, termasuk, misalnya, Alex Noerdin, tak perlu kehilangan jabatan sebagai Gubernur Sumatera Selatan saat mencalonkan diri sebagai gubernur DKI Jakarta tahun 2012.

Pemerintah sejak 2010 membentuk tim untuk merevisi UU No 32/2004. Namun, rancangan UU untuk memperbarui UU Pemerintahan Daerah ini baru diterima DPR dan dibahas pada April 2012. DPR pun membentuk panitia khusus untuk membahas rancangan yang diajukan pemerintah dan membuat kajian sendiri untuk melengkapi usulan pemerintah. Apalagi, dalam RUU Pemerintahan Daerah yang diajukan, pemerintah tak hanya sekadar merevisi UU No 32/2004, tetapi juga menggantinya.

Banyak pengaturan dalam UU itu yang tak lagi dipertahankan dalam RUU, terutama dari usulan pemerintah. Misalnya, bupati, wali kota, atau gubernur cukup dicalonkan sendiri, tanpa wakil, karena begitulah yang sesuai Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, yang menyatakan kepala daerah, ialah gubernur, bupati, dan wali kota.

Selain itu, untuk pemilihan gubernur, pemerintah pun mengusulkan tak perlu lagi dilakukan secara langsung, tetapi kembali melalui DPR. Usulan itu belum diterima DPR karena juga menyangkut perubahan terhadap UUD 1945 meskipun pemerintah beralasan selama ini gubernur lebih banyak berperan sebagai wakil pemerintah pusat.

Masih terkait pilkada, pemerintah mengusulkan tidak cuma pembatasan, tetapi juga pengaturan terkait fenomena politik kekeluargaan atau lahirnya dinasti politik di daerah. Keluarga seorang kepala daerah yang sudah dua periode menjabat diusulkan tak bisa lagi mencalonkan diri setidak-tidaknya untuk satu periode setelah masa jabatan kepala daerah itu berakhir.

RUU Pemerintahan Daerah juga mengupayakan optimalisasi prinsip uang mengikuti urusan (money follows function) karena selama ini ada 31 urusan yang sudah diserahkan pemerintah pusat kepada pemerintahan daerah, terutama di tingkat kabupaten dan kota. Pengelolaan keuangan di daerah ini memang masih menimbulkan persoalan, termasuk melahirkan korupsi di daerah, meskipun ada UU No 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang merupakan perubahan atas UU No 25/1999.

Namun, yang kian menguatkan, bahwa RUU Pemerintahan Daerah adalah pengganti UU No 32/2004, bukan sekadar mengubah atau memperbaiki, adalah diajukannya tiga RUU secara bersamaan. Selain RUU Pemerintahan Daerah, pemerintah juga mengajukan RUU tentang Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) dan RUU tentang Desa. Kondisi ini seperti kembali pada era pemerintahan Orde Baru yang memisahkan pemerintahan di daerah dan pemerintahan di desa. 

RUU Pemerintahan Daerah hanya mengatur hal-hal umum terkait pilkada dan pemerintahan di desa, yang selanjutnya dirinci dalam UU tersendiri.
Walaupun demikian, bukan berarti jika RUU Pemerintahan Daerah akhirnya diundangkan, tak akan ada lagi uji materi terhadap UU itu di MK. Juga UU Pilkada dan UU Desa akan mulus, tak ada uji materi, sampai tiba saatnya direvisi atau diganti. Selama hasrat berkuasa masih menguasai manusia, UU Pemerintahan Daerah yang diharapkan diundangkan tahun depan akan terus diuji di MK untuk melihat kesesuaiannya dengan dinamika masyarakat, dan masih adakah celah yang bisa dipersoalkan oleh berbagai pihak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar