Minggu, 25 November 2012

Asyura, Madura, Gaza


Asyura, Madura, Gaza
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 25 November 2012


Dalam sejarah Islam, tanggal 10 Muharam 61 H (bertepatan dengan 10 Oktober 680 M) adalah hari terjadinya perang Karbala, yaitu perang saudara sesama muslim antara pasukan Bani (Marga) Hasyim yang dipimpin Husain bin Ali yang jumlahnya hanya 70 orang melawan sekitar 10.000 bala tentara Bani Umayah yang dipimpin Ibnu Ziyad. 

Dalam pertempuran itu hampir semua tentara Husain tewas, termasuk Husain sendiri. Hanya para perempuan dan anak-anak yang selamat. Kepala Husain dipenggal dan diarak keliling kota. Hari itu kemudian dikenal dengan sebutan Hari Asyura (artinya: sepuluh), yang sejak itu sampai hari ini diperingati oleh para penganut Islam Syiah di seluruh dunia sebagai Hari Pahlawan Syiah, yaitu hari syahidnya atau gugurnya Husain (pada 2012 ini Hari Asyura bertepatan dengan tanggal 22 November kemarin). 

Di Iran yang mayoritasnya muslim Syiah, laki-laki berpawai di jalanan, menyerukan kebesaran Allah sambil memukul-mukul diri sendiri, sebagian dengan besi, sampai berdarah-darah. Maksudnya adalah menapaktilasi kepahlawanan Husain. Kurang lebih semangatnya sama dengan umat Katolik di Filipina yang menapaktilasi penderitaan Yesus dengan menggotong salib, mengenakan mahkota ranting berduri, bahkan ada yang memakukan tangan dan kakinya ke salib. Pokoknya ekspresi dari kesedihan, keprihatinan, sekaligus pembangkit semangat perjuangan. 

Di sisi lain, sebagian suku Arab yang mayoritas Sunni justru merayakannya sebagai hari sukacita dengan pakaian-pakaian baru dan menghiasi rumah. Di Irak, karena tercampur dengan masalah etnik dan politik pasca-Sadam Husein, perbedaan Syiah versus Sunni itu bahkan pecah menjadi konflik terbuka, baku serang, baku hantam, baku rusak masjid lawan, baku bunuh, baku bom. Padahal, awalnya, kedua bani (marga) yang bertikai itu adalah sesama suku Quraish, berkakek-moyang sama dan sesama pengikut dan sahabat Rasulullah Muhammad SAW. 

Bahkan Ali adalah menantu Nabi dan Husain adalah anak Ali sehingga Husain adalah cucu Nabi. Tapi di Indonesia lain ceritanya. Di Bengkulu, Hari Asyura dirayakan dengan upacara Tabot, sebuah bangunan dari bambu, rotan, kertas, bunga, sesajen, dan jangan lupa: bendera Merah-Putih yang diarak ke mana-mana dan akhirnya dibuang ke laut. Dalam Alquran kata “tabot” dikenal sebagai sebuah peti berisi kitab Taurat yang dipercaya Bani Israil bahwa penguasa yang menguasai peti itu akan mengalami kejayaan. 

Dalam wayang Purwa, tabot ini kira-kira serupa dengan jimat Kalimasada, karunia Dewata yang memberi berkah kepada raja yang menguasainya sehingga tak henti-hentinya pusaka itu jadi rebutan antara kaum (Arab: bani) Pandawa dan kaum Kurawa. Tradisi yang sama terdapat juga di beberapa daerah di Aceh dan Sumatera Barat walaupun sekarang sudah jauh berkurang karena pergeseran zaman dan hanya tertinggal di Pariaman yang disebut dengan nama Tabuik. 

Baik Tabot maupun Tabuik sekarang dijaga baik-baik dan didorong oleh pemerintah daerah sebagai pelestarian budaya maupun sebagai promosi wisata daerah. Padahal muslim Bengkulu maupun Pariaman adalah Sunni. Lain lagi dengan peringatan Asyura di daerah-daerah Indonesia lain yang hampir seluruhnya juga muslim Sunni. Dalam kalender Jawa, bulan Muharam disebut bulan Sura (dari Asyura). Di Kuningan, Subang, Banyumas, dan mungkin masih ada lagi daerah lain, ada tradisi hidangan bubur sura (bubur merah-putih, bendera Indonesia lagi). 

Kembali ke Pariaman, orang dilarang menebas batang pisang karena melambangkan penebasan leher Husain, sedangkan di Kuningan, Jabar, orang dilarang main sepak bola selama bulan Sura karena dianggap seakan-akan menyepak-nyepak kepala Husain. Dengan perkataan lain, perselisihan, pertikaian, dan baku hantam antara Syiah dan Sunni yang heboh banget di Timur Tengah sana (tempat lahirnya Islam) tidak berlanjut di Indonesia. 

Syiah dan Sunni di Indonesia melebur, bahkan menyatu dengan tradisi-tradisi lokal yang lain sehingga jadilah Islam Indonesia yang warna-warni tetap harmonis. Orang Mandailing dan orang Toba boleh berbeda agama, tetapi sesama suku Batak. Mereka punya adat kekerabatan yang sama, bahkan hidangan pada perayaan pengantin pun sama. Hanya yang satu dengan hiasan kepala kerbau, sedangkan yang lain berhiaskan kepala babi. 

Orang Minangkabau, boleh Islam tulen, seperti muslim lain se-Indonesia, tetapi bagaimanapun mereka tidak akan meninggalkan sistem matrilineal (Islam: patrilineal) sesuai dengan adatnya. Jadi, sebetulnya, Islam di Indonesia adalah sebagus-bagusnya Islam di seluruh muka bumi ini. Sangat boleh jadi, Islam Indonesia inilah yang diterjemahkan oleh founding fathers bangsa Indonesia ke dalam Pancasila untuk bisa merangkul seluruh bangsa yang multiagama ini, yang dimaksud Allah dengan rahmatan lil alamin. 

Tapi, sayang sekali, wajah Islam Indonesia hari ini karut-marut dan coreng-moreng tidak keruan. Ketika Sunni-Syiah Indonesia sudah saling berakulturasi selama ratusan tahun, di Sampang, Madura, umat Syiah justru dibunuhi, rumah mereka dibakar, dan mereka diusir dari kampungnya. Anehnya, pemerintah daerah, bahkan Menteri Agama, mendukung pengusiran (istilah mereka: relokasi) sesama pemegang KTP NKRI ini. 

Padahal pasalnya cuma cinta-cintaan, rebutan cewek antarcowok (yang berjubah ulama) sesama anak dari Ustaz Tajul, seorang ulama Syiah lokal. Yang merasa tertolak cintanya murtad dari Syiah, kembali ke Sunni dan menggalang massa Sunni untuk memojokkan Syiah yang dinyatakan bertentangan dengan akidah dan karenanya dihalalkan darahnya! Seruan Gus Dur (alm) bahwa Sunni Indonesia adalah Syiah secara kultural sama sekali tidak digubris. 

Maka terjadilah pembantaian yang mengerikan itu. Beberapa puluh orang dibantai ramai-ramai oleh ratusan orang, kecuali perempuan dan anak-anak dan laki-laki yang bisa menyelamatkan diri. Mungkin begitulah gambaran perang Karbala ketika Husain mati syahid. Tapi tidak ada yang dinyatakan syahid di Sampang. Jadi, politik itu, kalau dasarnya adalah keinginan (nafsu) untuk berkuasa, dampaknya bisa jahat sekali. 

Di CNN saya menyaksikan tayangan adegan di Gaza di mana seorang bocah perempuan berumur sekitar 10 atau 11 tahun memeluk adiknya yang berumur sekitar 3–4 tahun erat-erat untuk melindunginya dari serangan bom Israel. Yang terlintas dalam benak saya adalah cucu saya Audria, 12, sedang memeluk adiknya, Ammar, 1. Bagaimana kalau itu terjadi kepada mereka? Itu sudah terjadi pada peristiwa Karbala, sudah terjadi di Sampang, siapa bilang tidak mungkin terjadi di Ciputat, tempat tinggal anak-cucu saya? 

Padahal saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Islam yang ideal pada hari ini menurut versi Allah SWT adalah Islam versi Indonesia, bukan Islam di Arab. Karena itu saya tidak mengerti, mengapa ada saja orang yang ingin mengembalikan Islam Indonesia ke Islam versi Arab?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar