Rabu, 28 November 2012

Bising Itu Perlu


Bising Itu Perlu
Dinna Wisnu ; Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
SINDO, 28 November 2012


Apa yang dirasakan seorang politisi ketika terpilih dengan suara mayoritas menjadi pucuk pimpinan suatu negara? Pertamatama tentu bangga, lega, dan sangat bahagia.Jika proses pemilu cukup alot dan menegangkan, bukan mustahil perasaan bangga dan bahagia tersebut terasa sangat meluap-luap.
Namun, tak banyak orang yang menyadari bahwa politisi tersebut pasti juga diliputi perasaan galau, khawatir, bahkan mungkin takut.Pemilu adalah awal dari perjalanan berdemokrasi dan bukannya jaminan akan praktik demokrasi yang dipuja-puja masyarakat. Berhadapan dengan negara yang baru saja meniti jalan berdemokratisasi, seperti Mesir, kita perlu menyisir hal-hal pokok yang menggambarkan dan menentukan arah politik negara tersebut.

Apakah mereka di jalur yang benar menuju demokrasi atau justru mengalami kemunduran? Indonesia sudah mencanangkan diri sebagai pelopor demokrasi di negara muslim, bahkan berkomitmen mempromosikan nilai-nilai dan prinsip demokrasi lewat Bali Democracy Forum. Maka kita tidak bisa menutup mata dari kejadian yang sedang digumuli Mesir. 

Ketika Muhamad Mursi, seorang tokoh Ikhwanul Muslimin di Mesir, terpilih dengan suara mayoritas (51,7% suara) dalam pemilu 23 Juni 2012, semua mata dunia memantau reaksi masyarakat Mesir atas kemenangan tersebut. Secara umum, reaksi yang muncul adalah rasa tak percaya. Mursi adalah orang kuat di Ikhwanul Muslimin, bahkan satu-satunya kandidat dari Partai Freedom and Justice yang diusung Ikhwanul Muslimin tersebut setelah pesaingnya, Khairat El-Shater, didiskualifikasi. 

Sebagai tokoh di Ikhwanul Muslimin, ada keragu-raguan bahwa Mursi akan bisa merangkul semua elemen masyarakat di Mesir. Maklum, Ikhwanul Muslimin dikenal sebagai promotor penggunaan prinsip dan simbol Islam dalam kehidupan berpolitik dan sangat anti-Israel. Selain itu, pendukung partai tersebut adalah Partai Nour yang ultrakonservatif dan kelompok-kelompok lain yang dikenal tegas bergaris Islam. 

Keragu-raguan tersebut tercermin dalam pernyataan seorang pakar sosiologi politik Said Sadek dari American University di Kairo,vMesir. Menanggapi pidato Mursi ketika terpilih, yakni bahwa Mesir memasuki era baru dan bahwa semua elemen masyarakat akan dilindungi oleh Mursi, Sadek menunjuk bendera Ikhwanul Muslimin di mana gambar pedang jelas terlihat. “Saya rasa pedang yang mereka miliki itu tidak untuk main-main”. 

Di pihak lain, ada pula pemberitaan bahwa Muhamad Mursi bukanlah seseorang yang berkarisma. Artinya, janji melindungi semua pihak tersebut bisa jadi hanya janji belaka bila sang pemberi janji dianggap kurang berkarisma. Keragu-raguan masyarakat Mesir akan niat baik dan kemampuan Mursi seolah mendapatkan konfirmasi ketika persis lima bulan setelah terpilih, yakni 22 November 2012, Mursi mengeluarkan dekrit. 

Dekrit tersebut menyatakan bahwa segala keputusan yang diambil presiden tidak bisa dipatahkan oleh lembaga yudisial, sampai terbentuk konstitusi yang baru di Mesir. Reaksi masyarakat langsung membeludak. Alun-alun Kota Kairo dipadati ribuan penduduk yang memprotes keputusan Mursi. Dia dicap sebagai diktator baru. Ketegangan belum juga reda hingga tulisan ini dibuat. 

Bahkan, Rabu ini ada rencana ribuan massa akan turun ke jalan dari berbagai titik dan berkumpul di alun-alun Kairo. Banyak sekolah dan tempat kerja memilih libur untuk mendukung aksi protes tersebut. Apa tanggapan Presiden Mursi? Diatetap pada pendiriannya. Yang perlu dicermati dari kejadian di Mesir ini adalah hal-hal berikut.

Pertama, demokrasi membutuhkan bibit-bibit kepemimpinan yang sejuk dalam menghadapi ragam tekanan dan keberagaman pendapat. Seorang demokrat sejati akan tanggap dan tidak canggung berhadapan dengan aksi protes, meskipun itu dari kelompok minoritas ataupun diikuti puluhan ribu massa. Seorang tokoh demokrasi menghayati makna “berbeda pendapat”, termasuk bahwa demokrasi memang mengedepankan ketidakpastian dalam hasil akhir segala proses politik. Yang penting bukan hasil akhir, apalagi hasil cepat, melainkan proses yang mengedepankan saling hormat dan dialog. 

Kedua, demokrasi membutuhkan sistem untuk berdialog antarkelompok yang berseberangan pendapat. Artinya bahwa seorang pemimpin negara demokrasi, apalagi seorang pemimpin perdana dari suatu demokrasi, harus punya komitmen untuk membangun lembaga-lembaga penyokong demokrasi, termasuk aturan main, kode etik, dan penegakan hukumnya. Pantang bagi seorang demokrat untuk mengedepankan “keakuan” diri dalam memimpin, karena demokrasi hanya bisa terwujud melalui sistem yang memagari proses-proses dialog yang bising. Dekrit Mursi adalah simbol “keakuan” tadi. 

Ketiga, ambisi seorang politisi yang bernaluri demokrat adalah untuk mengajukan program-program nasional, yang bisa menarik perhatian massa dan pada akhirnya mendorong popularitas dirinya sebagai politisi. Jadi, jika seseorang semata ingin menarik perhatian massa dan mendapatkan popularitas tapi tanpa kejelasan program yang bisa dipertanggungjawabkan, maka dia bukan seorang demokrat. 

Berdasarkan tiga indikator di atas,tampak bahwa Presiden Muhamad Mursi ternyata punya kegamangan berdemokrasi yang sangat besar. Bahkan sebelum ada “pertempuran” pendapat antarpartai dan faksifaksi politik, sebelum parlemen terbentuk, dia sudah memutuskan untuk menutup wacana politik sama sekali. Bekal dukungan masyarakat yang sebenarnya cuma 51,7% saat pemilu, diartikan Mursi sebagai dukungan absolut bagi dirinya. 

Dia lupa bahwa dalam demokrasi selalu harus ada kompromi politik dengan lawan-lawan politik. Bahkan ketika Mursi berpendapat bahwa suatu kebijakan yang diusung lawan politiknya berpotensi merusak Mesir, dia harus bisa berlapang dada mendengarkan argumen oposisi. Di sejumlah media massa, Mursi dikabarkan sedang mencoba mengedepankan dialog dengan pihak-pihak yang memprotes dekrit. 

Sayangnya, karena Mursi sudah menetapkan untuk tidak bergeming sama sekali soal keputusannya di dekrit, dia justru tidak nampak sebagai seorang demokrat yang bijak. Dengan demikian, ruang bagi Indonesia untuk “masuk” ke Mesir sebenarnya terbuka lebar. Bukan untuk masuk dalam arti intervensi, tentunya, melainkan masuk untuk menjadi sumber inspirasi dan penyemangat. 

Kegelisahan seorang Mursi perlu diredam.Dia perlu diyakinkan bahwa mimpi akan demokrasi yang sedang bergejolak di benak masyarakat Mesir, tidak bisa dilawan dengan sebuah dekrit. Belum terlambat bagi Mursi untuk mengembalikan suasana Mesir pada semangat kebersamaan yang membawa negeri itu ke luar dari kekacauan pada masa Husni Mubarak. Katakan pada Mursi bahwa ada beda antara kebisingan demokrasi dan ketidakstabilan politik. Kebisingan justru diperlukan dalam demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar